Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan masyarakat Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari Sri Darma tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif menyiapkan anak anak Bali dengan visi 'Move to Global Digital' dengan mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa depan.
Ternyata susah jugameramu dosen-dosen Undiknas menjadi lebih bermutu dan terpenting selalumengikuti perkembangan ilmu pengetahuan sesuai bidang masing-masing. Hinggaakhirnya ada satu momen yang membuat Sri Darma mampu meningkatkan kualitasdosen-dosen Undiknas. Momen itu muncul ketika Undiknas mengalami kemerosotanjumlah mahasiswa.
“Undiknas mulaikekurangan mahasiswa. Dari universitas yang dulunya “membuang†mahasiswa karenasaking banyaknya, akhirnya hanya seperti Maneki Neko, pajangan kucing dari Jepangyang terbuat dari keramik atau porselin. Sebelah kaki depan dinaikkan danmelambai-lambaikan untuk memanggil-manggil mahasiswa supaya mau kuliah di Undiknas.â€
Realitasnya memangseperti itu, Undiknas sampai terpaksa seperti Maneki Neko yang sedang memanggil-manggilcalon mahasiswa. Ini merupakan akibat dari dibukanya kelas ektensi padabeberapa fakultas di Universitas Udayana, Karena itu para calon mahasiswa darikalangan menengah ke atas yang tidak lolos seleksi di fakultas reguler, lantasberalih ke fakultas-fakultas yang menyediakan kelas ekstensi, utamanya diFakultas Ekonomi Universitas Udayana.
Fakultas EkonomiUniversitas Udayana sebenarnya sudah mulai menyelenggarakan program ektensipada tahun 1996. Terutama dalam program-program Studi Ekonomi Pembangunan,Manajemen, dan Akuntansi. Keberadaan program tersebut diharapkan agar tidakmerugikan, melainkan justru dapat membantu kelancaran penyelenggaraan programregular. Dari sudut pandang internal, boleh jadi keberadaan program ektensi itutidak merugikan, bahkan justru menguntungkan secara ekonomi. Namun tidakdemikian halnya kalau dilihat dari sudut pandang eksternal, terutama univeritasswasta. Semakin tahun jumlah mahasiswanya semakin merosot, karena itu secaraakal sehat bisa dimengerti mahasiswa lebih senang memperoleh ijazah negeri,ketimbang yang berasal dari universitas swasta terbaik mana pun di Bali.
Tahun 2004, saat SriDarma masih menduduki posisi sebagai PR I Undiknas, demam mahasiswa masuk keprogram ektensi sedang mengalami peningkatan. Itu terutama karena pesertanyabukan dari orang-orang yang tidak sempat kuliah karena sudah bekerja, namunlulusan sekolah menengah atas yang belum memiliki pengalaman kerja. RektorUndiknas, Putra Suryanata, sampai ikut berkomentar di surat kabar mengenaifenomena tersebut. Dia mengatakan, program ektensi paling banyak menyedotlulusan SMA, sehingga PTS memperoleh sisa-sisa saringannya dan itu pun harusberebut. Sekalipun PTS belum tentu kalah bersaing dari segi kualitas, namunkalah dari segi nama. Karena itu dia sepakat dengan pendapat yang menyatakanjika biaya pendidikan program ektensi di Unud ditingkatkan lagi supayabetul-betul menjadi program khusus.
Pernyataan RektorUndiknas, akhirnya menimbulkan polemik di media cetak antara PR I Unud dengan PRI Undiknas. Perang itupun berkesudahan, setelah Sri Darma selaku PR I Undiknasterhenyak mendengarkan perkataan PR I Unud.
“Tidak perlumempermasalahkan kelas ektensi Unud. Kalau Undiknas memang bermutu, pasti akandicari. Kalau memang ingin bermutu, mari diperbaiki. Jangan malah teriak-teriakmemprotes Unud yang membuka ektensi,†kenang Sri Darma.
Perkataan PR I Unud itubagaikan sebuah tamparan yang luar biasa kerasnya bagi Sri Darma. Dia malu.Dari rasa malu itu lalu timbul rasa jengah. Dia pun bangkit membenahi kualitaspara dosen di Undiknas. Namun masih saja terasa sulit baginya untuk memintapara dosen itu terus belajar demi peningkatan mutu pendidikan di Undiknas.Sekalipun sudah ada restu dari Rektor Undiknas, Putra Suryanata, namun SriDarma masih belum bisa berbuat banyak. Tidak ada satupun dosen Undiknas yangbelum bersedia melanjutkan ke jenjang S-3.
