Pengakuan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) telah mengukuhkan subak menjadi warisan budaya dunia (WBD) sejak 29 Juni 2012. Namun, hingga kini tidak diikuti rencana aksi pengelolaan.
Organisasi pengairan tradisional bidang pertanian (subak) di Bali kini berada diambang kehancuran karena sebagai petani telah menjual sawahnya sehingga luas sawah di Pulau Dewata makin menyempit.
Sistem irigasi sawah khas Bali yang telah dianugerahkan status Warisan Budaya Dunia untuk kategori lanskap budaya makin menghadapi tantangan dan ujian berat, sementara Pemerintah belum memberikan apresiasi terhadap petani, khususnya yang terhimpun dalam subak, tutur Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof. Dr. I Wayan Windia yang juga Sekretaris Tim Penyusunan Proposal WBD tersebut.
Hamparan lahan sawah yang menghijau dengan lokasi yang berundak-undak (terasering) di Jatiluwih, Kecamatan Penebel, daerah "gudang beras" di Kabupaten Tabanan memiliki pemandangan dan keindahan panorama alam.
Perpaduan lembah dan perbukitan di bagian hulu Gunung Batukaru itu dikitari lingkungan dan kawasan hutan yang lestari yang menjadi satu kesatuan hamparan lahan sawah yang relatif cukup luas.
Sedikitnya sepuluh subak di kawasan Catur Angga Batukaru Kabupaten Tabanan dan tiga subak di daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan, Kabupaten Gianyar dengan total luas sekitar 1.000 hektare menjadi satu kesatuan telah ditetapkan menjadi WBD.
Tidak adanya rencana aksi pengelolaan WBD itu akibat tarik ulur antara pemerintah pusat, Pemprov Bali, dan pemkab di Bali mengakibatkan berbagai rencana aksi itu gagal, padahal untuk mendapat pengakuan UNESCO itu setelah Bali berjuang selama 12 tahun, termasuk usulan rencana aksi pengelolaan diajukan bersamaan dengan proposal permohonan WBD itu.
Untuk itu, Bali pada tahun 2014 rencananya dibentuk semacam forum dan kucuran dana bantuan Rp100 juta untuk 17 subak yang termasuk dalam WBD. Bahkan, Direktur World Heritage Culture (WHC) UNESCO telah mengirim surat peringatan kepada Dubes RI di Paris dan wakil tetap Indonesia di UNESCO tentang tidak adanya aksi nyata di kawasan WBD sebagaimana yang telah dijanjikan dalam proposal.
Untuk itu, pemerintah Indonesia harus memberikan pertanggungjawaban dalam sidang UNESCO pada tahun 2015.
"Bagi saya, hal ini adalah semacam `lampu kuning` dari penetapan subak sebagai WBD. Kalau pada tahun 2015 Pemerintah tidak mampu memberikan penjelasan yang dapat diterima UNESCO, mungkin risikonya akan sangat memalukan bangsa Indonesia," tegas Prof. Windia.
Pria kelahiran Sukawati, Kabupaten Gianyar, 15 Desember 1949, atau 65 tahun silam yang aktif mengikuti berbagai diskusi dan lokakarya tentang WBD yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memandang tidak gampang untuk merealisasikan rencana aksi itu karena hambatan birokrasi.
Kondisi di Bali juga sama, berbagai usul sudah dilakukan agar subak sebagai WBD mendapatkan sentuhan langsung, terutama ke-17 subak yang diakui sebagai WBD, yang terdiri atas 14 subak di kawasan Catur Angga Batukaru Kabupaten Tabanan dan tiga subak di daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan, Kabupaten Gianyar.
Mulai Putus Asa
Profesor Windia, mantan anggota DPR RI, menilai pengurus dan pimpinan subak di Bali tampaknya mulai putus asa akibat kurangnya perhatian Pemerintah terhadap lembaga tradisional bidang pertanian tersebut. Padahal, subak mempunyai peran yang besar dalam mendukung kelestarian budaya Bali, di samping menyediakan kebutuhan pangan.
