Warga desa adat (pekraman) di Bali yang beramai-ramai mengusung bade (keranda jenazah) menuju setra (kuburan) saat ritual Ngaben akan selalu berputar tiga kali saat melewati persimpangan jalan (perempatan jalan).
Hal itu menjadi tradisi dengan tujuan, konon agar hubungan antara yang meninggal (yang diabenkan) dengan anggota keluarga terputus tidak lagi saling mengingat.
Oleh sebab itu setiap persimpangan jalan di pelosok pedesaan Pulau Bali dibuatkan bangunan suci (pelinggih) atau patung-patung yang disakralkan oleh masyarakat setempat.
Dengan demikian tidak mengherankan pembongkaran patung Wisnu Murti di perempatan jalan Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali yang akan digantikan dengan patung Soekarno (Presiden I RI) mendapat protes dan meresahkan warga masyarakat setempat, kata Ketua DPRD Kabupaten Tabanan I Ketut Suryadi.
Untuk itu pihaknya memanggil eksekutif terkait pembongkaran patung Wisnu Murti yang akan digantikan patung proklamator itu.
Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti diminta mendengarkan masukan dari masyarakat yang menolak pembongkaran patung Wisnu Murti untuk digantikan dengan patung Soekarno karena terkait dengan keyakinan agama Hindu.
Patung Wisnu Murti yang sebelumnya berdiri megah di perempatan jalan atau "catus pata" Kediri itu biasa dijadikan tempat untuk perlintasan arak-arakan ngaben seperti tradisi yang dilakukan desa adat lainnya di Pulau Dewata.
"Dengan duduk bersama, kami berharap ada solusi terbaik karena penempatan patung Bung Karno ada di posisi `catus pata` yang biasa digunakan umat Hindu saat upacara ngaben," ujar Suryadi.
Hal itu dilakukan karena tidak ingin wanita pertama yang menjabat Bupati Tabanan dituding melecehkan umat Hindu akibat kebijakannya membongkar patung Wisnu Murti dan menggantinya dengan patung Soekarno.
Dalam legenda Mahabarata sosok Wisnu Murti sarat dengan nilai-nilai filosofis kepemimpinan, yakni Wisnu Murti muncul karena Kresna marah kepada Duryodana yang bersikeras berperang melawan Pandawa.
Oleh sebab itu orang-orang tua di daerah lumbung beras Kabupaten Tabanan zaman dulu membuat patung itu bertujuan agar pemimpin selalu mendengar masukan atau aspirasi masyarakat. Kalau tidak, masyarakat yang akan "memurti" (marah), ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Tabanan I Nyoman Suarsedana mengusulkan patung Soekarno yang sampai saat ini masih dalam tahap akhir di bengkel seni Nyoman Nuarta di Bandung, Jawa Barat, itu agar ditempatkan di depan kantor Bupati Tabanan.
"Hal itu biar spirit Bung Karno tetap ada di benak pemerintah dan pemimpin kita di Tabanan, sedangkan patung Wisnu Murti yang telanjur dibongkar di Kediri sebaiknya dibangun kembali lagi," harap Nyoman Suarsedana.
Dilindungi Perda
Maestro seni lukis Bali I Nyoman Gunarsa menilai, keunikan dan kesakralan Pulau Dewata memang terasa memukau tatkala berjalan-jalan ke setiap pelosok pedesaan, karena setiap perempatan jalan, simpang lima, simpang enam maupun simpang siur dibangun tempat suci atau patung yang disakralkan.
Orang Bali dengan agama, seni budayanya cukup pintar menyelaraskan filosofi dengan lingkungannya dalam menata alam sawah, pantai, gunung dengan sentuhan-sentuhan artistik alami nan polos dan lugu, namun penuh taksu (kharisma).
Dengan demikian karya artistik itu dimata wisatawan mancanegara, budayawan, seniman, pengamat, Bali benar-benar "Surga Ketok"atau "Suarga Sekala".
"Kondisi demikian akankah dihancurkan warisan budaya yang agung itu, demi untuk sekilas ambisi dari seorang oknum penjabat," tanya pemilik Museum Seni Lukis Klasik Bali itu. Ia mengkhawatirkan ganti penguasa, ganti objeknya.