Kondisi tersebutmenjadikan tugas Sri Darma sebagai PR I terasa berat. Namun dia tak pernahmenyerah. Segala daya dan upaya dikerahkannya untuk meningkatkan kualitaspendidikan di Undiknas. Karena telah gagal mencapainya melalui peningkatankualitas para dosen, Sri Darma mencoba melakukan cara yang lain, melaluipembaruan kurikulum. Dia menemukan ada beberapa kekurangan dengan kurikulum diUndiknas. Silabus perkuliahan yang dipakai sudah jadul, jaman dahulu. Karenaitu tidak memenuhi standar keilmuan masa kini. Para dosen jadinya hanyamemberikan materi kuliah secara monoton. Serba membosankan. Kondisi ini punmempengaruhi keseriusan belajar mahasiswa di kelas. Semangat belajar merekahilang entah kemana, ingin perkuliahan cepat-cepat selesai, dan bahkan ada yangberucap, “Pulang saja, Pak.â€
Tidak hanya menunjukkantanda-tanda malas belajar, kelemahan kurikulum juga membuat mahasiswa beranimeminta kepada dosen supaya diberikan tugas yang ringan-ringan saja. Sudah bisaditebak, tugas yang tidak berbobot pada akhirnya akan menghasilkan lulusan yangtidak bermutu. Ujung-ujungnya akan berimbas pada jatuhnya nama baik Undiknas,yang terkenal mencetak lulusan-lulusan bermutu sejak era 90-an.
Di tengah-tengahsituasi seperti itu, tiba-tiba muncul wacana, membiarkan saja terjadinyapenurunan mutu lulusan Undiknas, dengan cara tidak perlu mengadakan perkuliahansecara serius, seperti terlihat pada sejumlah PTS di Bali. Mahasiswa cukupmembayar dan akan memperoleh nilai bagus. Jelas, Sri Darma tak sependapatdengan wacana itu. Begitu juga dengan Gorda, mantan Rektor Undiknas.
“Undiknas sudahterkenal karena mutunya. Kalau sampai Undiknas menurunkan mutunya dengan alasanmengikuti perguruan tinggi lainnya, maka sama saja kita tidak punya mutu yangbisa dibanggakan.â€
Sekalipun tidak setuju,namun gaung wacana ingin melakukan penurunan mutu pendidikan sangat kuat. Inimembuat Sri Darma kesulitan menciptakan suasana akademik yang bagus diUndiknas. Sekalipun demikian, dia tetap berusaha menciptakan program-programyang sekiranya bisa meningkatkan mutu lulusan Undiknas. Salah satu usahanyaadalah tidak dengan cara membuat program khusus bahasa Inggris, yang kemudian berlanjutdengan adanya Friday English. Setiap hari jumat, perkuliahan wajib menggunakanbahasa Inggris.
Diawal pencetusanprogram Friday English itu, sempat muncul penolakan dari dosen-dosen Undiknas.Namun Sri Darma mencoba memberikan penjelasan.
“Kalau dari sekarangkita tidak mau menerapkan program Friday English, lantas akan seperti apa nasibUndiknas ke depannya di tengah-tengah semakin menguatnya era globalisasi.â€
Namun ada salah satudosen mengatakan,
“Jangan mentang-mentangkamu PR I dan lulusan Australia, dan sekarang mewajibkan kami semuanyaberbahasa Inggris.â€
Penolakan tak hanyaterjadi pada program Friday English, tapi juga ketika Sri Darma inginmenerapkan TOEFL (Test of English as a Foreign Language) pada mahasiswaUndiknas. Nilai minimal semula 450. Lantas dinaikkan menjadi 500.
“Kalau standar TOEFLyang diterapkan rendah, maka lulusan Undiknas tidak akan bermutu. Tidak akandipakai oleh orang lain. Jadi bahasa Inggris mereka harus bagus. Dosen jugawajib memberikan ilmu pengetahuannya yang update. Dan bukan hanya mengajar,setelah itu langsung pulang.â€
Usaha peningkatan poinTOEFL serta pemakaian bahasa Inggris setiap hari Jumat dalam perkuliahan, harusdibarengi pula dengan pembenahan sarana prasarana di Undiknas. Tanpadimungkiri, sarana prasarana juga punya andil besar dalam meningkatkan mutupendidikan di Undiknas. Karena itu Sri Darma mengusulkan pembaruan beberapafasilitas penunjang di ruang kelas. Dari semula memakai papan tulis kemudiandigantikan dengan white board.
Lebih dari itu, SriDarma juga mengusulkan penambahan LCD (Liquid Crystal Display) dan power pointslide dalam penyampaian materi kuliah. Sekali lagi, usulan itu juga mendapatpenolakan dari dosen-dosen senior Undiknas.
“PR I kan lahirnya dizaman keju, jadi gampang saja mengeluarkan usulan seperti itu. Sedangkan sayakan lahir di zaman singkong. Bagaimana caranya belajar komputer, belajarmembuat power point slide. Apalagi saya sudah tua,†ujar salah seorang dosensenior Undiknas pada Sri Darma.
Suara-suara penolakan yang terlontar daridosen-dosen senior, tidak menjadikan Sri Darma patah arang. Dia lantas melirikdosen-dosen yang terbilang masih muda untuk diajak berdiskusi tentang pemakaianLCD. Serta berbagi ilmu pada mereka tentang cara pembuatan dang pengaplikasianpower poin slide, yang tentunya sangat memudahkan saat mengajar. Proses belajarmengajar yang berlangsung dalam kelas akan terasa lengkap dengan ketersediaanfasilitas penunjang lainnya, yaitu pemasangan AC (air conditioning) sertaperbaikan kursi belajar. Terdengar sederhana, tapi sangat bisa mempengaruhisemangat belajar mahasiswa. (*)