Hampir seluruh pasar tradisional, baik di kota maupun daerah pedesaan di Bali dalam beberapa hari terakhir ini dipadati pengunjung untuk membeli berbagai kebutuhan dalam menyambut Hari Raya Galungan.
Hari raya besar umat Hindu yang jatuh pada hari Rabu, 17 Desember 2014. Hari Raya yang bermakna untuk memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan) itu ditandai dengan melakukan kegiatan ritual mulai dari tempat suci keluarga (merajan) hingga pura-pura yang berskala besar.
Meskipun masyarakat jauh hari sudah melakukan berbagai persiapan, namun kesibukan dan kepadatan pasar hampir terjadi setiap hari, sehingga tidak bisa dihindari harga-harga berbagai kebutuhan itu melonjak drastis.
Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Dr Ketut Sumadi mengingatkan, pengeluaran biaya ritual terkait Galungan, termasuk membeli kelengkapan penjor yang cenderung semakin mahal semuanya atas dasar keikhlasan untuk bernyadnya (korban suci).
Umat dalam melaksanakan korban suci itu tentu atas dasar kemampuan ekonomi, karena juga harus memperhatikan kebutuhan pokok, kelangsungan pendidikan bagi putra-putrinya dan melanjutkan aspek kehidupan lainnya.
Untuk itu agar menyiasati kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dan keperluan ritual lainnya yang hampir rutin terjadi menjelang hari suci Galungan.
Kenaikan harga selain kondisi pasar yakni permintaan banyak dalam waktu yang bersamaan, sementara persediaan terbatas juga dipicu oleh kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Untuk itu umat dalam melakukan persembahan pada Hari Raya Galungan itu tidak ada kewajiban harus menyuguhkan buah impor atau kue yang berstandar, namun semua persembahan itu didasarkan atas keikhlasan sesuai dengan kondisi ekonomi yang dimiliki.
Oleh sebab itu, umat agar menyadari, meskipun harga-harga merangkak naik, masyarakat tidak harus berutang, yang penting keikhlasan untuk menyuguhkan yang terbaik.
Sementara harga-harga pasar terutama janur yang menjadi bahan baku untuk membuat banten, rangkaian janur kombinasi bunga, kue dan buah harganya melonjak, untuk 50 biji janur mencapai Rp50.000 atau per bijinya Rp1.000.
Padahal kebutuhan janur itu sebagian besar mendatangkan dari daerah-daerah di sekitarnya Jawa Timur, kalau mengandalkan produksi di Bali saja harganya bisa lebih mahal lagi dan perseidaan matadagangan itu langka, tutur Putu Suri, seorang pedagang janur di pasar Badung, jantung Kota Denpasar.
Konsumen sebenarnya lebih banyak membeli janur yang didatangkan dari Jawa karena memiliki postur yang lebih lebar dan halus, namun tidak bisa tahan lama karena dalam empat-lima hari sudah kering.
Sementara janur lokal Bali memiliki postur lebih kecil dengan permukaan yang lebih lembut, namun mampu bertahan lebih lama.
Demikian pula harga bumbu-bumbuan keperluan dapur juga mengalami kenaikan, seiring tingginya permintaan menjelang perayaan Galungan.
Harga bawang merah misalnya dari Rp12.000- Rp13.000 menjadi Rp14.000-Rp15.000 per kilogram, bawang putih dari Rp12.000 menjadi Rp14.000 per kilogram.
Persiapan
Dr Ketut Sumadi menjelaskan, masyarakat Bali, baik yang bermukim di kota maupun pedesaan seminggu sebelumnya sudah mulai sibuk melakukan persiapan menyambut Galungan.
Pria dalam satu keluarga sudah memotong bambu dan bagi masyarakat kota membeli bambu dan ambu (enau) untuk hiasan penjor yang nantinya dipajang di depan pintu masuk keluarga masing-masing.
Namun berbagai jenis peralatan penjor (bambu yang dihias) itu sudah ada yang menjualnya dalam bentuk modifikasi dari bahan lontar secara lengkap di pasar, maupun di tempat-tempat yagn strategis di pinggiran jalan.
Ibu Cantik, seorang pedagangan yang menjual berbagai hiasan penjor modifikasi di Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung menjual berbagai hiasan penjor yang terbuat dari bahan baku daun lontar yang tahan lama hasil industri kreatif skala rumah tangga yang mampu meraup keuntungan jutaan rupiah.
