Catatan Redaksi
Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan masyarakat Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari Sri Darma tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif menyiapkan anak anak Bali dengan visi 'Move to Global Digital' dengan mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa depan.
Dengan demikian, kembali kepada peristiwa yang dialami Sri Darma semasa kuliah di Australia, itu artinya dia terbukti telah mampu mengalahkan para missionaris yang sudah terlatih. Itu menunjukkan betapa kuatnya benteng pertahanan Sri Darma dalam menghadapi terjangan yang begitu dahsyat dari orang-orang yang suka mengagamakan lagi orang yang sudah beragama, karena menganggap agamanya sendiri yang paling benar, paling sempurna di dunia ini.
Terbentuknya benteng pertahanan yang kokoh itu karena sejak kecil dia selalu menjalin hubungan spiritual dengan Sang Pencipta, Hyang Widhi, melalui lantunan mantram Gayatri. Setelah itu dilanjutkan dengan bersembahyang kepada roh suci leluhur, supaya selalu menjaganya, melindunginya dari segala mara bahaya. Lalu ditutup dengan meditasi.
Dulu saat di Bali, semua aktivitas spiritual itu dilakukan di sanggah, kuil keluarga. Namun ketika kuliah di Yogyakarta, dia melakukannya di depan palangkiran, sebuah sarana pemujaan berbentuk segi empat panjang dengan ukuran sekitar 30x40 sentimeter yang terbuat dari kayu dan dipasang di dinding kamar. Karena tidak ada yang menjualnya di Australia, lalu digantikan dengan sebuah gelas sukla, yang belum pernah digunakan untuk minum. Lalu diberikan penyangga supaya menempel di dinding kamar. Di dalam ruang kosong gelas itu diisi beras secukupnya untuk menancapkan dupa.
Palangkiran gelas suci itu juga dijadikan sebagai media persembahyangan pada hari raya Galungan dan Kuningan. Seperti sudah disebutkan di atas kenangan masa kecil saat perayaan hari suci yang jatuhnya berulang datang setiap 210 hari itu sangat sulit dilupakan. Terbawa terus hingga dewasa. Namun adegan kenangannya berbeda. Di usia yang semakin bertambah, orang-orang Bali Hindu tentu tidak lagi berburu materi persembahan, melainkan sudah dilibatkan dalam pengerjaan masakan tradisional, biasanya disebut lawar, yang akan digunakan sebagai bahan persembahan pada hari Galungan.
Pengerjaan masakan tersebut, yang biasa disebutkan ngelawar, dilakukan sehari sebelumnya, disebut dengan hari penampahan Galungan. Pada hari itu, dilakukan pemotongan babi, yang secara filosofis keagamaan berarti menghilangkan sifat malas dan tidak beradab dan kemalasan yang melekat pada diri manusia. Namun dalam kenyataannya, sangat sedikit yang paham arti makna itu karena terseret oleh arus pesta dan kegembiraan yang menyertainya. Itu karena relatif tidak ada orang tua yang menjelaskan makna filosofis keagamaan itu kepada anak-anaknya, sehingga mereka hanya menjadi penonton saat penyembelihan berlangsung dan seiring bertambahnya usia akhirnya bisa ngelawar sendiri. Hal itu juga terjadi pada diri Sri Darma.
Tradisi ngelawar itu pun dibawa oleh Sri Darma ke East Lismore, dengan menggunakan bahan seadanya yang bisa dibeli di supermarket. Di sejumlah supermarket komplek Chinatown, biasanya tersedia bahan-bahan masakan tradisional Asia, seperti beras dan bumbu-bumbuan, namun kebanyakan dalam bentuk instant. Tentu sangat sulit memperoleh darah segar ayam maupun babi, namun itu bukan berarti kegiatan ngelawar tidak terlaksana, sebab ada pula yang tanpa menggunakan darah, disebut dengan lawar putih. Lawar jenis ini terutama disenangi kaum perempuan, yang umumnya merasa jijik dan takut mengkonsumsi darah mentah. Ada juga yang takut karena dianggap mengandung bakteri, namun para penggemarnya mengatakan itu tidak mungkin terjadi karena sudah disertai dengan jeruk limau.
Bagi Sri Darma, lawar merah atau putih, sama-sama enaknya. Kedua-duanya disenangi, karena itu dia pun belajar membuatnya sendiri. Berarti dia harus mengetahui bumbu yang diperlukan dan takaran yang pas. Sekalipun bisa membuatnya sendiri, namun umumnya ngelawar bukan merupakan pekerjaan individu, melainkan kolektif. Setiap orang mempunyai fungsi tersendiri dalam struktur pengerjaan lawar. Ada yang mendapat bagian memarut kelapa, merajang nangka, memotong sayur, mencincang daging, mempersiapkan bumbu, dan yang relatif sulit adalah ngelibar, memotong tipis-tipis kulit daging. Semua itu umumnya dikerjakan oleh kaum laki-laki. Sedangkan kaum perempuan mendapat bagian rebus-merebus, goreng menggoreng, dan meracik lawar sampai jadi. Setelah disisihkan sedikit untuk persembahan, acara berikutnya adalah makan nasi lawar bersama yang biasanya disertai dengan meminum bir.
