Denpasar (Antara Bali) - Bali sebagai daerah tujuan wisata internasional yang dibingkai ajaran agama Hindu, semestinya tidak menghadapi konflik sosial dalam bentuk apa pun, kata Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol Gede Sugianyar Dwi Putra.
"Namun faktanya di lapangan dari tahun ke tahun konflik sosial itu terus terjadi dan sampai saat ini belum menemukan pemecahan yang tepat dalam menyelesaikan," katanya di Denpasar, Sabtu.
Ketika tampil sebagai pembicara pada Forum Sarasehan Pemuda Lintas Agama Provinsi Bali, ia mengatakan, pengalaman aparat kepolisian di Polda Bali dalam menangani konflik bernuansa adat dan agama hingga saat ini tidak efektif.
Menurut Sugianyar, di wilayah hukum Polda Bali yang meliputi delapan kabupaten dan satu kota hingga akhir tahun 2010, ada sekitar 30-an kasus konflik bernuansa adat dan agama yang ditangani.
Kasus tersebut jenisnya beragam, antara lain sengketa batas tanah warisan leluhur, lahan kuburan, perubahan status kasta dan nama serta masalah agama maupun kepercayaan.
Selain masuk ke ranah hukum dan ditangani pihak kepolisian, kata dia, ada juga puluhan kasus lainnya yang diselesaikan sendiri oleh bendesa adat bersama tokoh masyarakat setempat.
"Kami telah menangani berbagai kasus adat, namun tidak membuahkan hasil yang efektif. Konflik adat hanya bisa diselesaikan secara adat karena ternyata dengan hukum positif tidak memberikan efek yang signifikan," katanya.
Sugianyar juga menyampaikan pesan Kapolda Bali Irjen Hadiatmoko, bahwa Forum Kerukunan Antarumat Beragama (FKUB) Bali untuk bisa merumuskan solusi nyata dan terbaik dalam menyelesaikan konflik sosial yang terjadi di Pulau Dewata.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika yang tampil sebagai pembicara utama dalam sarasehan tersebut mengatakan, yang terjadi di Bali sebenarnya bukan konflik adat dan budaya.
"Fakta menunjukkan, sebenarnya konflik tersebut bersumber dari pribadi-pribadi tertentu yang kemudian dibawa ke ranah sosial budaya sehingga yang muncul keluar adalah konflik sosial budaya," ujarnya.
Mangku Pastika melansir jika sumber konflik tersebut berasal dari faktor ekonomi, pendidikan dan semakin mahalnya harga lahan di Bali saat ini.
Seluruh penyebab ini masuk ke ranah sosial budaya dan masyarakat menyikapinya secara budaya. Akibatnya, kasus ini menyebar, menjadi konsumsi media dan Bali secara keseluruhan mendapat getahnya.
Menurut Mangku Pastika, orang Bali sebenarnya tidak mengenal konflik bila belajar dari kearifan lokal yang ada di Bali.
"Adat Bali tidak mengenal anarkis karena filosofi 'Tri Hita Karana' (tiga keseimbangan kehidupan) itu sudah merangkum semuanya," ujarnya.
Ia menyambut baik inisiatif FKUB dalam menyelenggarakan sarasehan tersebut karena konflik sosial di Bali penting untuk disikapi dari FKUB.
Pemprov Bali mempercayakan solusi tersebut untuk dirumuskan secara arif dan bijaksana oleh Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP).
"Prinsipnya kita akan mendukung penuh upaya solusi yang disampaikan oleh MUDP, karena mereka lah yang paling tahu kondisi di lapangan," kata Mangku Pastika.(*)
