Denpasar (ANTARA) - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Made Mangku Pastika mengusulkan Pemerintah Provinsi Bali bersama para pemangku kepentingan terkait dapat meredefinisikan kembali konsep pariwisata budaya yang selama ini telah diusung di Pulau Dewata.
Pastika di Denpasar, Rabu, dalam FGD bertajuk "Ngrombo Pengembangan Pariwisata Bali berkelanjutan, Tantangan dan Solusinya" itu mengatakan redefinisi pariwisata budaya Bali itu penting di tengah berbagai tantangan eksternal dan internal yang dihadapi Bali saat ini.
Selain Pastika, FGD yang diinisiasi oleh Nawa Cita Pariwisata Indonesia Provinsi Bali itu menghadirkan narasumber tokoh pariwisata Ida Rsi Mpu Jaya Brahmananda (Prof I Gde Pitana) dan guru besar Universitas Udayana Prof Dr IB Wyasa Putra.
FGD juga dihadiri Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali Tjok Bagus Pemayun, Dubes RI Keliling untuk Wilayah Pasifik Tantowi Yahya, Kepala Dinas Pariwisata Denpasar Ni Luh Putu Riyastiti, Ketua HPI Bali I Nyoman Nuarta, Konsul Kehormatan Ukraina di Denpasar Bali I Nyoman Astama, para akademisi dan sejumlah tokoh pariwisata lainnya.
"Tantangan eksternal itu di antaranya terkait lama tinggal wisman yang semakin pendek karena semakin banyak wisman dari Bali kemudian melanjutkan perjalanan ke Labuan Bajo dan Lombok," ucap Pastika pada acara yang digelar di Sudamala Resort Sanur Denpasar itu.
Sedangkan tantangan internal yang dihadapi Bali seperti persoalan kemacetan, sampah dan kriminalitas serta adanya pandangan over tourism (pariwisata yang berlebih).
"Terkait redefinisi pariwisata budaya untuk di daerah pariwisata seperti di Kuta dan Canggu misalnya, boleh tidak ketinggian batas bangunan diubah menjadi 100 meter? Dari yang saat ini maksimal 15 meter atau setara dengan tinggi pohon kelapa," ujar Gubernur Bali periode 2008-2018 itu.
Mengubah batas ketinggian bangunan untuk wilayah khusus itu sebagai solusi supaya sawah atau lahan terbuka hijau tidak habis. Kemudian juga didukung infrastruktur seperti fly over (jembatan layang) dan LRT (light rail transit).
Oleh karena itu, menurut Pastika, terkait redefinisi pariwisata itu perlu didukung adanya evaluasi regulasi pariwisata saat ini. Misalnya ada standar harga kamar minimal untuk hotel berbintang dan setop dulu ekspansi pariwisata agar Bali tidak macet.
Sementara itu, Ida Rsi Mpu Jaya Brahmananda (Prof I Gde Pitana) menyampaikan tidak sepakat dengan Laporan Dewan Perjalanan dan Wisata Dunia (WTTC) yang menyatakan pariwisata Bali sudah berlebih (over tourism) bersama dengan Paris (Perancis), Venesia (Italia), Athena (Yunani) dan Phuket (Thailand)
"Kunjungan wisman ke Bali pada 2023 sebanyak 5,3 juta wisman itu belum melebihi kunjungan pada 2019 sebanyak 6,2 juta wisman. Demikian pula tingkat penghunian kamar hotel yang rata-rata masih di bawah 60 persen," ucapnya.
Apabila jumlah wisman mengacu dengan Singapura yang wismannya 20 juta orang per tahun padahal wilayahnya jauh lebih kecil dari Bali, juga Thailand dan Malaysia yang kunjungannya jauh melampaui Bali, maka perlu dikaji dan masalahnya bukan pada jumlah.
Ida Rsi mengatakan permasalahan pariwisata yang terjadi di Bali tidak lepas dari persoalan manajemen (pengaturan), infrastruktur (jalan dan parkir), konsentrasi atau persebaran, antipati karena orang Bali mulai kecewa dengan pariwisata hingga ekspektasi yang berlebih dari masyarakat terhadap pariwisata.
Akademisi Universitas Udayana Prof IB Wiyasa Putra mengingatkan persoalan pariwisata seperti kemacetan yang terjadi ini perlu diidentifikasi karena tidak terjadi secara permanen.
"Kemacetan hanya terjadi di jam tertentu dan ruas-ruas tertentu. Jadi tidak permanen. Oleh karena itu harus ada respons yang terstruktur dan profesional," ujar Prof Wiyasa juga mengingatkan ancaman fase chaos (kekacauan) dari sisi regulasi pariwisata.
Sementara itu Ketua NCPI Bali Agus Maha Usadha mengatakan dengan kunjungan wisman ke Bali pada 2023 sebesar 106 persen dari target, namun tantangan yang kian kompleks dan Bali cukup kaget tanpa persiapan infrastruktur.
"Bukan hanya soal kemacetan, sampah, juga banyaknya pungutan yang menjadi biaya tambahan bagi wisatawan. Saya berharap dari FGD ini dapat menjadi masukan kepada Penjabat Gubernur Bali apa yang bisa didukung bersama," ucapnya.
Tantowi Yahya yang juga Presiden Komisaris Kura Kura Bali mengatakan Bali sudah sangat berubah. Bali kini dihadapkan dengan kemacetan, polusi yang tinggi.
"Sekarang budaya Bali banyak sudah berubah. Seperti tarian Bali banyak yang sudah tidak diiringi gamelan langsung. Ruang terbuka hijau juga makin sedikit. Saya berharap Gubernur Bali ke depan memiliki kebijakan yang memang berpihak pada pariwisata berkelanjutan," ujar Tantowi.
Pastika usulkan redefinisi pariwisata budaya Bali
Rabu, 10 Januari 2024 23:11 WIB