Catatan Redaksi
Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan masyarakat Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari Sri Darma tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif menyiapkan anak anak Bali dengan visi 'Move to Global Digital' dengan mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa depan.
Rupanya, Sri Darma belum menyadari kalau kawannya yang asal Vietnam itu, bukannya tidak beragama, melainkan dia sedang menjelaskan perilaku dirinya sebagai orang Buddha Theravada. Sekalipun tidak semuanya, pada umumnya orang-orang mengikuti Sang Buddha yang tidak percaya dengan keberadaan Tuhan. Melalui media sosial di kemudian hari, akhirnya Sri Darma tahu, ada begitu banyak penjelasan yang bisa digunakan untuk menerangkan persoalan itu, antara lain tidak akan ada bukti untuk mendukung gagasan mengenai Tuhan. Sang Buddha mengatakan setiap manusia memiliki kemampuan untuk menyucikan pikiran, mengembangkan cinta dan kasih sayang yang tak terbatas dan pemahaman yang sempurna.
Menyangkut asal usul alam semesta, pandangan Sang Buddha sangat sesuai dengan dunia ilmiah. Digambarkan olehnya, bahwa alam semesta dihancurkan dan kemudian kembali berevolusi menjadi bentuknya yang sekarang selama tak terhitung jutaan tahun. Kehidupan pertama terbentuk di permukaan air dan selama jutaan tahun tak terhitung, berevolusi dari yang sederhana menjadi organisme kompleks. Semua proses ini tanpa awal atau akhir, dan digerakkan oleh penyebab alami.
Sekalipun dulu Sri Darma keliru mengartikan bahwa kawannya yang asal Vietnam itu tidak beragama, namun dia mengakui banyak hal yang dipetik darinya, terutama yang berkaitan dengan ketenangan. Dia pun menyimpulkan, berbicara tentang ketenangan, setiap agama memiliki cara sendiri dalam memperolehnya. Misalnya Umat Islam mencari dan menemukan ketenangan melalui sholat tahajud. Sedangkan Umat Hindu meraihnya melalui meditasi. Karena orang-orang Hindu pada umumnya menyediakan waktu untuk melakukan meditasi sesuai dengan bentuk dan alirannya masing-masing.
"Dengan menjalankan meditasi kita akan memperoleh ketenangan batin, itulah agama yang saya yakini," katanya.
Demikianlah, common room kerap jadi saksi bisu diskusi-diskusi para international student tentang sebuah keyakinan, utamanya agama. Karena mereka sama-sama orang akademis, maka topik diskusi yang sesungguhnya relatif sensitif itu dapat dibicarakan secara baik-baik tanpa melahirkan ketegangan.
"Karena kita sama-sama orang intelektual, jadi diskusi-diskusi semacam itu tak sampai melahirkan permusuhan. Justru itu jadi perdebatan yang menarik, karena wawasan kita bisa bertambah."
Tidak hanya wawasannya yang bertambah, diskusi-diskusi di common room itu juga memberikan Sri Darma pelajaran mengenai hakikat kehidupan orang-orang di sejumlah negara. Hakikat kehidupan ternyata tidak dipengaruhi oleh percaya atau tidaknya seseorang kepada Tuhan. Kawannya yang asal Vietnam itu, misalnya sekalipun tidak mengakui keberadaan Tuhan, namun pemahaman dan penghayatannya atas ajaran kebaikan, kasih sayang, dan upaya-upaya mencari ketenangan sangat luar biasa hebatnya.
Pemahaman Sri Darma mengenai Tuhan pun semakin bertambah setelah bertemu dengan seorang kawannya yang asal Jepang. Katanya, orang Jepang membayangkan matahari sebagai Tuhan mereka. "Kalau ingin melihat Tuhan, ya lihat saja matahari," kata si teman Jepang itu padanya. Orang-orang Jepang beranggapan, kalau sampai tidak ada Matahari, maka dijamin tidak akan ada kehidupan di muka bumi ini. Anggapan ini mampu membuat Sri Darma tercengang, "Ini gila. Wawasan saya tentang negara lain bertambah lagi," katanya.
Dikemudian hari, setelah rajin membaca-baca di media sosial, Sri Darma akhirnya tahu juga konsep orang Jepang tentang Tuhan, mirip sekali dengan Sanghyang Siwa Raditya di Bali. Sanghyang Siwa Raditya adalah gelar yang diberikan oleh Bhatara Guru kepada Bhatara Surya, matahari sebagai pahala atas ketekunannya menjadi saksi dunia atau alam ini. Juga atas kepatuhannya kepada Bhatara Guru. Sang Siwa Raditya diberikan palinggihan, tempat tertinggi berupa padmasana yang terletak di timur laut.
