Catatan Redaksi
Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi
muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan
masyarakat Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari Sri Darma
tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif
menyiapkan anak anak Bali dengan visi 'Move to Global Digital' dengan
mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah
rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu
mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa
depan.
Orang-orang Tionghoa dari berbagai negeri yang kuliah di Australia pun melampiaskan kemarahannya kepada orang-orang Indonesia. Mereka dikucilkan dan dimusuhi, padahal sama sekali tidak ada kaitannya dengan peristiwa yang terjadi di Jakarta. Salah seorang darinya mendekati Sri Darma dan bertanya,
"Are You Indonesian?"
"No, I am Balinese."
Sri Darma terpaksa menjawab seperti itu, karena merasa malu menjadi orang Indonesia. Bukan hanya Sri Darma, perasaan malu itu juga dirasakan oleh orang-orang Indonesia lainnya. Namun mereka tidak bisa berbuat banyak. Selain hanya tetap menahan diri, agar tidak terpancing dengan kemarahan mahasiswa-mahasiswa Tionghoa.
"Kepala harus tetap dingin. Saya harus bisa menganggap peristiwa itu sebagai bagian dari gejolak politik yang tidak ada kaitannya dengan perkembangan belajar mereka di kampus. Saya pun lebih pilih fokus menyelesaikan tesis saya. Supaya bisa cepat-cepat menyandang gelar D.B.A. dan bisa mengaplikasikannya di Undiknas."
Bawa Pulang Gelar D.B.A
Akhir tahun 1998, Sri Darma berhasil merampungkan tesisnya. Setelah sebelumnya mendapat surat yang menyatakan promotor telah membaca habis draf tesisnya. Dia lantas melakukan revisi berdasarkan masukan dari promotor. Selanjutnya disetor ke lembaga Research Development Center di Southern Cross University, untuk didistribusikan kepada tim penguji. Tidak ada ujian tertutup dan terbuka seperti halnya di bumi Indonesia. Sistem ini harus diterangkan sedikit supaya tidak ada kesan Sri Darma meraih gelar D.B.A tanpa mengikuti ujian.
Indonesia memang bukan Australia. Di Indonesia, semua gelar kesarjanaan harus diraih melalui ujian tugas akhir. Ada yang menggunakan istilah pendadaran, seminar, ujian skripsi, ujian tesis, dan ujian disertasi. Di Australia berbeda, sebab ada istilah by research atau lulus tanpa melalui ujian tertutup maupun terbuka. Sepintas tampak ringan sekali, karena hanya tinggal menunggu nilai yang dikeluarkan oleh tim penguji. Ternyata tidak semudah itu, sebab tesis yang diserahkan ke universitas, selanjutnya akan diuji dengan cara dibaca dan dinilai. Namun bukan oleh sembarang orang, melainkan yang benar-benar ahli di bidangnya, dan berasal dari universitas luar, baik di Australia atau di luar negeri. Jumlahnya hanya dua orang.
Nama-nama para penguji ditentukan oleh promotor. Dasar pemilihannya, selain karena sudah kenal baik, promotor juga sudah diakui kepakarannya. Namun yang bersangkutan tidak boleh sedang memiliki kerja sama pengerjaan proyek dengan promotor. Sekalipun promotor dan penguji sudah saling kenal, jangan pula dibayangkan kelulusan bisa begitu mudah diraih, sebab mereka memiliki standar penilaian yang lumayan ketat. Selanjutnya, para penguji akan menentukan apakah tesis itu layak lulus atau tidak.
Jika lulus, harus dilihat pula kualifikasinya. Ada yang lulus tanpa revisi, dengan revisi minor, dan dengan revisi mayor. Jika tidak lulus berarti harus mengulang. Bagi yang lulus tanpa revisi, tentunya tidak ada masalah. Jika status kelulusan revisi minor, maka tesis harus diperbaiki tanpa perlu dinilai lagi oleh penilai luar, cukup meminta persetujuan dari ketua jurusan dan komite internal di universitas.
Sistem ini menjamin tesis dibuat dengan sangat baik, karena jika tidak, pastilah akan sulit meraih kelulusan. Jika sampai lulus, itu berarti kemampuan mahasiswa dalam menulis karya ilmiah bisa dibilang sudah bagus. Hanya saja sistem ini menjadikan si penulis lepas kendali terhadap karyanya sendiri. Sebab pengendalinya kini berada di tangan tim penguji. Jika para penguji konsisten dengan durasi waktu yang disediakan untuknya, maka hasilnya sudah dapat diterima dalam waktu enam minggu. Jika kurang beruntung, tentu akan jauh lebih lama dari itu.
