Catatan Redaksi
Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan masyarakat Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari Sri Darma tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif menyiapkan anak anak Bali dengan visi 'Move to Global Digital' dengan mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa depan.
Penegakan disiplin ala UGM itu lantas dipadukan oleh Sri Darma dengan keteraturan manajemen pendidikan di Southern Cross University.
"Segala sesuatu yang ada di Southern Cross University sudah ada SOP-nya (Standard Operating Procedure). Mulai dari hal yang terkecil hingga terbesar. Penggunaan fasilitas komputer saja ada SOP-nya. Jadi sudah tertera jelas dalam peraturan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan mahasiswa di lingkungan kampus. Kalau sampai melanggar, sudah ada sanksi yang siap menyambut. Kalau berprestasi, akan ada reward tersendiri."
Sri Darma sadar cukup berat melaksanakan sistem pendidikan yang dirancangnya itu karena tidak mungkin dilaksanakan sendiri. Karena itu, dia harus bersikap hati-hati saat memilih orang-orang haruslah bisa menjadi sebuah tim kerja yang kuat, yang bisa saling menyokong satu sama lain.
Namun relatif sulit mencari dan menemukan orang yang diyakininya memiliki integritas dan siap bekerja keras. Dia jadi kebingungan, sebab masih belum mengenali secara mendalam karakter dan kemampuan koleganya di Undiknas. Jadinya, dia tidak bisa segera memutuskan siapa yang paling pantas dan sesuai untuk diajak bekerja sama.
Sri Darma lantas mencoba mencari dan menemukan jalan keluarnya dengan cara meminta saran dari Gorda serta ayahnya, Sambereg. Dia yakin para pendiri Undiknas itu pasti mampu memberikan jalan keluarnya. Benar, keduanya menyodorkan sejumlah nama yang dinilai cukup kompeten. Sri Darma menyetujuinya dan langsung menempatkan mereka ke dalam posisi sebagai Pembantu Rektor atau Deputi Rektor.
Deputi Rektor I yang fokus menangani masalah akademik dipercayakan pada Oka Suryadinatha. I Gde Sanica menjadi Deputi Rektor II yang menangani bidang administrasi umum dan keuangan. Deputi Rektor III yang menangani kemahasiswaan dan alumni dipercayakan pada I Nengah Wirsa. Sedangkan Deputi Rektor IV yang bertugas mengurusi perencanaan, kerja sama serta sistem komunikasi diserahkan kepada I Nyoman Budiana.
Setelah berjalan selama lima bulan, Sri Darma melakukan pergantian dalam struktur Deputi Rektor. Oka Suryadinatha Gorda yang sebelumnya menjabat sebagai Deputi Rektor I kemudian digantikan oleh I Gde Sanica. Pergantian ini terjadi karena dia ditugaskan menduduki jabatan lain.
Dengan terpilihnya I Gde Sanica sebagai Deputi Rektor I, maka kursi Deputi Rektor II menjadi kosong. Kursi kosong itu lantas diserahkan kepada Nyoman Gede Arya Diatmika. Sedangkan Deputi Rektor III dan Deputi Rektor IV tidak mengalami pergantian. Masih dengan pejabat yang sama. (Tahun 2007 kembali ada pergantian. Deputi Rektor IV dihapuskan. Posisi Deputi Rektor III dijabat oleh I Wayan Sunia. Deputi Rektor II dipercayakan kepada Ida Bagus Teddy Prianthara. Dr. Ida Bagus Raka Suardana dipercaya menjabat sebagai Deputi Rektor I).
Para Deputi Rektor yang terpilih lantas berkolaborasi dengan Sri Darma dalam mengembangkan beragam ide demi memajukan Undiknas. Namun sebelum ide-ide itu terwujud dengan baik, Sri Darma berhadapan dengan fenomena baru yang menyulitkannya, yakni lulusan SMA di Bali, terutama yang tidak mendaftar dan tidak yakin akan diterima ke fakultas-fakultas reguler PTN yang cenderung memilih fakultas bidang keguruan ketimbang ke fakultas-fakultas swasta non-keguruan.
"Saya memimpin Undiknas pada waktu yang kurang tepat. Banyak faktor eksternal yang membuat saya kesulitan memimpin Undiknas. Salah satunya dikeluarkannya UU Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen."
Dalam undang-undang tersebut secara jelas diatur mengenai kedudukan, fungsi dan tujuan, kompetensi, serta hak dan kewajiban guru. Undang-undang tersebut menarik perhatian para lulusan sekolah menengah atas, setelah terbukti tingkat kesejahteraan para guru jauh meningkat, ketimbang periode sebelumnya. Ini terkait dengan tunjangan-tunjangan yang diterima para guru. Ada tiga jenis tunjangan yang akan diterima guru terkait dengan profesi, fungsional, dan khusus.
