Jakarta (Antara Bali) - Traditional fishing ground yang diklaim China di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah hal yang tidak benar, kata
pakar hukum laut internasional Profesor Hasyim Djalal.
"Zona Ekonomi Ekskusif Indonesia (ZEEI) sesuai dengan ketentuan
hukum laut internasional. Di dalam ZEEI tidak ada traditional fishing
ground China," kata Hasyim Djalal dalam diskusi dalam Rapat Koordinasi
Nasional Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal di Jakarta, Kamis.
Hasyim Djalal juga mengingatkan bahwa dalam Konvensi PBB tentang
hukum laut tidak muncul istilah "traditional fishing ground", namun yang
ada adalah "traditional fishing rights".
Masih sesuai dalam konvensi hukum laut, ujar dia, "traditional
fishing rights" juga harus dirumuskan dengan negara terkait yang
memiliki zona ekonomi sehingga memiliki kedaulatan akan sumber daya di
sana.
"Makanya konvensi hukum laut mengatur hak-hak atas zona ekonomi itu," katanya.
Sementara itu, pengajar hukum internasional Fakultas Hukum UI Prof
Melda Kamil Ariadno mengingatkan Indonesia adalah negara yang
perbatasannya sangat terbuka dan dapat dimasuki dari mana saja sehingga
sangat rentan dilanggar oleh kapal-kapal asing.
Apalagi, ujar Melda Kamil, ditengarai penegakan hukum di kawasan
perairan masih lemah dan tidak terintegrasi sehingga ada daerah yang
tidak bisa diawasi secara terus menerus sehingga wajar bila pemerintah
membentuk Satgas 115 Anti-IUUF.
Melda mengapresiasi kinerja penegak hukum selama ini yang telah
memberantas kapal ikan asing serta diberikan efek jera dengan
ditenggelamkannya sejumlah kapal ikan asing, tetapi langkah-langkah ini
juga masih belum cukup dan harus terus dioptimalkan ke depannya.
Untuk itu, ujar dia, sudah selayaknya ada kejelasan di seluruh
wilayah perairan Indonesia mengenai siapa yang bisa melakuan penegakan
hukum terhadap pihak yang melanggar sehingga SOP-nya juga harus lebih
jelas.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan
pernyataan Tiongkok bahwa perairan Natuna termasuk dalam wilayah
penangkapan ikan tradisional mereka adalah klaim yang tidak berdasar.
"Dari sejak awal ketika insiden pertama terjadi, saat muncul kalimat
traditional fishing ground (wilayah penangkapan ikan tradisional), yang
kita perlukan adalah dasar yang dijadikan pertimbangan atas klaim
tersebut," kata Menlu Retno usai menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP)
dengan Komisi I DPR di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Senin (20/6).
Pernyataan tersebut disampaikan Menlu RI tersebut untuk menanggapi
pernyataan juru bicara kementerian luar negeri Tiongkok yang menyatakan
kapal Tiongkok berhak menangkap ikan di perairan Natuna karena termasuk
wilayah penangkapan ikan tradisional mereka.
Pada Sabtu (18/6), jubir Kemlu Tiongkok menyampaikan protes melalui
laman resmi mereka yang kemudian dimuat di media Tiongkok dan
internasional, atas penangkapan satu kapal dan tujuh ABK Tiongkok oleh
TNI AL karena melakukan penangkapan ikan ilegal di Natuna pada Jumat
(17/6) lalu.
Penangkapan kapal ikan Tiongkok di wilayah ZEE pada 17 Juni tersebut
merupakan kejadian yang ketiga kalinya, setelah sebelumnya TNI AL
menangkap kapal dan ABK Tiongkok di perairan Natuna pada Maret dan Mei
2016.
"Apabila nanti terulang lagi, sikap yang sama akan dilakukan oleh
Indonesia karena ini adalah sikap yang kita lakukan di ZEE kita dan
sesuai dengan hukum internasional," kata Menlu. (WDY)
China Tak Berhak Atas "Traditonal Fishing Ground" di ZEE Indonesia
Jumat, 1 Juli 2016 12:07 WIB