Ir. I Gusti Ngurah Bagus Muditha yang populer dikenal masyarakat sebagai Turah Pemayun, Pembina Yayasan Bumi Bali Bagus (YBBB) mengatakan, pembangunan tempat tinggal atau perumahan leluhur orang Bali menggunakan konsep "Tri Hita Karana."
"Pembangunan itu konsisten menerapkan Tri Hita Karana sebagai upaya mewujudkan keharmonisan antara Tuhan, manusia dan lingkungan," ujar Turah Pemayun.
Selain itu, bangunan perumahan tradisional Bali dapat digolongkan "utama", "madya", dan "nista" atau sederhana.
Ia mengatakan, leluhur orang Bali dalam setiap tempat tinggal dipastikan terdapat bagian "Parahyangan" atau hubungan manusia dengan Tuhan dengan membangun "Mrajan".
Tempat itu digunakan untuk melakukan persembahyangan mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan penghormatan kepada para leluhur.
Hal itu menunjukkan sebagai bentuk implementasi saat ini yang tertuang dalam dasar negara Pancasila yakni sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ia menjelaskan, dalam "Mrajan" terdapat "pelinggih" pokok yakni "Palinggih Kemulan" yang digunakan untuk menghormati leluhur.
Uniknya orang Bali tidak menaruh rasa dendam kepada para leluhurnya yang sudah meninggal meskipun dalam "sekala" atau dunia nyata melakukan kesalahan atau pernah bermusuhan.
Ini sebagai bukti tingginya persatuan dan kesatuan orang Bali yang mengedepankan saling "menyamebraya" atau kekeluargaan, "asah asih asuh" dan "paras paros."
Sementara "Pelinggih Taksu" dibangun untuk meminta "ketaksuan" atau profesionalisme bidang yang ditekuni sehingga bermanfaat secara maksimal dalam kehidupan bermasyarakat.
Serta "Pelinggih Ratu Ngelurah" yang berfungsi sebagai penjaga keamanan secara "niskala" sehingga terjaminnya ketenangan dalam rumah tangga.
Turah Pemayun menambahkan, bagian "Pawongan" atau hubungan manusia dengan manusia, sebagai ciptaan yang paling sempurna memiliki tangunggjawab yang besar dan memegang peran penting terhadap kemajuan rumah tangga, negara dan dunia.
Untuk itu, manusia membutuhkan ruang dan fasilitas sebagai "Palemahan" atau hubungan manusia dengan lingkungan.
Perumahan leluhur orang Bali terdapat tata letak bangungan yang sistematis dan berkarakter.
Setiap rumah tinggal terdapat "bale daja" atau "bale meten" menggunakan "sekaroras" atau jumlah tiang duabelas buah yang digunakan untuk tempat tinggal orang tua.
Sementara "bale dangin" juga menggunakan "sekaroras", "sekasia", dan "sekanem" biasa digunakan untuk tempat "yadnya" atau kegiatan ritual keagamaan.
Selanjutnya "bale delod" , bangunanya menggunakan "sekakutus" dan "sekadasa" yang dipergunakan untuk menerima tamu.
Serta "bale dauh" dibangun menggunakan "sekasia" dapat difungsikan untuk melakukan cengkrama oleh anggota keluarga.
Turah Pemayun menekankan, orang Bali dalam pembangunan perumahan sudah merancang adanya ruang kosong atau "natah" yang dapat manfaatkan sebagai halaman rumah maupun bisa ditanami tanaman bunga, tanaman keperluan masak maupun obat-obatan.
Untuk itu, diharapkan dalam setiap rumah tangga bisa hidup mandiri dengan terpenuhi kebutuhan sekaligus sebagai bentuk komitmen menerapkan "Tri Hita Karana" mulai dari lingkungan keluarga.
Sementara saat ini kerap dikenal dalam dunia properti dengan sebutan koefisien dasar bangunan (KDB) dan koefisien luas bangunan (KLB) merupakan singkatan yang ditemui dalam dunia properti.
Keduanya tidak bisa dipisahkan dan berpengaruh pada rencana pembangunan properti di atas sebidang tanah yang telah ditentukan oleh Pemerintah guna menetapkan standar dalam membangun properti di sebuah kawasan.
Tingkatan Rumah Leluhur Orang Bali
Perkembangan kehidupan terus mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman, dahulu orang hidup di goa sampai sekarang di perkotaan.
Leluhur orang Bali telah mewariskan arsitektur tradisional rumah-rumah tempat tinggal masa-masa Bali Mula, Bali Aga dan Bali Arya.
Perkembangan semakin pesat setelah para arya Majapahit berkuasa di Bali disertai tokoh-tokoh budayawan bidang arsitektur.
Turah Pemayun mengatakan, rumah tinggal orang Bali merupakan unit-unit perumahan yang diatur dalam kelompok-kelompok "banjar" sebagai unit sub lingkungan dalam sebuah desa adat.
Sementara desa adat merupakan suatu bentuk pemukiman dengan menerapkan konsep "Tri Hita Karana" jiwa, fisik dan tenaga, masing-masing diwujudkan dalam bentuk "khayangan tiga" atau tempat ibadah, "desa pakraman" atau teritorial fisik desa, dan "sima krama" atau warga desa dengan tata aturannya.
Ia menjelaskan, rumah tinggal leluhur orang Bali memiliki tingkatan sesuai dengan orang yang menempatinya yakni "puri","geria", "jero", "umah" dan "kubu".
"Geria" merupakan tempat tinggal para "Brahmana" yang menekuni kehidupan spiritual dan ketuhanan, sekaligus para cendikiawan serta intelektual yang bertugas untuk memberikan pembinaan mental dan rohani kepada umatnya.
Selanjutnya "Puri" sebagi tempat tinggal "Ksatria" yang bekerja di bidang pertahanan dan pemerintahan yang bertugas untuk mengatur negara dan pemerintahan dengan rakyatnya. Pada waktu itu seseorang yang memilih fungsi sosial menjalankan kerajaan: raja, patih, dan staf-stafnya.
"Jero" adalah rumah tinggal yang lebih sederhana untuk "Ksatria" yang tidak menjalankan tugas pemerintahan secara langsung.
"Umah" digunakan tempat tinggal selain para "Brahmana" dan "Ksatria" yakni Wesia bergerak di bidang ekonomi, yang bertugas untuk mengatur perekonomian atau seseorang yang memilih fungsi sosial menggerakkan perekonomian.
Termasuk juga "Sudra" yang bekerja menjadi pelayan atau pembantu orang lain atau seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai pelayan, bekerja dengan mengandalkan tenaga.
Serta "Kubu" yang merupakan tempat tinggal di luar pusat pemukiman yakni di ladang, seperti areal perkebenunan atau tempat-tempat kehidupan lainnya yang digunakan untuk tempat peristirahatan sementara dengan bangunan seadanya. (*)