Sri Darma termasuk orang kurang beruntung, yang berarti dia menunggunya cukup lama. Kurang beruntung, tidak selamanya harus diartikan bahwa tesisnya kurang berbobot, sebab ada kalanya pula karena kesibukan para penguji. Namun bisa pula karena faktor bahasa. Sebab karya ilmiah yang disusun oleh orang yang bukan penutur asli bahasa Inggris, pasti akan memiliki banyak kekurangan. Ini bukan semata-mata karena persoalan tata bahasa, grammer, tapi juga nilai rasa ekspresi bahasa. Tulisan yang memiliki ekspresi bahasa akan terlihat sangat natural. Para penutur asli bahasa Inggris, biasanya menunjukkan ekspresi bahasanya dengan cara tidak semata-mata menggunakan makna harfiah, melainkan juga idiom. Di Indonesia hal yang serupa juga sering terjadi, misalnya kata desas-desus diekspresikan menjadi kabar angin.
Dari sejumlah faktor di atas, Sri Darma tidak mengetahui mana yang merupakan faktor penentu, sehingga dia harus menunggu dalam kurun waktu yang tidak pasti. Ketimbang mereka-reka sendiri jawabannya, Sri Darma memilih pulang ke Bali. Ini merupakan fenomena umum bagi orang-orang Indonesia yang kuliah di Australia, sebab mereka merasa tidak nyaman saat menunggu dalam ketidakpastian. Sri Darma merasakannya sendiri, pikirannya jadi menerawang entah kemana. Sebentar ke arah positif dan tak lama jadi ke negatif.
Barangkali kalau sudah berada dekat dengan keluarga, akan membuatnya selalu berpikiran positif. Positif kalau dia akan lulus. Tidak bisa ditawar lagi, pada 25 Desember 1998, Sri Darma terbang menuju Bali. Dia pun kembali berkumpul dengan keluarga dan tentunya juga dengan kekasih tercinta. Setelah melepas kerinduan, Sri Darma menyempatkan diri berkunjung ke Undiknas. Banyak kawannya di kampus yang menyangka Sri Darma sudah lulus. Posisi ini cukup menyulitkannya, karena setiap orang yang berpapasan dengannya langsung mengucapkan selamat disertai dengan dengan permintaan mentraktir. Ada yang mengucapkannya secara serius dan tentunya pula basa-basi. Lebih dari itu, namanya sudah ditambahi gelar D.B.A. Padahal mereka tidak mengetahui kalau Sri Darma sedang gelisah menunggu pengumuman kelulusannya.
Di tengah-tengah kegalauan hatinya itu, Sri Darma bertemu dengan Rektor Undiknas, Gorda. Setelah basa-basi, dia menyerahkan sepucuk surat resmi dari Southern Cross University. Dalam surat itu antara lain disebutkan, Sri Darma telah menyelesaikan studi dan tinggal menunggu hasilnya dari tim penilai tesis. Gorda langsung membacanya. Ekspresi pertama yang terpancar dari wajahnya adalah rasa bersalah. Sebab dulu dia sempat menghalang-halangi Sri Darma kuliah di luar negeri. Karena khawatir tidak akan mampu mengikuti perkuliahan. Apalagi lulus, sehingga dana yang dikeluarkan untuk membiayai perkuliahannya jadi sia-sia. Kini kekhawatirannya itu yang justru sia-sia, sebab tidak terbukti menjadi kebenaran. Gorda pun hanya bisa berkata pendek sambil tersenyum, "Hebat, ternyata, kamu struggle sekali."
Tidak hanya sekedar memuji, Gorda pun memberi Sri Darma kepercayaan menduduki posisi Pembantu Rektor IV, sebuah jabatan yang secara struktural langsung berada di bawah rektor. Saat itu di Bali belum ada universitas yang memiliki jabatan itu, termasuk di dalamnya Universitas Udayana. Setelah diberi tahu deskripsi tugasnya, Sri Darma menyatakan persetujuannya menduduki jabatan tersebut. Dia dilantik pada 18 Januari 1999.
"Saya ingat waktu itu, saya pernah muncul di koran Bali Post di halaman 2 di kolom figur. Diberitakan kalau ini anak muda yang langsung diangkat menjadi PR IV."
Setelah dilantik, Sri Darma mulai menjalankan tugas-tugas yang disandangnya selaku PR IV. Menangani bidang kerja sama, baik dengan lembaga-lembaga pendidikan di dalam maupun luar negeri. Salah satunya adalah menyelenggarakan seminar internasional. Sekalipun tidak bekerja seorang diri, tapi tugas ini cukup mampu menimbulkan ketegangan yang mengakibatkan dirinya sedikit stres. Itu tentu karena tugas perdana yang dikerjakannya ini merupakan suatu hal yang baru dan melibatkan orang-orang di luar negeri. (*)
Menembus Batas, Profesor Sri Darma di Era Global dan Digital (30)
Senin, 17 Juli 2017 9:04 WIB