Denpasar (Antara Bali) - Pengamat masalah pertanian dari Universitas Udayana, Prof. Dr. Wayan Windia menilai kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) lahan sawah di lingkungan yang sedang berkembang di Bali, memberatkan petani.
"Di lingkup yang sedang membangun fisik, otomatis PBB lahan sawahnya meningkat," kata Windia yang juga Ketua Pusat Penelitian Subak Unud di Denpasar, Jumat.
Ia mengutarakan hal itu terkait kenaikan tarif PBB berdasarkan nilai jual objek pajak (NJOP). Padahal, seharusnya yang adil adalah bila PBB didasarkan pada produksi.
"Sangat banyak petani yang mengeluh tak mampu membayar PBB, lalu harus menjual sawahnya. Kasus ini sekarang terjadi secara besar-besaran di kawasan sepanjang jalan by pas Ida Bagus Mantra dari Kota Denpasar, Gianyar, Klungkung serta kawasan Renon Denpasar dan kawasan perkotaan lainnya di Bali," ujar Windia.
Selain masalah pajak petani di Bali juga mengalami kendala akibat air untuk pengairan kini banyak dibagi untuk kepentingan nonpertanian seperti pariwisata, pabrik, air baku perusahaan daerah air minum (PDAM).
Windia menambahkan air irigasi untuk pengairan itu juga semakin tercemar karena masyarakat membuang sampah plastik, dan berbagai barang bekas secara sembarang ke sungai dan saluran irigasi, sehingga sangat mengganggu persawahan petani.
Demikian pula kelembagaan sistem subak dilemahkan, dengan meniadakan Sedahan Agung yang berfungsi sebagai lembaga pengayom sistem subak, langsung di bawah bupati/wali kota.
"Subak sekarang bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya. Tidak ada lagi satu lembaga khusus (seperti halnya lembaga sedahan agung, dahulu kala), yang mengurus semua kepentingan/keluhan subak. Tidak ada lagi satu tempat khusus bagi subak, ke lembaga mana mereka mesti mengadu," ujar Prof Windia.
Padahal UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) justru memperlemah petani karena mengizinkan pihak swasta melakukan usaha dalam bidang SDA. Namun tuntutan UU agar membentuk Dewan SDA, sama sekali tidak mendapatkan respon dari pemerintah.
Demikian pula turunan UU Nomor 7 tahun 2004, yakni PP No 20 tahun 2006 tentang Irigasi yang menuntut dibentuknya Komisi Irigasi, sama sekali tidak ada wujudnya. Padahal Dewan Sumber Daya Air dan juga Komisi Irigasi adalah sebuah lembaga di mana subak dapat mengadu untuk memperjuangkan kepentingannya.
Justru pemerintah membentuk komisi yang berbau politik, misalnya, Komisi Informasi dan Komisi Penyiaran, ujar Windia. (WDY)