Denpasar (ANTARA) -
JPU Hery Yoga dan kawan-kawan saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Kamis menyatakan kelima terdakwa diduga telah merugikan keuangan negara sebesar Rp5,5 miliar melalui pengajuan proposal fiktif dan penyelewengan dana Simpan Pinjam Perempuan (SPP) yang merupakan bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri.
Para terdakwa merupakan pengurus inti DAPM Swadana Harta Lestari, terdiri dari Sekretaris Badan Kerja sama Kecamatan (BKK) DAPM Swadana Harta Lestari, I Ketut Suwena (69), anggota tim pendanaan, Kepala Desa sekaligus anggota tim pendanaan Ir. Anak Agung Ngurah Anom Widhiadnya (57), anggota tim pendanaan lainnya I Nyoman Poli (62), dan anggota badan pengawas Ni Sayu Putu Sri Indrani, (56), serta anggota tim verifikasi Ni Wayan Sri Candra Yasa alias Ni Wayan Sri Candri Yasa (48).
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa pertama Ketut Suwena, terdakwa kedua Ir. Anak Agung Ngurah Anom Widhiadnya dan terdakwa ketiga I Nyoman Poli dengan pidana penjara masing-masing selama satu tahun dan 10 bulan," kata JPU di hadapan Majelis Hakim Gde Astawa dan kawan-kawan.
Selanjutnya, JPU juga menuntut terdakwa keempat Ni Sayu Putu Sri Indrani dengan pidana penjara selama dua tahun dan enam bulan dan terdakwa kelima Ni Wayan Sri Candra Yasa Alias Ni Wayan Sri Candri Yasa dengan pidana penjara selama tiga tahun dan enam bulan.
Baca juga: Kejari Tabanan ungkap modus tersangka korupsi dana APM
JPU menuntut masing-masing terdakwa dijatuhi pidana denda sebesar Rp100 juta subsider tiga bulan penjara. Selain pidana penjara dan denda, JPU meminta Majelis Hakim untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa IV Ni Sayu Putu Sri Indrani membayar uang pengganti sebesar Rp138 juta, dan terdakwa V Ni Wayan Sri Candra Yasa Alias Ni Wayan Sri Candri Yasa sebesar Rp118.800.000.
Sedangkan terdakwa pertama I Ketut Suwena, terdakwa kedua Anak Agung Ngurah Anom Widhiadnya dan terdakwa ketiga I Nyoman Poli tidak dibebankan uang pengganti.
Menurut JPU, kelima terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah secara bersama-sama menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dilakukan secara berlanjut sebagaimana dalam dakwaan kesatu subsidiair melanggar Pasal 3 Juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Jaksa menilai kelima terdakwa terbukti bersalah secara bersama-sama melakukan perbuatan korupsi secara berlanjut sebagaimana dalam dakwaan kesatu primair melanggar Pasal 2 Ayat (1) Jo. Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Setelah pembacaan tuntutan, Hakim Gde Astawa meminta agar penasehat hukum terdakwa menyiapkan nota pembelaan pada Selasa 7 Januari 2025. Tanggapan JPU akan dijadwalkan 10 Januari 2025, dan pembacaan putusan pada 17 Januari 2025.
Baca juga: Kejari Tabanan: Tersangka korupsi dana APM ubah identitas di NTB
Sebelumnya, dalam dakwaan JPU Kejaksaan Negeri Tabanan disebutkan kelima terdakwa diduga secara bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara selama periode 2017 hingga 2020.
Modus yang digunakan oleh para terdakwa terlibat penyalahgunaan dana simpan pinjam perempuan (SPP), bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang bertujuan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat pedesaan, terutama kelompok perempuan. Dimana, pada periode tersebut, DAPM Swadana Harta Lestari menerima modal Rp2.586.955.000.
Dana yang seharusnya dialokasikan kepada kelompok-kelompok peminjam diduga diselewengkan oleh para terdakwa.
Dalam persidangan, JPU membeberkan terdakwa bersama-sama dengan Ni Putu Aryestari, I Wayan Sutanca, Lely Maisa Kusumawati, dan Ni Putu Winastri (berkas perkara terpisah), diduga membuat 104 proposal diajukan menggunakan identitas anggota kelompok yang seolah-olah berasal dari kelompok Simpan Pinjam Perempuan Desa Cepaka.
Padahal, sesuai aturan seharusnya proposal tersebut hanya bisa diajukan oleh kelompok perempuan yang sah.
JPU menguraikan berdasarkan temuan, total uang tambahan yang dinikmati oleh para terdakwa selama periode 2017 hingga 2020 mencapai Rp3.697.876.250, dengan total pembayaran yang tercatat sebesar Rp2.127.025.250 dan sisa yang belum dibayarkan sebesar Rp1.570.851.000.
Tindakan ini menunjukkan adanya penyimpangan dalam pengelolaan dana yang seharusnya diperuntukkan untuk pemberdayaan masyarakat. Akibat perbuatan mereka, pengurus DAPM Swadana Harta Lestari menghadapi masalah kekurangan dana dalam pengelolaan UPK.
Para terdakwa akhirnya kembali mengadakan rapat untuk rencana meminjam uang dari LPD Desa Adat Mundeh, yang menghasilkan tujuh perjanjian kredit senilai Rp3,2 miliar.
Namun, peminjaman ini dilakukan atas nama pihak ketiga, seperti Pak Kris dan Pak Murdana (telah dilakukan penuntutan terpisah), yang merupakan saksi dalam kasus ini. Tindakan ini melanggar ketentuan Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2017 tentang LPD.
Sehingga, berdasarkan hasil audit Inspektorat Daerah Kabupaten Tabanan, kerugian negara akibat perbuatan para terdakwa mencapai Rp5.580.259.000.
Penyelewengan ini dilakukan secara bertahap sejak tahun 2018 hingga 2021, dan baru terungkap setelah ada pengaduan dari beberapa anggota kelompok yang tidak pernah menerima dana pinjaman sebagaimana yang dijanjikan.