Jakarta (ANTARA) - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan Anggaran Tahunan BI (ATBI) tahun 2024 diproyeksikan defisit sebesar Rp29,29 triliun.
Defisit tersebut disebabkan total pengeluaran yang lebih besar dibandingkan dengan total penerimaan, di mana masing-masing sebesar Rp177,67 triliun dan Rp148,37 triliun.
“Rencana ATBI 2024 diperkirakan akan defisit Rp29,29 triliun,” kata Perry saat Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin.
Dia menjelaskan defisit pada anggaran tahun depan utamanya dipengaruhi oleh pengeluaran anggaran kebijakan yang meningkat, termasuk kenaikan biaya operasi moneter dan beban kontribusi BI atas program pemulihan ekonomi nasional (PEN) atau burden sharing.
Anggaran kebijakan pada ATBI 2024 diproyeksikan defisit Rp38,96 triliun, imbas total penerimaan anggaran sebesar Rp118,62 triliun yang lebih kecil dibandingkan total pengeluaran sebesar Rp157,60 triliun.
Baca juga: BI: Aliran modal asing keluar dari RI capai Rp1,27 triliun
Sementara itu, anggaran operasional diperkirakan surplus Rp9,6 triliun, terdiri dari total penerimaan sebesar Rp29,75 triliun dan total pengeluaran Rp20,07 triliun.
Penerimaan anggaran operasional utamanya didorong oleh hasil pengelolaan aset valas yang diproyeksikan sebesar Rp29,69 triliun.
Adapun pengeluaran anggaran operasional terbesar diperuntukkan kepada gaji dan penghasilan lainnya sebesar Rp5,36 triliun. Nilai tersebut lebih besar dari anggaran tahun ini yang sebesar Rp4,70 triliun.
Kemudian, pengeluaran manajemen dan sumber daya manusia (SDM) sebesar Rp3,29 triliun, layanan sarana dan prasarana Rp2,83 triliun, perumusan dan pelaksanaan kelembagaan Rp2,09 triliun, operasional kebijakan utama Rp1,72 triliun, program sosial BI Rp1,63 triliun, pelaksanaan supervisi BI Rp42 miliar, pajak Rp2,61 triliun, dan cadangan anggaran Rp489 miliar.
“BI berkomitmen untuk terus memperkuat bauran kebijakan BI dan nasional untuk menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, termasuk dari berlanjutnya ketidakpastian perekonomian global yang masih tinggi,” ujar Perry.
Baca juga: Bank Indonesia Bali: Waspadai risiko inflasi dari kenaikan harga cabai