Pihak Pemerintah, menurut dia, sama sekali tidak responsif karena hingga kini belum ada Badan Pengelola WBD. Padahal, badan pengelola WBD itu sangat penting untuk memperjuangkan berbagai subsidi yang harus diberikan kepada petani agar mereka merasa senang bertani dan mempertahankan kesinambungan subak.
Sebanyak 14 subak di kawasan Catur Angga Batukaru di daerah "Gudang Beras" itu memiliki keunikan dan kekhasan yang berundak-undak yang sejak lama dikenal luas masyarakat internasional. Namun, belakangan mulai dilanda konflik.
Pemkab Tabanan sebelum ditetapkan kawasan Catur Angga sebagai WBD, hanya memandang kawasan Jatiluwih sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW), bukan sebagai kawasan WBD.
Hal itu sungguh sebuah keputusan yang sangat merendahkan makna kawasan WBD Jatiluwih. Oleh sebab itu, dibentuklah oleh Pemkab Tabanan sejenis Badan Pengelola DTW Jatiluwih, seperti layaknya DTW Tanah Lot.
Kedua kawasan, yakni Tanah Lot dan Jatiwulih, sangat jauh berbeda. Tanah Lot adalah kawasan "monumen mati" karena hanya tinggal mengelolanya, sementara Subak Jatiluwih dan sekitarnya adalah kawasan "monumen hidup".
Subak kawasan Catur Angga yang dikelola oleh petani di bawah pimpinan pakaseh. Oleh karena itu, dalam pengelelolaan kawasan Jatiluwih, suara pekaseh haruslah betul-betul diperhatikan.
Usulan dari subak, kata Wayan Windia, jangan dianggap sebagai angin lalu saja. "Subak secara politis sudah ikut terlibat dalam pengelolaan kawasan. Saya kira petani jangan selalu dianggap bodoh dan tidak mampu mengelola kawasannya atau assetnya," ujarnya.
Oleh sebab itu, dalam struktur pengelolaan WBD Jatiluwih, petani harus menjadi penanggung jawab badan pengelola tersebut dan percayakan pengelolaannya kepada petani.
Dengan adanya pendampingan yang baik, maka petani akan mampu mengelola secara berkelanjutan tanpa friksi.
Petani harus ditempatkan sebagai subjek, dan bukan semata sebagai objek. Dengan demikian, Surat Keputusan (SK) Bupati Tabanan seharusnya menetapkan nama badan itu sebagai Badan Pengelola Kawasan WBD Jatiluwih, bukan dalam bentuknya sebagai Badan Pengelola DTW Jatiluwih.
Jika hal itu dilaksanakan, menurut dia, pihak UNESCO akan sangat puas dan mereka akan lebih respek. Logikanya sangat sederhana, barang siapa yang "memiliki" kawasan itu, wajarlah kalau mereka yang mengelolanya.
Hal itus seharusnya juga dikerjakan pula di kawasan yang lain, khususnya kawasan hulu Tukad Pakerisan Kabupaten Gianyar yang juga sebagai WBD. Di sana seharusnya segera dibentuk badan pengelola kawasan hulu Tukad Pakerisan sebagai WBD.
Sementara itu, Pemkab Gianyar harus juga segera memberikan bebas pajak bumi dan bangunan (PBB) kepada tiga subak yang menjadi WBD di daerah itu.
Hanya dengan sentuhan-sentuhan kecil seperti itu, menurut dia, petani dan subak akan merasa sangat diperhatikan dalam kapasitasnya sebagai kawasan WBD.
Dengan demikian, semoga UNESCO tidak menarik pengakuannya terhadap subak sebagai WBD karena subak di Bali sudah terlanjur hancur lebur dan tidak mendapat perhatian yang wajar dari Pemerintah, ujar Prof. Windia. (WDY)
WBD Subak di Bali Tanpa Rencana Aksi
Kamis, 29 Mei 2014 20:11 WIB