"Apa jadinya kalau setiap penguasa daerah pamer wajah di setiap simpang jalan, sehingga pulau yang menjadi kekaguman dunia internasional dan telah memiliki kekhasan langgam dan keunikan, itu dirusak oleh kepentingan-kepentingan penguasa yang silih berganti?.
Untuk menjaga keunikan yang telah terpelihara sejak puluhan abad itu, Pemerintah Provinsi Bali, maupun kesembilan Kabupaten/kota di Bali melindungi dengan membuat Peraturan Daerah (Perda) untuk melindungi setiap pertigaan, perempatan catus pata, simpang lima, simpang enam itu dari penyimpangan pembangunan yang tidak bertitik tolak dari nilai-nilai tradisi yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Bali.
Dengan adanya Perda itu bukan melarang adanya pembangunan seni-seni kreatif, patung-patung tokoh-tokoh pahlawan, budayawan, presiden di Bali, sama sekali tidak, tetapi harus menyesuaikan ruang, tempat, dan waktu (Desa Kala Patra).
Bali memang telah mewarisi keunikan sejak berabad-abad itu jangan dihancurkan untuk kepentingan sesaat, namun sebaiknya dicarikan jalan lain, ditempatkan di lapangan hijau, museum, gedung pemerintah, dermaga, lembah, bukit-bukit dan gunung.
Dengan demikian Pulau Dewata tetap dapat dijaga kelestariannya sekaligus hidup saling berdampingan dan saling menunjang secara harmonis. Bali perlu seni-seni kreatif modern tanpa menghilangkan roh, jiwa dan taksu Bali, namun seni tradisi (klasik) yang telah mengakar perlu terus dilestarikan, karena telah menjadi kekaguman masyarakat dunia.
Perlu Filter
Gunarsa yang sukses menggelar pameran lukisan di tingkat lokal, nasional dan internasional itu mengingatkan, seni-seni modern (kontemporer) yang sama sekali tidak memiliki kepribadian tidak berorientasi nilai budaya yang hanya menjiplak dan menjadi epigon asing perlu filter kehadirannya.
Demikian pula rencana pembangunan patung Bung Karno dengan posisi duduk yang mengorbankan patung Wisnu Murti di tengah catus pata kota Kediri, tabanan betul-betul suatu sikap tidak terpuji.
Penghancuran patung Wisnu Murti tersebut telah melukai hati umat Hindu Bali, karena merupakan salah satu tokoh penting Dewa Wisnu dalam agama Hindu.
Persoalannya bukan karena tidak diupacarai secara resmi sewaktu permulaan pembuatan patung tersebut, tetapi patung Wisnu Murti yang telah berdiri kokoh dan melegenda di ibukota Kecamatan Kediri dihancurkan luluh lantak dimata masyarakat luas.
"Itu yang mengundang kemarahan dan sakit hati. Sebaiknya patung itu diangkat ke tempat lain menggunakan alat berat secara baik-baik, sehingga lebih halus dan menghargai ciptaan seniman, tidak serta merta main penggal, karena berkuasa. Di mana hak cipta seseorang seniman itu ditempatkan," ujar Nyoman Gunarsa yang sedih melihat perlakuan Pemkab Tabanan.
Persoalan memakai ritual atau tidak sebuah patung Dewa yang telah berdiri kokoh sejak lama di catus pata, apalagi masyarakat selalu menggelar ritual di tempat tersebut, itu berarti sudah ada "penghuninya" makluk halus, disamping pelecehan karya seni jelas punya nilai sakral,
Lebih-lebih patung itu berdiri disimpang empat (Catus Pata) yang merupakan titik keramat Umat Hindu. Untuk itu peran Desa Pekraman, parisada Hindu dharma Indonesia (PHDI) maupun tokoh budaya, seniman, pemerhati lingkungan, khususnya di kabupaten Tabanan mempunyai kemampuan (nyali), tidak mudah didikte penguasa yang arogan, karena adanya kepentingan.
