Oleh Rz.Subagyo
Jakarta (Antara Bali) - Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, tidaklah begitu luas wilayahnya hanya sekitar 303 hektare namun ternyata menjadi produsen utama beras merah, bahkan produknya telah menembus ke pasar internasional.
Terletak di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut, Desa Jatiluwih yang merupakan salah satu daerah persawahan di Bali yang dibuat berteras atau berundak-undak, menawarkan pemandangan alam yang menakjubkan.
Sistem sawah berteras ini membuat Jatiluwih dinobatkan UNESCO sebagai World Heritage atau warisan budaya dunia.
Untuk mengiri sawah seluas 636 hektare di Jatiluwih juga dipergunakan sistem pengairan subak yakni sistem pengairan tradisional di Bali yang berbasiskan masyarakat.
Soal air untuk pengairan, tidak menjadi kendala bagi petani Jatiluwih, karena desa tersebut berdekatan dengan tiga gunung setinggi diatas 2000 meter dari permukaan laut yakni Batukaru, Sangyang dan Poohoen yang menjadi sumber mata air.
Dalam menjalankan aktivitas pertaniannya masyarakat Jatiluwih juga masih tetap mempertahankan Tri Hita Karana, yang telah diterapkan turun-temurun. Masyarakat di desa ini juga masih menggunakan alat-alat tradisional dalam mengerjakan sawahnya.
Dalam penerapannya Tri hata Karana selalu diupayakan adanya keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam, yakni sawah beserta ekosistemnya, manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan sebagai pencipta.
Budaya menanam padi mulai dari proses pertanian dan mapag toya, ngendag, mengolah tanah, tanam padi, mebiyukungkung sampai dengan panen padi.
Hindari pestisida
Menariknya masih dipertahankannya padi lokal serta budidaya masih menggunakan pupuk organik bahkan dalam pemberantasan hama juga menghindari pemakaian obat-obatan kimia atau pestisida.
Pada saat -saat tertentu ketika hama tikus menyerang maka petani tidak langsung memberantas binatang pemakan tanaman padi tersebut dengan obat-obatan atau membunuhnya, namun hanya mengambil beberapa ekor untuk dilakukan upacara ngaben, dan diyakini hama tikus yang menyerang persawahan mereka akan hilang.
Upacara ngaben sebenarnya merupakan salah satu ritual yang dilakukan masyarakat Bali untuk melakukan pembakaran jenazah kerabat yang telah meninggal.
Upacara tersebut kemudian dilakukan pula untuk memberantas hama tikus. Setiap kelompok tani akan membawa beberapa ekor tikus yang menyerang daerahnya ke pura khusus dan setelah terkumpul akan dilakukan pembakaran bersama.
Sementara itu sebelum kegiatan bercocok tanam dilakukan petani di wilayah tersebut selalu mengawalinya dengan matur piuning atau mohon doa restu di pelinggih ulun sawah dan pura besar lainnya.
Seluruh kegiatan bercocok tanam mulai dari mapag toya atau mengambil air dan mengalirkan air ke sawah, ngurit atau membuat benih padi, nandur atau menanam benih, hingga memanen dan memasukkan padi ke lumbung selalu diawali dengan upacara.
Di balik keindahan alamnya, ternyata Jatiluwih menyimpan sejumlah potensi salah satunya yakni sebagi penghasil beras merah, meskipun juga menghasilkan beras biasa dengan jenis hibrida.
Biasanya beras merah ditanam pada bulan Desember sampai Januari sedangkan beras hibrida ditanam pada musim gadu yakni bulan Juli.
Pada musim gadu, masyarakat bebas menanam padi yang diinginkan seperti padi mansur, ketan atau ketan hitam, tetapi setelah musim itu berlalu masyarakat kembali menanam padi lokal atau padi Bali.
Warna, bau dan rasa beras merah yang dihasilkan sangat khas dan berbeda dengan desa sekitarnya tak heran bila beras merah ini sangat laku di pasaran. Sawah seluas 303 ha di jatiluwih mampu menghsilkan beras merah 1.515 ton.
Ke Filipina
Pemasaran beras merah Jatiluwih tak hanya di provinsi bali namun juga telah menembus Surabaya hingga Jakarta bahkan teleh diekspor hingga ke Filipina.
