Denpasar (Antara Bali) - Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar I Wayan Dibia mengatakan lembaga pendidikan tinggi seni idealnya mampu mengintegrasikan tiga jenis pelatihan yang meliputi artistik, estetik, dan kultural.
"Pelatihan artistik menyangkut berbagai kegiatan artistik yang melibatkan aktivitas psikomotorik, di antaranya melalui penciptaan, penyajian, atau menyaksikan karya seni," kata Prof. Dr. I Wayan Dibia yang juga seniman andal yang banyak menghasilkan karya-karya monumental di Denpasar, Rabu.
Ia mengatakan bahwa semua itu bertujuan untuk membangun keterampilan seni. Sementara itu, pelatihan estetik menyangkut berbagai aktivitas olah rasa yang diarahkan pada pemahaman terhadap nilai-nilai estetik.
"Semua itu untuk membangun kepekaan dan ketajaman rasa serta pemahaman lainnya yang berkaitan dengan nilai seni," katanya.
Adapun pelatihan kultural, kata Wayan Dibia, untuk lebih mengutamakan pemahaman terhadap aspek kultur yang terkandung atau yang melahirkan kesenian yang bersangkutan.
Oleh sebab itu, anak didik lebih banyak diarahkan untuk memahami latar belakang dan lingkungan budaya, termasuk hal-hal yang bersifat simbolik dan spiritualitas dari suatu kesenian untuk membangun kesadaran.
Dibia menjelaskan bahwa hal itu sesuai dengan pandangan ahli pendidikan seni asal Inggris, Jacqueline M. Smith-Autard, jika disandingkan dengan konsep "Satyam-Shiwam-Sundaram", yakni tiga pilar taksu atau karisma dalam tradisi budaya Bali. Maka, orientasi artistik dapat disejajarkan dengan sundaram (fisikal atau bayu), orientasi estetik dengan satyam (sabda atau sikap mental), dan orientasi kultural dengan shiwam (idep atau spiritual).
Dari pemikiran Smith-Autard itu, kata dia, terlihat bahwa pendidikan seni diperguruan tinggi di Tanah Air untuk bidang minat penciptaan, pengkajian, dan penyajian lebih banyak ditekankan pada pelatihan artistik, sundaram, bayu, dan fisikal.
Walaupun kemampuan teknik sangat dibutuhkan dalam berkesenian, tanpa dukungan dari dua aspek lainnya, yakni estetik, satyam, sabda, dan sikap mental, atau kultural, shiwam, idep, dan spiritual, tidak akan terbentuk kemampuan seni yang utuh dan holistis.
Akibatnya, keluaran pendidikan tinggi seni akan menjadi pelaku-pelaku, pencipta-pencipta, atau pengkaji seni yang menguasai masalah teknis dengan penguasaan yang minim dan terbatas terhadap masalah sikap mental dan spiritual dalam berkesenian.
Dari model olah seni seperti ini, menurut Prof. Dibia, akan lahir karya-karya seni yang secara fisik, visual, atau mungkin bagus, rumit, dan kompleks, tetapi terasa kering dengan pesan dan makna.(WRA)
Pendidikan Seni Idealnya Integrasikan Tiga Pelatihan
Rabu, 30 Juli 2014 20:15 WIB