Para peserta makan bersama itu adalah orang-orang Bali yang tinggal di East Lismore. Jumlahnya relatif sedikit, namun tidak sampai mengurangi kemeriahan dan kesucian perayaan Galungan. Kemeriahannya tidak dilaksanakan hanya dengan cara ngelawar dan makan bersama, tapi juga ucapan selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan melalui email. Selaku Ketua Persatuan Pelajar Australia Cabang Lismore, Sri Darma, bahkan mengirimkan ucapan selamat itu hampir kepada semua mahasiswa Hindu yang kuliah di Australia, tentunya yang alamat email-nya yang tercatat di dalam komputernya.
Bukan hanya pada saat perayaan Galungan, Sri Darma juga pernah membuat lawar yang dikerjakannya sendiri. Lawar ini untuk disuguhkan dalam kegiatan Multicultural Forum di kampus Southern Cross University. Pada kesempatan itu semua mahasiswa International Student dari berbagai jenjang pendidikan diminta membuat makanan khas negerinya masing-masing. Karena dikerjakan sendiri, maka rasanya agak aneh, apalagi juga sangat sulit membeli bahan-bahannya seperti yang ada di Bali.
"Bumbunya, hanya bumbu bubuk, saya membeli langsung di daerah Chinatown. Demikian pula daging babi, yang kemudian saya potong kecil-kecil. lalu saya campurkan dengan bumbu dan sayur yang sudah direbus. Jadilah lawar, sekalipun rasanya sedikit hambar, tidak seperti yang dibuat oleh ibu di Bali."
Sekalipun terasa hambar, namun ternyata banyak diminati, sampai tidak ada yang tersisa. Itu tentu karena ada label lawar, The Balinese Food. Lagi pula orang-orang yang menikmatinya, apakah itu penduduk lokal ataupun orang asing lainnya, tidak mengetahui rasa lawar yang asli. Jadi, daya tariknya bukan pada rasa, melainkan penampilannya yang berbeda, ketimbang masakan dari negara lainnya. Apalagi Sri Darma juga mengenakan pakaian adat Bali pada saat itu. Pakaian itu sudah dia persiapkan dari Bali, dan termasuk seperangkat pakaian lengkap karena ada kampuh dan udeng terbuat dari kain songket. (Kampuh adalah secarik kain yang dipakai dalam rangkaian pakaian adat yang digunakan oleh laki-laki sebagai penutup kain panjang. Udeng adalah ikat kepala. Sedangkan songket adalah nama kain tenun Bali dengan hiasan yang terbuat dari benang emas).
Penampilan Sri Darma pun mampu memikat para peserta Multicultural Forum. Sebagian dari mereka langsung memberikan komentar dengan cara berteriak, "Hey Balinese." Bahkan, salah satu koran lokal di East Lismore, juga sempat memajang foto Sri Darma yang terlihat gagah mengenakan pakaian adat Bali.
"Saya difoto. Koran yang berisi foto saya itu, saya kirimkan ke Bali. Supaya keluarga bisa melihatnya. saya bahagia, bukan hanya karena bisa mejeng di koran, tapi saya bahagia karena kampus mengadakan acara yang luar biasa, yang mengakrabkan sesama mahasiswa dengan cara memperkenalkan budaya dari masing-masing negara."
Acara Multicultural Forum memang dimaksudkan sebagai ajang bagi mahasiswa Southern Cross University untuk bukan hanya memperkenalkan budaya dari negara masing-masing, tapi sekaligus pula menghargai perbedaan. Tampaknya harapan itu bisa terwujud, salah satunya terlihat dari masih berlanjutnya hubungan antara Sri Darma dengan temannya yang sempat mengajaknya untuk masuk ke aliran Yehova. Sama sekali tidak muncul ketegangan karena kedua belah pihak bisa saling menghargai satu sama lain. Padahal ini menyangkut hal yang sensitif, terkait dengan keyakinan terhadap agama.
Ketegangan antara Sri Darma dengan teman-temannya justru muncul pada tahun 1998 ketika terjadi peristiwa kekerasan, pelecehan sosial, dan terenggutnya perdamaian orang Tionghoa di Indonesia. Di Australia, berita mengenai peristiwa tersebut tidak hanya berupa wacana, namun juga berita audio visual.
"Saya melihat sendiri rekaman yang menampilkan bagaimana sadisnya orang-orang Tionghoa dibunuh serta diperkosa."