Pasar antarpulau tersebut mampu menyerap 20-30 persen dari total produksi per tahun.
Kondisi pasar yang kian luas tersebut menunjukkan potensi pasar beras merah jatiluwih memang baik. Saat ini harga beras merah Jatiluwih di kisaran Rp16.000/kg.
Berkembangnya beras merah di Desa Jatiluwih ternyata tak bisa dilepaskan dari sosok Grace M Tarjoto wanita kelahiran Filipina yang sudah sekitar 13 tahun menetap di Bali.
Pada awalnya, dia hanya sebagai pelancong biasa namun pemandangan alam Jatiluwih telah membuatnya jatuh cinta pada desa tersebut.
Menurut Grace, beras merah karena keunikannya sering juga disebut beras dewa tersebut karena menyehatkan. Jenisnya pulen, bulir padi besar dan berisi penuh, kadar gulanya rendah, kandungan vitamin dan mineralnya sangat tinggi.
"Namun demikian beras merah masih dipandang rendah sehingga harganya juga tak menguntungkan petani, karena masih dipandang sama dengan beras putih, sehingga tak heran petani masih terjerat kemiskinan," katanya.
Hal itu lah yang membuat Grace tergerak untuk terjun langsung bersama-sama petani mengangkat harkat beras merah tersebut.
Pada 2003 bersama suaminya Heru Tarjoto, pakar tool design lulusan Institut Teknologi Oregon AS mereka mengembangkan fasilitas penyosohan beras modern.
Selain itu sebagai wadah untuk berkumpul dan saling urun rembug Grace yang lulusan ilmu kimia universitas San Agustin Filipina itu mendirikan kelompok tani, dari situlah maka dia membantu melakukan perluasan pasar dengan pengemasan menarik.
Dengan begitu beras merah Jatiluwih bisa masuk supermarket dan pusat perbelanjaan modern. Hasilnya menggemberikan beras merah produk petani Tabanan ini dihargai Rp30.000/kg bahkan di Jakarta mencapai Rp60.000/kg jauh lebih tinggi dibandingkan beras putih yang hanya berkisar Rp4000-Rp8000/kg.
Untuk memperkukuh pemasaran produknya sejak 2010 produksi dari anggota kelompok taninya telah mendapatkan sertifikat organik, dari Lembaga Sistem Organik Seloliman yang berafiliasi dengan lembaga dari Swiss.
Beras merah Jatiluwih masa pemeliharaannya sekitar 145 hari, sat ini produktivitasnya mencapai enam ton per hektare. Pada musim cicih petani menanam padi lainnya termasuk padi hibrida bahkan palawija dengan tujuan rotasi tanaman dan menjangan keseimbangan hara tanah serta memutus rantai hama.
Padi beras merah yang dihasilkan petani biasanya akan disimpan di lumbung padi. Beras merah tersebut digunakan untuk memenuhi keperluan konsumsi sepanjang tahun dan persediaan bibit untuk musim tanam berikutnya.
Ketut Sudiarsa warga Desa Jatiluwih yang juga merupakan kelian tempek Besikalung mengungkapkan hasil panen beras merah sebagian besar untuk dikonsumsi.
Hanya saja bila ada kelebihan barulah padi beras merah dijual. sementara hasil panen beras hibrida semua dijual yang hasilnya untuk keperluan sehari-hari seperti lauk pauk.
"Ini menjadi kebiasaan masyarakat Jatiluwih secara turun-temurun," katanya.
Kini jatiluwih tidak hanya dikenal sebagai lahan pertanian namun juga ikon pariwisata di Tabanan bahkan Bali. Ratusan wisatawan mendatangi Jatiluwih yang berjarak dua jam dari Denpasar hanya untuk sekedar melihat hamparan sawah dan menikmati beras merah.
Tak hanya itu, masyarakat Jatiluwih juga bertekad untuk mempertahankan beras merah sebagai salah satu warisan turun temurun selama 1000 tahun agar tidak hilang.
"Kalau sampai itu terjadi tentu saja berbahaya. Soalnya ada rangkaian sejarah kehidupan warga jatiluwih yang bakal ikut hilang," kata Grace Tarjoto. (*/ADT/T007)