Denpasar (Antara Bali) - I Gede Winasa, terdakwa dugaan korupsi perjalanan dinas fiktif yang juga mantan Bupati Kabupaten Jembrana, Bali, tidak membantah keterangan saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Tipikor Denpasar, Jumat.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Dewa Suarditha itu, jaksa menghadirkan empat saksi ajudan, yakni Putu Agus Irawan, Putu Oka Santika, Trikarina Ambaradadi dan IB Ananda Kusuma dan dua saksi Sekretaris Pribadi Ayu Putu Arini dan Sri Wahyuningsih.
"Keterangan empat saksi mantan ajudan saya ini memang benar, karena semua urusan perjalanan dinas (perdin) saya dibantu sekretaris pribadi," kata Winasa setelah mendengar keterangan saksi.
Keterangan salah satu saksi Putu Agus Irawan yang membenarkan perjalanan dinas itu diurus sekpri terdakwa. Namun, saat ditanya hakim berapa kali terdakwa melakukan perjalanan dinas pihaknya tidak ingat secara pasti Tahun 2010.
Namun, saksi Agus mengaku memang ada dua kali terdakwa melakukan perjalanan dinas fiktif dengan modus sama yakni mengikuti acara satu hari di Jakarta, namun dalam pertanggungjawabannya dibuat tiga hari.
Saksi lainnya, Trikarina mengaku dari tujuh kali melakukan perjalanan dinas bersama terdakwa memang ada lima perdin yang fiktif. Sementara dua ajudan lainnya mengaku lupa. "Saya lupa berapa kali tapi pernah juga melakukan itu," ujar saksi lainnya yang disidangkan secara bersamaan itu.
Majelis hakim sempat menanyakan ajudan apakah ikut mengambil jatah perjalanan dinas sebanyak tiga kali. "Ya kami terpaksa ikut. Tapi akhirnya kami disuruh mengembalikan sesuai perhitungan BPK," ujarnya empat saksi secara bersama-sama.
Hal berbeda diungkapkan, Ayu Putu Arini selaku mantan sekretaris pribadi terdakwa yang mengatakan sempat beberapa kali membantu Winasa membuat laporan pertanggungjawaban fiktif.
"Jadi bapak pergi satu hari tapi ambil panjar untuk tiga hari. Dan saya buatkan laporannya," kata Arini di depan hakim.
Ia mengaku mendapat tiket dan ``boarding pass`` palsu untuk pertanggungjawaban dari seseorang bernama Bujana. "Saya diberitahukan teman-teman untuk mencari tiket dan `boarding pass` palsu ditempat orang lain," katanya.
Dalam dakwaan disebutkan, pada Tahun 2009 Pemkab Jembrana menganggarkan biaya perdin luar daerah sebesar Rp800 juta untuk satu tahun dan dalam anggaran perubahan diubah menjadi Rp850 juta yang dimuat dalam DPA/DPPA sekretariat daerah Kabupaten Jembrana.
Biaya perdin luar daerah tersebut diperuntukan bagi bupati dan wakil bupati. Terdakwa menandatangani 38 lembar Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif atas nama terdakwa.
Selanjutnya SPPD fiktif itu ditambah dengan tiket pesawat dan "boarding pass" fiktif untuk kelengkapan bukti pertanggungjawaban.
Kemudian, pada Tahun 2010 Pemkab Jembrana menganggarkan biaya perdin luar daerah sebesar Rp800 juta untuk satu tahun anggaran.
Biaya perdin luar daerah tersebut diperuntukan bagi bupati dan wakil bupati, seperti Tahun Anggaran sebelumny. Terdakwa menandatangi 19 lembar SPPD fiktif atas namanya sendiri dan seolah-olah melakukan perjalanan dinas.
Atas perbuatan terdakwa didakwa Pasal 2 Ayat 1 jo Pasal 18 Ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dan ditambah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kemudian, terdakwa juga didakwa Pasal 3 jo Pasal 18 Ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. (WDY)