Catatan Redaksi
Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan masyarakat Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari Sri Darma tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif menyiapkan anak anak Bali dengan visi 'Move to Global Digital' dengan mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa depan.
Keseriusan Sri Darma menjalankan tugasnya sebagai PR IV diacungi jempol oleh Rektor Undiknas, Gorda. Saking percayanya Gorda akan kualitas kepemimpinan yang Sri Darma miliki, dia pun ingin memberinya kepercayaan yang lebih besar lagi, yaitu menjadi Rektor Undiknas.
"Apakah kamu sudah siap maju menjadi rektor?" Tanya Gorda yang sudah memasuki masa akhir jabatan sebagai Rektor Undiknas pada tahun 2001.
"Maaf Pak, saya belum siap. Jadi saya belum bersedia memikul tanggung jawab sebagai Rektor Undiknas," jawab Sri Darma dengan tegas. Namun masih menyisakan raut keterkejutan di wajahnya. Terkejut karena secepat itu akan ditunjuk sebagai rektor.
Belum siapnya Sri Darma menjabat sebagai Rektor Undiknas, memaksa Gorda harus melempar pemilihan rektor secara terbuka. Tersaringlah tiga kandidat yang berasal dari Fakultas Hukum serta Fakultas Ekonomi Undiknas.
Mereka berhak mengajukan visi serta misi masing-masing dalam sebuah forum yang dihadiri mahasiswa dan karyawan di lingkungan Undiknas. Mereka adalah Putra Suryanata, Rai Mahaputra, dan I Nyoman Daduarsa.
Pertarungan ketiga kandidat ini akhirnya melahirkan seorang pemenang, yang akan memikul beban berat sebagai Rektor Undiknas periode 2001-2005. Dia adalah Putra Suryanata. Rektor yang baru ini langsung memulai pekerjaan dengan memperkuat jajaran pembantu rektor.
PR I dipercayakan pada Anggaradana. Ida Bagus Teddy Prianthara sebagai PR II. I Made Rai Mardingga sebagai PR III. Sedangkan jabatan PR IV kembali dipercayakan pada Sri Darma.
Namun jabatan selaku PR IV hanya berlaku sampai 2 Mei 2002, karena rektor mengangkatnya menjadi PR I.
"Tahun 2002, terjadi rolling pembantu rektor. Pak Rektor mempercayai saya menjadi Pembantu Rektor I. Memegang tanggung jawab sebagai PR I, barulah saya merasakan benar-benar berkiprah di Undiknas. Saat menjadi PR IV, tugas saya hanya menjalin kerja sama serta membuat MoU dengan banyak pihak. Tapi berbeda saat saya menjadi PR I. Karena di sini saya bisa merasakan jantungnya perguruan tinggi."
Berkiprah sebagai PR I, menjadikan Sri Darma mulai tahu isi dapur sebuah universitas. Apakah masakan yang dihasilkan dapur itu terlalu manis atau justru malah kelewat asin. Agar mendapat rasa yang pas, koki harus pandai-pandai mencampur bumbu sesuai dengan resep yang diacu. Sebagai kokinya Rektor Undiknas, Sri Darma dituntut untuk mahir meramu segala sarana serta prasarana kampus demi menciptakan lulusan yang berkualitas.
"Tiga kata kunci yang bisa memajukan kampus adalah dosen, kurikulum, dan terakhir sarana prasarana. Tidak boleh hanya membenahi satu aspek. Misalnya sarana prasarananya sudah seperti hotel berbintang lima, tapi kalau dosen dan kurikulumnya tidak bermutu, itu juga tidak ada gunanya."
Inilah ramuan yang akan Sri Darma pakai sebagai PR I untuk menjadikan Undiknas lebih baik dari sebelumnya.
"Saya akan membenahi dosennya terlebih awal agar lebih bermutu. Kemudian menyesuaikan kurikulum perkuliahan yang sesuai dengan perkembangan zaman. Setelah itu baru saya akan fokus pada peningkatan sarana prasarana."
Sekalipun sudah menduduki jabatan sebagai PR I, namun Sri Darma tidak merasa sungkan ketika diajak oleh seorang tokoh LSM, Nengah Dasi Astawa yang juga dosen Undiknas untuk beraudiensi lebih tepat disebut berdebat dengan anggota DPRD Bali. Sekalipun tidak ikut berdebat, namun kehadiran Sri Darma di gedung DPRD, membuat tokoh-tokoh LSM saat itu terkejut, karena ternyata seorang PR I masih punya waktu dan keinginan untuk ikut memikirkan kondisi tata ruang Bali kala itu.
Beratnya Tugas Sebagai Pembantu Rektor I
Pembenahan mutu dosen Undiknas merupakan program awal yang diprioritaskan oleh Sri Darma selaku PR I. Saat itu sebagian besar dosen Undiknas baru sampai pada jenjang pendidikan S-2. Ini merupakan buah karya Rektor Gorda. Sri Darma pun mencoba memupuk benih-benih yang telah ditanam oleh seniornya itu dengan cara meminta para dosen supaya melanjutkan studi ke jenjang S-3. Kalau bisa di luar negeri supaya wawasan menjadi lebih luas dan terbiasa berpikir secara cepat, mengikuti perkembangan zaman. Namun tidak mudah mewujudkannya, sebab usia dosen yang rata-rata sudah mencapai sekitar 50 tahun, tidak terlalu hirau dengan usulan yang disampaikan Sri Darma.