Perlengkapan untuk membuat sebuah penjor Galungan bisa mencapai Rp350.000 hingga Rp1,5 juta, tergantung motif dan variasi hiasan penjor.
Sedangkan menjelang Galungan harga komponen hiasan penjor naik hingga Rp50.000 per paket, yang seharga Rp100.000 menjadi Rp150.000, sedangkan yang seharga Rp500.000 naik menjadi Rp550.000.
Kenaikan harga tersebut akibat pengaruh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), karena pedagang mengalami kenaikan harga bahan baku yang terbuat dari daun lontar.
Kenaikan bahan baku berupa daun lontar hinga mencapai Rp70.000 per ikat, yang awalnya hanya seharga Rp280.000 per ikat saat ini naik menjadi Rp350.000 perikat, bahan baku perikatnya mendapatkan sepuluh hiasan penjor.
Wanita itu mengaku telah menggeluti usaha menjual hiasan penjor sejak enam tahun silam, bearawal dari keinginan anaknya yang tertarik melihat masyarakat sekitarnya menjajakan hiasan penjor.
Melihat peluang bisnis itu mendukung keinginan anaknya untuk menjual hiasan penjor, saat ini pembeli umumnya masyarakat Hindu dan beberapa langganan dari pedagang, pengelola vila, hotel dan restauran.
Dalam proses pengerjaan hiasan penjor menampung 25 tenaga kerja yang berasal dari Desa Kapal dan desa tetangganya.
Persiapan lainnya para perempuan, baik remaja putri maupun ibu rumah tangga sejak awal pekan ini telah memanfaatkan waktu luangnya untuk merangkai janur (mejejahitan) guna dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sanghyang Widhi Wasa, saat Hari Raya Galungan maupun Kuningan.
Tidak ketinggalan pula ibu rumah tangga yang bekerja di perkantoran pemerintah, swasta termasuk wanita karier, memanfaatkan waktu senggang pada malam hari membuat bebantenan dan perlengkapan upacara keagamaan lainnya.
Wanita Bali memang sejak kecil telah terlatih membuat banten berkat orang tua yang selalu melibatkan anak perempuan dalam proses membuat sesaji upacara ritual.
Metode mendidik anak belajar sambil bekerja sangat efektif dan menunjukkan hasil gemilang, sehingga wanita Bali tidak pernah berkeluh kesah dalam menunaikan tugas serta kewajibannya.
Wujud Bakti
Dr Sumadi yang juga Ketua Komunitas Pengkajian Agama, Budaya dan Pariwisata Bali menambahkan, pemasangan penjor di depan pintu rumah tangga masing-masing di Pulau Dewata merupakan wujud rasa puja dan puji syukur, kegembiraan, dan perayaan atas keberhasilan para dewata menjaga siklus air yang melimpahkan berkah kemakmuran kepada semua mahluk di jagat raya.
Orang Bali pada perayaan hari raya Galungan, hari kemenangan atas kebaikan (Dharma) melawan Adharma di Bali selain mempersembahkan berbagai sesajen di tempat-tempat suci, juga membuat Penjor yang berjejer di sepanjang jalan di seluruh pelosok Pulau Dewata.
Penjor tidak hanya dibuat saat hari raya Galungan, namun juga pada hari-hari tertentu berkaitan dengan Piodalan (hari suci) di Pura atau tempat-tempat suci lainnya.
Penjor yang terbuat dari bambu yang dihias dan dilengkapi dengan Sanggah Penjor (tempat sesajen) merupakan simbol penghormatan dan perwujudan dari Naga Basuki, Naga Anantabhoga, dan Naga Taksaka yang terus menerus menjaga kesempurnaan siklus air di jagat raya.
Dengan persembahan sesajen, para naga yang sesungguhnya perwujudan para dewata itu, akan terus menjaga harmoni siklus air, sehingga tetap terjaminnya kemakmuran semua mahluk di jagat raya.
Jika diperhatikan, bentuk Penjor itu memang mirip wujud seekor naga, ekornya menjulang tinggi ke langit dan mulutnya menganga mengunyah makanan. Dengan terjaganya siklus mata air, semua umat manusia berhasil menancapkan penjor dalam diri, maka semua mahluk di alam semesta ini akan berlimpah makanan, hidup makmur murah pangan, sandang, dan papan.
Akan tetapi menancapkan penjor dalam diri memang tidak mudah, terlebih saat ini di tengah arus deras globalisasi yang hampir menenggelamkan manusia pada gaya hidup yang berlebihan serta industrialis dan kapitalis, tutur Ketut Sumadi. (WDY)