Denpasar (Antara Bali) - Sarana kelengkapan kegiatan ritual umat Hindu di Bali mengandung nilai seni yang tinggi serta filosofi dengan penuh makna dan arti.
"Keagungan dan kemuliaan kelengkapan itu didukung oleh prosesi upacara meriah dan khusuk, menunjukkan kesucian dan indahnya upakara yang digelar umat Hindu di Bali," kata Drs I Wayan Suardana MSn, dosen Jurusan Kriya Seni Fakultas Seni Rupa dan Disain (FSRD) Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Senin.
Ia mengatakan, setiap upacara adat dan keagamaan di Bali memerlukan berbagai sarana sesuai jenis dan tujuan dari kegiatan ritual tersebut.
Material yang diperlukan itu berasal dari lingkungan alam yang diolah sedemikian rupa menjadi suatu bentuk tertentu yang sarat dengan nilai seni.
Selain itu juga mengandung penuh makna dan arti yang mampu memancarkan kebahagiaan dan kebanggaan pada setiap masyarakat jika sukses menggelar kegiatan ritual secara lengkap.
Wayan Suardana menambahkan, namun begitu kegiatan ritual usai, sarana upakara tersebut tidak berguna lagi dan biasanya langsung menjadi sampah, bahkan dinilai mengganggu jika tidak secepatnya dibuang.
Namun dari kaca mata artistik, sisa-sisa upakara itu mengandung nilai seni tinggi, sehingga sangat disayangkan jika begitu saja dibuang.
Wayan Suardana menjelaskan, dari hasil eksplorasi yang dilakukan pihaknya terhadap bekas kegiatan ritual di Bali itu, lahir sevbuah konsep penciptaan karya senin yang diberi judul terbuang sayang.
Karya seni "terbuang sayang" itu antara lain berupa lukisan dan karya patung komtemporer dan lain-lain.
Penciptaan karya seni tersebut tentunya dilatarbelakangi oleh dorongan yang kuat untuk memanfaatkan benda-benda bekas ritual yang dibuang begitu saja usai upacara dilakukan, katanya.
Selain itu, lanjut dia, pihaknya kini juga telah mampu membuat beberapa rancangan disain kriya murni dalam bentuk dua dimensi melalui pengaktualisasian teknik ukir.
"Teknik pahatan sedikit keluar dari 'pakem' kriya, yakni penuh dengan kebebasan melalui garis, bidang, ruang dan tekstur. Berbeda dengan selama ini, di mana pahatan harus dimunculkan secara unik, rumit dan halus," katanya.
Pahatan ekspresif digunakan untuk menghilangkan kesan, bahwa untuk menghasilkan sebuah karya kriya memerlukan ketekunan dan waktu yang relatif lama, di samping memiliki keterampilan khusus.
Selain itu proses karya akhir juga menggunakan eksperimen warna, baik untuk fungsi pelakat maupun transparan dengan goresan kuas yang ekspresif.
"Penggunaan warna sebagai finishing karya tersebut dilakukan karena ingin memunculkan warna yang sebenarnya dari sumber obyek yang ada," ujar Wayan Suardana.
Untuk itu, lanjut dia, pihaknya menggunakan warna cat air yang dapat diolah dan dituangkan secara mudah di atas material.
Pencampuran dan permainan warna mampu melahirkan warna komplementer yang secara visual menjadi dominan, yang kemudian dipoles dengan semir kiwi untuk mencari kilap yang muncul di permukaan, katanya.(*)