Ketidakhirauan mereka pada usulan itu bisa dimengerti, karena para dosen Undiknas itu, sedang mengalami proses transisi menuju usia lanjut. Di media sosial bisa dijumpai sejumlah artikel bagaimana para psikolog menggambarkan kejiwaan manusia melalui garis sisi sebuah trapesium. Trapesium adalah bangun datar dua dimensi yang dibentuk oleh empat buah rusuk yang dua di antaranya saling sejajar namun tidak sama panjang.
Garis trapesium yang miring menanjak dipakai untuk menggambarkan perkembangan manusia sejak usia bayi hingga mencapai kedewasaan. Pada garis itu terlihat proses perkembangan yang progresif. Pertumbuhan fisik berjalan secara cepat sehingga mencapai titik puncak perkembangannya, yaitu dewasa, 22-24 tahun. Sejak usia kedewasaan itu, hingga ke usia sekitar 50 tahun, perkembangan fisik manusia banyak mengalami perubahan.
Di atas usia 50 tahun perkembangan fisik mulai mengalami penurunan secara drastis hingga mencapai usia lanjut. Karena itu, para psikolog memakai garis menurun untuk menggambarkan perkembangan pada periode yang disebut pula sebagai periode regresi, penurunan. Bersamaan dengannya, terjadi pula berbagai perubahan secara psikis yang ikut mempengaruhi berbagai aspek kejiwaan, seperti terlihat dari pola tingkah lakunya.
Sementara, usia Sri Darma, secara psikologi disebut sedang berada pada tahap kedewasaan awal, sekitar 24-40 tahun. Pada periode ini manusia cenderung suka berbagi perasaan, bertukar pikiran dan begitu bersemangat memecahkan berbagai persoalan kehidupan dengan orang lain. Selain memiliki kecenderungan besar untuk hidup berumah tangga, siapapun yang sedang berada pada tahap kedewasaan awal itu, suka memikirkan kehidupan sosial yang lebih luas dan masalah-masalah keagamaan yang sejalan dengan latar belakang kehidupannya.
Dengan menggunakan pendekatan psikologi tersebut, maka bisa dimengerti jika Sri Darma yang sedang berada pada tahap kedewasaan awal begitu bersemangat meminta koleganya melanjutkan pendidikan ke jenjang S-3. Pendekatan itu, bisa pula dimengerti kenapa para dosen Undiknas kurang bergairah merespon gagasan Sri Darma. Sebab secara psikologis, pada masa kedewasaan menengah, antara 40-65 tahun, manusia memang sedang mencapai puncak periode usia yang paling produktif.
Namun di sisi lain, dalam kaitannya dengan kejiwaan, orang-orang berada pada masa kedewasaan menengah, sedang mengalami krisis yang disebabkan oleh adanya pertentangan batin antara keinginan untuk bangkit dengan membiarkan diri mengalami kemunduran. Karena itu, pemikiran mereka lebih terarah pada kepentingan keluarga, masyarakat, dan generasi mendatang. Mereka pun memiliki perhatian besar terhadap masalah-masalah kemasyarakatan dan gemar membantu generasi muda.
Namun karena belum mengerti ilmu jiwa, psikologi, maka kalangan muda, termasuk juga Sri Darma, mengaitkan keengganan dosen-dosen senior itu melanjutkan pendidikan ke jenjang S-3 karena mereka sudah cukup bangga dengan ilmu yang didapatnya dari sejumlah universitas ternama di Indonesia pada periode 1980-an hingga 1990-an. Mereka dinilai tidak menyadari bahwa ilmu yang mereka peroleh relatif sudah tidak relevan digunakan pada milenium ketiga ini.
Begitu pula dengan buku penunjang, seringkali ketinggalan zaman, apalagi tentang akuntansi misalnya. Ilmu Akuntansi selalu berkembang, seiring dengan perkembangan dunia bisnis. Itu karena ilmu akuntansi harus selalu memberikan informasi keuangan maupun yang tidak terkait dengan keuangan dalam proses pengambilan keputusan bisnis. Di dalam ilmu Akuntansi harus ada pula petunjuk untuk memilih tindakan terbaik dalam memanfaatkan sumber daya yang langka pada aktivitas bisnis dan ekonomi. Karena itulah ahli-ahli akuntansi selalu memperbaruhi ilmunya, yang kemudian melahirkan buku-buku baru. Hal yang serupa tentunya terjadi pula pada ilmu-ilmu lainnya.
Dengan demikian, tidaklah mungkin buku di era tahun 90-an dipakai untuk mengajar mahasiswa jurusan Akuntansi di tahun 2000-an. Namun nyatanya, masih banyak dosen di Undiknas yang melakukan itu. Kalau disarankan membeli buku baru, mereka akan menolak. Dengan seribu satu alasan, antara lain tidak bisa membaca lagi, karena umur sudah tua. Sri Darma tidak begitu saja menerima alasan itu.
Namun dia tidak bisa memaksa, karena keinginan membaca harus tumbuh dari kesadaran sendiri. Dia hanya bisa menghimbau jika tidak ingin membaca buku baru, setidaknya harus membaca koran. Melalui koran, perkembangan ilmu pengetahuan bisa dipantau. Entahlah, nampaknya usulan yang ini juga kurang mendapat sambutan.(*)