Ketiga tunjangan itu bagaikan magnet yang menyedot calon mahasiswa yang berminat menjadi guru, sehingga formulir pendaftaran masuk ke Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Singaraja, Universitas Dwijendra, dan Universitas Saraswati semakin banyak diminati. Apalagi pada tahun 2006 IKIP Singaraja berubah menjadi Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), yang sekaligus mampu meningkatkan status atau gengsi mahasiswa keguruan.
Peningkatan gengsi mahasiswa keguruan itu mengakibatkan semakin berkurangnya jumlah mahasiswa swasta non-keguruan. Fenomena itu sangat terasa di Undiknas yang masih tetap mengandalkan program ekonomi manajemen dan akuntansi. Sejalan dengan itu, ada kecenderungan perguruan tinggi swasta di Bali yang memiliki program studi ekonomi, ramai-ramai menawarkan biaya kuliah murah.
Dalam pandangan Sri Darma, fenomena itu menunjukkan para pengelola perguruan tinggi swasta sudah bagaikan pedagang di pasar senggol. Berbeda dengan di mall, para pedagang di pasar senggol berlomba-lomba menjual barang dagangan masing-masing dengan harga yang murah tanpa menghiraukan kualitas serta mutu. Hal yang terpenting bagi mereka adalah menggaet mahasiswa sebanyak-banyaknya. Dengan janji tidak tertulis, mahasiswa akan bisa lebih mudah memperoleh gelar kesarjanaan. Gelar kesarjanaan pun jadi lebih penting ketimbang ilmu pengetahuan yang didapat selama menjalani proses perkuliahan.
Jumlah orang yang bersikap pragmatis seperti itu ternyata cukup banyak dan sejumlah PTS menjadikannya sebagai peluang untuk menawarkan biaya pendidikan yang murah. Kondisi ini sudah layaknya meniru hukum permintaan dan penawaran. Hukum ini berbunyi apabila harga naik, maka jumlah permintaan akan mengalami penurunan dan apabila harga turun, maka dengan sendirinya permintaan meningkat.
Dalam menghadapi fenomena tersebut, Sri Darma masih tetap bertahan dengan prinsipnya, tidak akan mau mengekor perguruan tinggi swasta lainnya yang menawarkan harga murah. Dia ingin menempuh caranya sendiri, yang justru berlawanan dengan strategi yang diterapkan PTS pada umumnya, yakni menaikan biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). Banyak pihak yang mencibir kebijakan itu, karena justru akan semakin menjauhkan Undiknas dari calon-calon mahasiswa baru. Namun Sri Darma bergeming. Sebab sebelum melahirkan usulan itu, Sri Darma sudah memikirkan matang-matang baik buruknya.
"Saya membuat perumpamaan. Undiknas ingin seperti pasar senggol atau pasar swalayan. Kalau tetap ingin seperti pasar swalayan, dalam etalase harus kita pajang dengan produk-produk berkualitas."
Demi menghasilkan produk-produk berkualitas, tentunya pasti memerlukan biaya tidak sedikit. Namun Sri Darma tetap memperjuangkan usulannya itu. Pihak yayasan akhirnya turun tangan, menentang usulan itu. Terjadilah sedikit debat antara Sri Darma dengan pihak yayasan.
"Mahasiswanya sudah sedikit dan sekarang SPP dinaikkan," kata seseorang dari pihak yayasan.
"Lebih bagus mana, kita hanya dapat 200 orang mahasiswa tapi dengan SPP murah. Ataukah 200 orang mahasiswa tapi dengan SPP yang mahal. Ini bisa meningkatkan pendapatan yang nantinya dapat dipakai untuk membiayai pembangunan infrastruktur di Undiknas," jawab Sri Darma.
Jawaban Sri Darma yang disampaikan dengan penuh keyakinan, akhirnya mampu melunakkan hati pihak yayasan, sekalipun nilai kenaikannya cukup tinggi, sehingga mencapai Rp.5.500.000 per semester. Kenaikan itu tak pelak menimbulkan pertanyaan dari keluarga mahasiswa. Sebab terjadi perbedaan yang cukup mencolok antara biaya SPP angkatan lama dengan angkatan baru.
Lalu muncul sejumlah pertanyaan, antara lain "Kenapa kenaikan biaya SPP-nya begitu tinggi?"
Sri Darma sudah memiliki jawabannya, inflasi tinggi yang melanda Indonesia. Pada akhirnya, para keluarga mahasiswa bisa memahami kenaikan SPP di Undiknas. Namun persoalannya belum selesai hingga di situ, sebab keputusan Sri Darma menaikkan SPP sudah terlanjur menjadi wacana publik. (*)