Namun ketika masih di Australia, saat pemahamannya tentang Agama Hindu dan budaya Bali masih relatif terbatas, semua penjelasan yang diberikan oleh kawan-kawannya itu dianggap sangat luar biasa manfaatnya. Dia merasakan dirinya jadi memiliki pemahaman baru mengenai Sang Maha Pencipta serta agama non-Hindu. Namun semua itu tidak sampai menggoyahkan pemahamannya tentang Tuhan dan agamanya sendiri. Dia masih meyakini, Sang Hyang Widhi adalah Tuhannya dan Hindu adalah agamanya, sekalipun ada kawannya yang penuh tanda tanya ketika Sri Darma menjelaskan praktik keagamaan Hindu di Bali yang mengenal banyak dewa.
Lebih dari itu, bahkan ada seorang teman yang mendekat dan berusaha memasukkannya ke aliran Yehova. Dia menganggap religiusitas Sri Darma kurang kuat, karena agama Hindu di Bali tidak langsung memuja Tuhan, melainkan melalui perantara para dewa. Karena itu di matanya, peluang untuk mengagamakan Sri Darma sangat terbuka, apalagi kondisi keuangan Sri Darma pas-pasan, sehingga terpaksa harus bekerja demi bisa mempertahankan hidup di Australia. Orang-orang seperti itulah yang enak dijadikan sasaran empuk untuk diagamakan kembali.
Cara yang dipakai untuk menangkap sasarannya supaya sangat menyentuh hati. Pada kasus Sri Darma, cara yang digunakan adalah mengirimkan paket berupa makanan langsung ke apartemen, tempat tinggalnya. Ternyata Sri Darma tidak mampu menangkap sinyal-sinyal missi yang terkandung di dalamnya.
"Ada yang mengirimi paket makanan, ya saya senang karena ada yang memperhatikan saya. Saya memakannya. Tanpa pikir panjang apakah ada maksud terselubung di baliknya," katanya.
Demikian pula saat temannya itu mengajak Sri Darma main basket dan kadang pula main golf. Dia belum menangkap ada motif-motif missi di dalamnya. Dia masih melihat hal itu sebagai suatu hal yang wajar. Memang sangatlah wajar jika seorang teman mengajak temannya sekelas untuk melupakan sejenak tugas-tugas kampus dengan berolah raga. Ketidakwajaran baru terasa ketika Sri Darma membaca sebuah buku pemberian temannya itu. Buku itu semacam komik berisikan tentang ajaran-ajaran yang bisa mendatangkan kesejahteraan dengan cara mengikuti aliran Yehova. Sri Darma pun sadar.
"Barulah saya sadar, ternyata ada maksud tersembunyi dibalik kebaikan teman saya mengirimi makanan dan sering mengajak saya bermain bersama. Ternyata dia ingin saya masuk ke aliran Yehova."
Sri Darma lebih disadarkan lagi dengan maksud-maksud tersembunyi dari temannya itu setelah pada suatu hari dia diberikan sebuah Injil. Sekalipun demikian, Sri Darma tidak segera menjauh dari temannya itu. Dia justru mengajaknya berdiskusi tentang Agama Kristen. Sedikit tidaknya, dia punya pengetahuan tentang ajaran-ajaran Kristen yang diperolehnya saat masih menjadi siswa di sekolah Swastiastu.
Berbeda dengan yang sebelumnya, kali ini diskusinya jadi cukup menegangkan, karena temannya itu kukuh pada pendapatnya sendiri, menganggap agamanya yang terbaik. Karena di dalam hatinya Sri Darma segera membangun benteng pertahanan yang kokoh, agama yang dianutnya bertolak belakang dengan ajaran kaum Yehova. Karena begitu kuatnya pertahanan Sri Darma, upaya apapun yang dilakukan oleh temannya itu untuk mengajaknya beralih agama, akhirnya gagal. Kegagalannya menjadi semakin nyata setelah secara perlahan Sri Darma mulai menarik diri, dan kemudian menguncinya dengan sebuah perkataan singkat namun tegas, bahwa dia tidak akan masuk ke aliran Yehova. Sri Darma senang bisa menghindar darinya.
Seandainya dulu dia tahu apa dan bagaimana sesungguhnya aliran Yehova, maka tentunya dia tidak hanya akan senang tapi sekaligus bersyukur. hanya saja dia terlambat mengetahuinya. Itupun terjadi setelah secara kebetulan Sri Darma membaca-baca prihal itu di internet. Disebutkan dalam sumber-sumber di internet, sepintas Yehova tampak seperti sebagai salah satu aliran agama Kristen, sebab mereka terlihat membaca Alkitab dan menghormati Yesus Kristus. Namun jika ditelisik secara mendalam, mereka ternyata tidak menerima Yesus sebagai penjelmaan Tuhan Allah. Mereka menolak paham Tritunggal dan tidak membedakan antara kaum pendeta dengan kaum awam. Tugas penyebaran ajaran Yehova diserahkan kepada para anggotanya, dengan cara memberikan pelatihan khusus sebelumnya. (*)