Seharusnya masyarakat Desa Pekraman, PHDI lebih mengutamakan posisinya sebagai pelindung nilai-nilai Hindu, yang merupakan ujung tombak pelestarian agama, seni budaya Bali.
Jika Desa Pekraman dan PHDI sudah bisa diarahkan untuk kepentingan seseorang, itu sudah berarti tanda-tanda Pulau Bali cepat atau lambat akan hancur. Padahal Desa Pekraman adalah ujung tombak terakhir Bali dalam melestarikan agama dengan seni budaya, karena semua kreativitas seni budaya Bali lahir, berkembang dan termashyur ada di Desa Pekraman.
Bali tanpa Desa Pekraman tidak akan mampu melahirkan karya seni yang agung dan magis yang memukau dunia internasional.
Tari Barong Jumpai, Tari Barong Denjalan, Singapadu, Tari Kebyar Trunajaya dari Jagaraga, Tari Kebyar Terompong oleh I Maria Tegal Pangkung, Tari Rejang Renteng Nusa Penida yang mampu mengharumkan Bali di dunia internasional semua lahir di DesaPekraman yang bersifat masal dan didukung oleh adat.
Demikian pula karya-karya seni budaya lainnya seperti seni bangunan, seni patung, seni lukis, seni sastra, seni kuliner yang beraneka ragam itu lahir di desa adat pekraman, desa mandiri yang tahan gempuran dari berbagai tantangan global, termasuk yang nyelenah penghancuran Wisnu Murti lambang penting agama Hindu di Bali.
Dewa Wisnu adalah lambang kesuburan atau kehidupan yang dipuja dan dipatungkan serta dibuatkan tempat suci diberbagai tempat di Bali.
Kurang Pantas
Gunarsa juga mengingatkan, patung Bung Karno, yang juga sebagai bapak Proklamator bangsa Indonesia, penempatannya di Catus Pata yang merupakan titik sakral di Bali adalah kurang pantas atau tidak sesuai dengan Dresta (aturan adat), apalagi posisi patung dalam keadaan duduk di atas kursi.
Patung itu sebaiknya dipindahkan tempatnya ke sebuah lapangan, atau gedung yang megah bertahta marmer seperti patungnya Presiden Amerika Abraham Lincoln di Washington DC Amerika Serikat.
Atau seperti wajah-wajah Presiden Amerika Serikat George Washington, Abraham Lincoln, Rosevelt yang diabadikan di sebuah perbukitan atau gunung di Mount Rushmore National Memorial oleh pemahat Gutzon Borglum dan anaknya Lincoln Borglum tahun 1923 di South Dacota.
Wajah-wajah Presiden tersebut dipahat di atas batu granit gunung mulai tahun 1927 dan baru selesai tahun 1941 dengan dana yang sangat besar. Itu baru namanya mengabadikan ketokohan seorang pemimpin bangsa dengan skala monumental dan bukan pekerjaan asal-asalan menempatkan patung Bung Karno apalagi merebut tempat Catus Pata dengan merobohkan patung Dewa Wisnu yang sedang Murti.
"Jika semua pemimpin di Bali mengusung tokoh-tokoh partai yang dianutnya, Bali bisa berabe, padahal Citra Bali di dunia internasional sudah berubah menjadi Pulau Presiden` dan bukan lagi Pulau Dewata," kata Gunarsa.
Ia mengingatkan, pejabat telah memaksakan kehendaknya tanpa mepedulikan saran dan kritik masyarakat, patut dicurigai, karena seluruh masyarakat pasti akan cinta dengan Bung Karno.
Namun yang benar penempatannya dan jangan mengejar target karena ada suatu tujuan terselubung. Boleh membangun patung Bung Karno, tetapi di dudukkan pada tempat-tempat yang bersejarah atau yang paling strategis, sehingga abadi dan benar-benar jadi kebanggaan bangsa Indonesia di Bali.
"Jangan meletakkan patung Bung Karno di persimpangan jalan karena itu sudah menjadi domainnya Dewa Dewi Pulau Dewata," harap Nyoman Gunarsa. (LHS)
Bali Perlu Lindungi Kesakralan Persimpangan Jalan
Selasa, 3 September 2013 16:16 WIB