Amlapura (Antara Bali) - Warisan budaya mekare-kare atau yang lebih terkenal dengan sebutan perang pandan yakni mageret pandan di Desa Adat Tenganan Dauh Tukad memukau ratusan wisatawan domestik maupun mancanegara, atraksi bersimbah darah, sedikitpun tak membuat peserta meringis kesakitan.
"Peserta perang pandan bukan hanya orang dewasa saja, tidak ketinggalan anak-anak yang memiliki keberanian ikut meramaikannya. Bahkan wisatawan mancanegara juga banyak yang mencobanya," kata Kelian Teruna Tenganan Dauh Tukad, I Nengah Budiana kepada ANTARA, Jumat.
Perang pandan ini, kata Budiana diikuti oleh warga dari dua banjar di Tenganan Dauh Tukad yakni banjar Kelodan dan Kajanan. Namun demikian, tidak sedikit warga dari luar desa yang mengikutinya.
"Warga luar desa boleh mengikutinya sepanjang mengerti aturan dan tidak membuat kericuhan," ujarnya.
Ia menambahkan perang pandan ini sendiri memiliki makna tersendiri yakni sebagai bentuk latihan kewiraan untuk membela desa. Sehingga, tidak ada pengacau yang berani menyerang karena sudah disiapkan pagar betis untuk menghalanginya.
Perang pandan ini wajib diikuti oleh "kerama" (warga) yang sudah naik teruna (dewasa), kalaupun tidak mengikuti, mereka tidak dikenakan denda.
"Tidak ada sanksi bagi yang tidak mengikutinya. Meski anak-anak, sepanjang memiliki keberanian boleh ikut dalam pertarungan ini," terangnya.
Upacara tersebut dilaksanakan serangkaian dengan upacara usaba sambah yang jatuh setiap bulan ke lima menurut perhitungan kalender Tenganan. "Perang pandan yang dilakukan hingga berdarah-darah juga memiliki makna menjaga keseimbangan," ucapnya.
Ia menambahkan, banten yang dihaturkan di balai agung diperuntukkan bagi para dewa, sementara darah yang tercecer dalam perang pandan dijadikan semacam caru yang diperuntukkan bagi para butha kala. "Tenganan Dauh Tukad merupakan desa campuran antara penganut paham Indra dengan paham Siwa yang dibawa dari Majapahit. Banyak tradisi yang ada didesa ini memiliki kemiripan dengan desa Tenganan Pegringsingan yang merupakan penganut paham Indra selaku Dewa Perang," jelasnya.
Sementara itu, Frank seorang wisatawan asal Belanda yang menyaksikan perang pandan tersebut mengaku kagum dan heran. `"Ini pertarungan berdarah, saya heran mengapa mereka tidak merasakan kesakitan padahal lukanya seperti itu," ujar turis yang mengaku tahu tradisi ini dari temannya.
Dia mengaku melihat perang pandan baru kali ini. "Ini sungguh-sungguh pertarungan berdarah yang luar biasa," imbuhnya penuh kekaguman.(*)