Jakarta (Antara Bali) - Perilaku menghilangkan nyawa sendiri alias
bunuh diri biasanya selalu diawali sejumlah gejala seperti perubahan
perilaku yang drastis serta begitu kerapnya membicarakan tentang
kematian diri sendiri.
Seringkali jika itu
terjadi pada seseorang di pergaulan kita baik di dalam maupun di luar
lingkup pertemanan, banyak orang masih belum mengerti bagaimana cara
yang tepat untuk menyikapi gejala-gejala ingin bunuh diri alias suicidal
tendencies tersebut.
Benny Prawira, pendiri
komunitas peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pencegahan bunuh
diri, Into The Light, berbagai reaksi yang harus dihindari ketika kita
menemui gejala ingin bunuh diri pada seseorang.
"Yang
pertama, kita harus menahan diri untuk tidak mengatakan kata-kata yang
menghakimi, memancing ataupun merendahkan," kata Benny saat dihubungi
ANTARA News dari Jakarta, Minggu.
"Jadi jangan
sampai mengatakan misalnya 'kok begitu, kamu tidak punya teman ya?
kurang berdoa ya?' atau 'ya sudah lakuin aja, kalau mau mati, mati aja
ngapain caper?' atau malah mencibir 'masa kayak gitu aja mau mau mampus,
masalah gue dulu lebih berat'," ujar Benny menambahkan.
Reaksi
yang menghakimi, memancing maupun merendahkan, lanjut Benny, malah
cenderung akan menimbulkan reaksi yang lebih buruk dari si pengidap
gejala ingin bunuh diri tersebut.
Sebaliknya,
yang harus dilakukan adalah menahan diri dari hal-hal tersebut dan
berusaha berempati dengan cara yang paling sederhana, yaitu menjadi
lawan bicara yang baik dan mau mendengarkan.
"Jadi,
sebelum kita bisa berempati sama mereka, setidaknya kita bisa menahan
dulu pemikiran-pemikiran negatif di kepala kita tentang orang itu," kata
Benny.
Selanjutnya, seseorang dianjurkan untuk
mengajak orang dengan gejala ingin bunuh diri agar menggali dan
mengingat-ingat lagi alasan dan tujuan hidup mereka.
Setelah
itu, jika gejala ingin bunuh diri masih terlalu kuat bahkan sampai yang
bersangkutan sudah merencanakan modus untuk menghilangkan nyawanya
sendiri termasuk waktunya, tidak bisa tidak anda harus mengajak orang
itu berkonsultasi dengan psikolog dan psikiater sembari tetap meyakinkan
bahwa banyak orang yang masih bisa menjadi tempat cerita. (WDY)