Denpasar (Antara Bali) - Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali Prof Dr Gusti Ngurah Sudiana mengatakan perkembangan pariwisata di Pulau Dewata telah membawa pengaruh cukup besar, terutama dalam tatanan masyarakat setempat.
"Perkembangan pariwisata saya amati membawa pengaruh sangat signifikan. Dimana dalam bidang ekonomi masyarakat telah mampu diubah pola perilaku dari tradisional ke modern," katanya pada diskusi pariwisata dan budaya bertema "Destinasi Pariwisata Baru Berkearifan Lokal" di Denpasar, Kamis.
Ia mengatakan tantangan berat bagi masyarakat Bali di tengah gempuran sektor pariwisata adalah mempertahankan aset (tanah) agar tidak semuanya dijadikan menunjang pariwisata. Sebab pariwisata Bali andalannya adalah pariwisata budaya.
"Yang terjadi belakangan ini pergeseran alih fungsi lahan semakin banyak, baik digunakan penunjang pariwisata maupun untuk pemukiman. Sedangkan masyarakat Bali (Hindu) memiliki kewajiban mempertahankan budaya, termasuk sektor pertanian yang menjadi tumpuan masyarakat agraris," katanya.
Menurut Guru Besar IHDN Denpasar itu, sektor pertanian adalah budaya lokal yang menjadi aset dan berupaya mempertahankan, sebab sektor tersebut merupakan salah satu yang dijadikan objek wisatawan berkunjung ke Bali.
"Saya miris melihat kondisi pertanian saat ini. Sebab yang menjadi petani umurnya sudah diatas 45 tahun, dan itu lebih banyak ada di pedesaan. Sedangkan di perkotaan sudah semakin terdesak dengan alih fungsi lahan akibatnya terjadi penyusutan. Petani pun beralih profesi termasuk juga keberadaan `subak` atau organisasi pengairan lama-kelamaan akan hilang juga," ucapnya.
Oleh karena itu, kata Sudiana, untuk mampu menjaga kearifan budaya lokal, seperti pertanian maka sdemua pemangku kepentingan harus peduli, dan pemerintah memberikan keringanan pajak pertanian. Bila perlu membebaskan dari pajak untuk lahan pertanian itu.
"Jika pemerintah setempat berani membebaskan pajak bagi pertanian aktif, maka pemerintah berani juga mengambil sikap tegas dalam mengamankan lahan pertanian tersebut tetap lestari. Tapi dengan kondisi sekarang, di mana pemilik lahan kena pajak mahal dan ada penyesuaian zonasi di kawasan pariwisata, maka tidak mengherankan pemilik lahan pertanian akan menjual ataupun dikontrakan lahannya untuk fasilitas pariwisata," katanya.
Dengan demikian, kata dia, untuk bisa melestarikan pariwisata berbasis kearifan lokal, maka pemangku kepentingan maupun pemerintah harus bisa memberi kontribusi baik perupa fisik maupun pendanaan sebagai kompensasi mereka berbuat melestarikan budaya tersebut.
"Selama ini apa yang menjadi harapan masyarakat dalam melestarikan kebudayaan tersebut belum terlaksana. Yang saya lihat hanya besifat bantuan menyeluruh ke kabupaten dan kota. Semestinya pemerintah bisa membagikan kontribusi hingga ke masing-masing kelompok yang berperan dalam melestarikan kebudayaan itu," katanya.
Sementara Ketua Yayasan Lembaga Kajian Ista Dewata (LKID) Sri Wigunawati mengatakan tujuan dari diskusi tersebut untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, bahwa sektor pariwisata di Bali menjadi andalan masyarakat, namun tetap mengedepankan pariwisata budaya. "Kami berharap melalui diskusi tersebut semua masyarakat memahami pariwisata di Bali, tidak semata-mata apriori terhadap destinasi wisata baru. Tapi dari kajian bahwa ke depan pariwisata akan lebih maju apabila juga ditunjang dengan destinasi wisata baru," katanya. (WDY)