Oleh Laura Andira
Suasana di Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Kabupaten Karangasem, dalam dua pekan terakhir lebih semarak dibandingkan pada hari-hari biasa.
Masyarakat desa "pakraman" itu sedang menggelar berbagai tradisi selama masa Usabha Sambah sebagai bentuk syukur kepada Sang Hyang Widi Wasa.
Setelah "Maling-malingan" dan "Ayunan", masyarakat desa itu menggelar tradisi "Perang Pandan" atau "Geret Pandan" yang tak kalah menariknya dibandingkan dengan dua tradisi sebelumnya selama Usabha Sambah di perkampungan yang dihuni masyarakat Bali asli (Bali Aga) itu.
Pada masa Usabha Sambah, perhatian turis asing terpusatkan di desa yang berada di wilayah Kecamatan Manggis tersebut. Tak sedikit di antara wisatawan mancanegara itu yang mengabadikan momen unik itu melalui kamera dan video.
Sejak Jumat (8/6) pagi, warga telah disibukkan dengan berbagai persiapan. Ada yang memotong dan mengikat batang pandan berduri, masing-masing panjangnya 30 centimeter. Beberapa potongan ini lalu diikat dengan tali, sehingga lebih kokoh daripada satu potong saja.
Ikatan pandan inilah yang menjadi alat bagi pemuda di Tenganan untuk bertempur. Setiap peserta memilih satu ikat untuk dijadikan senjata. Mereka memilih yang terkuat dan nyaman digenggam.
Sebelum digunakan untuk berperang, pandan tersebut harus disembahyang. Meskipun tidak ada kewajiban secara tertulis, kaum pria di desa itu antusias mengikuti laga berdarah itu. Warga dari luar desa itu juga diizinkan ikut ambil bagian.
Pesertanya haruslah pria yang belum pernah menikah, termasuk anak-anak. Peserta Perang Pandan disebut sebagai teruna.
Saat jarum jam beranjak menuju angka 2 siang, gamelan mulai ditabuh. Serentak, para pemuda mulai berkumpul di tengah arena untuk mendapat pengarahan dari tokoh adat mengenai perang itu.
Para peserta bertarung satu lawan satu di tengah-tengah arena yang telah disiapkan. Mereka saling serang, menghindar, bahkan memeluk lawan, jika diperlukan.
Saat tubuh keduanya menempel, masing-masing tangan kanan mereka yang memegang ikatan pandan langsung menyasar punggung lawannya.
Sementara, tangan kiri memegang tameng yang gunanya untuk berlindung dari serangan lawan.
Dalam sekian detik, punggung lawan sudah bercucuran darah akibat goresan duri. Bahkan, duri yang terlepas dari batangnya menempel di punggung mereka.
Di antara mereka meringis kesakitan saat duri-duri itu dilepas dari punggung mereka yang berpeluh. "Panas, perih!" teriak Adi, seorang peserta yang dibantu beberapa temannya melucuti duri-duri yang menempel di punggungnya.
Sebagian teman Adi mengipasinya dengan kertas untuk mengurangi rasa panas dan nyeri.
Sementara itu, Candra sibuk meminta bantuan temannya. Bocah berusia delapan tahun itu juga meringis kesakitan saat duri-duri yang menempel di punggungnya dilucuti satu- persatu.
Berbeda lagi dengan Agus. Pria berusia 18 tahun itu tampak santai berbincang dengan teman-temannya, meskipun punggungnya terluka setelah berperang. "Sebentar lagi diobati biar cepat sembuh," katanya santai.
Memang, setelah perang usai para peserta mendapat pengobatan dengan ramuan yang sangat sederhana, cairan berupa campuran cuka dan kunyit.
Mereka mengobatinya sambil makan bersama. Saat diobati terasa perih, tapi hanya berlangsung sesaat.
"Tradisi ini juga untuk latihan perang," kata I Nengah Timur, penasihat Desa Adat Tenganan Pegringsingan.
Dia meyakini bahwa warga setempat pada dasarnya dilahirkan sebagai seorang prajurit. Darah mereka titisan dari Dewa Indra, perlambang Dewa Perang sehingga menjadi panggilan hati untuk mengikuti Perang Pandan itu.
Kebun Pandan
Pandan berduri menjadi satu-satunya senjata yang digunakan sejak lama dalam tradisi Perang Pandan.
Pandan ini diambil dari kebun milik warga atau milik desa yang berada masih di lingkungan Desa Adat Tenganan.
Timur menuturkan bahwa tidak ada penanaman khusus pandan berduri. Tanaman ini tumbuh begitu saja tanpa dipelihara.
Karena berduri, pandan ini tidak pernah dijual. Juga karena banyaknya keperluan sebagai bahan acara keagamaan, maka pandan ini tidak pernah dipejualbelikan.
Mengapa menggunakan pandan? Timur menjawab atas pertimbangan kesehatan. Menurut dia, goresan pandan ini tidak akan membahayakan tubuh dan tidak menimbulkan penyakit. Juga, pengobatannya cukup gampang, cuka dan kunyit.(*/T007)
Perang Pandan Bukan Ajang Adu Kesaktian
Sabtu, 9 Juni 2012 11:32 WIB