Denpasar (Antara Bali) - Pengamat masalah pertanian Dr Gede Sedana menilai, kenaikan harga pangan pada bulan Ramadhan dan Lebaran selalu terjadi setiap tahun yang mengakibatkan masyarakat merasa berat.
"Seketika itu juga pemerintah menyiapkan jurus yang diyakini jitu untuk menurunkan harga bahan pangan yakni membuka keran impor, disamping operasi pasar," kata Gede Sedana yang juga Dekan Fakultas Pertanian Universitas Dwijendera Denpasar, Jumat.
Ia mengibaratkan seperti Dinas Pemadam Kebakaran, jika ada kobaran api maka langsung diterjunkan Tim Pemadam Kebakaran untuk mengatasinya.
"Kalau tidak ada kebakaran, apa yang dilakukannya, apakah hanya menunggu kebakaran beikutnya?," katanya.
Demikian pula halnya dengan kondisi bahan pangan yang harganya melonjak tinggi menjelang selama bulan Ramadhan dan Lebaran. Untuk itu diperlukan adanya kebijakan di hulu yang menjadi penyebab dan memberikan akibat terhadap harga-harga bahan pangan yang naik.
"Semestinya kondisi ini dapat memberikan manfaat yang positif bagi para petani (dalam arti luas) dan tidak memberatkan konsumen (masyarakat)," ujar Gede Sedana.
Logika sederhana yang terjadi pada bulan Ramadhan dan Lebaran adalah permintaan bahan pangan selalu meningkat dibandingnya dengan jumlah persediaan.
Jumlah permintaan tidak dapat distop, sedangkan jumlah persediaan bisa ditingkatkan. Tentunya peningkatan persediaan harus menjadi bagian kebijakan pemerintah di sektor hulu dengan memperhatikan sektor hilirnya sebagai satu kesatuan yang utuh.
Oleh sebab itu pemerintah diharapkan mendukung proses produksi melalui penerapan teknologi (tanaman dan ternak) guna menjamin peningkatan produktivitas yang sekaligus menjadikan distribusi yang berimbang dalam kuantitas dengan permintaan.
Gede Sedana menambahkan, penerapan teknologi budidaya dapat dilakukan secara terus-menerus disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi di Indonesia. Selain peningkatan kapasitas teknologi budidaya, para petani juga didorong untuk meningkatkan kualitas sumber dayanya seperti sikap dan pengetahuannya mengenai komoditas yang diusahakannya.
Sementara itu, pemerintah juga perlu menciptakan iklim yang kondusif untuk menjamin kualitas produk yang dihasilkan semakin berkualitas dan memberikan harga yang lebih tinggi di tingkat petani.
Iklim kondusif tersebut juga mencakup kebijakan rantai pasok yang efisien dari produsen sampai ke tingkat konsumen sehingga harga di tingkat konsumen tidak menjadi sangat tinggi.
Keterkaitan kebijakan dari sektor hulu sampai ke hilir yang berbasis agribisnis diharapkan mampu menjadi salah satu komponen di dalam membangun pertanian meningkatkan kesejahteraan petani dan mampu menjamin adanya kedaulatan pangan yakni menyediakan pangan bagi masyarakat dengan harga yang terjangkau.
Gede Sedana mengingatkan, kondisi geografis di Indonesia sangat beragam memerlukan adanya pemetaan aspek agroteknologi guna memastikan kebijakan pertanian yang akan diimplementasikan.
Selain itu diperlukan adanya prediksi permintaan terhadap komoditas pangan di berbagai wilayah Indonesia pada setiap periode tertentu, misalnya setiap bulan dengan memperhatikan berbagai kegiatan yang cendrung permintaannya meningkat seperti bulan Ramadhan dan labaran.
Oleh karena itu, database yang rinci dan akurat terhadap permintaan dan persediaan pangan sangat mutlak dibutuhkan guna menjadi pedoman analisis dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan dan alternatif upaya untuk mengatasi masalah pangan termasuk harga-harganya, ujar Gede Sedana. (WDY)