Denpasar (Antara Bali) - Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof. Dr. Wayan Windia menilai, kawasan Jatiluwih yang telah mendapat pengakuan UNESCO sebagai warisan budaya dunia (WBD) kini kondisinya semakin amburadul dalam pola pengembangan sosial kelembagaan.
"Dalam wujud fisik (kebendaan) kondisinya tidak sesuai dengan harapan akibat Pemkab Tabanan hanya sekedar membentuk Badan Pengelola Daerah Tujuan Wisata (BP-DTW) Jatiluwih," kata Prof. Windia yang juga guru besar Fakultas Pertanian Unud di Denpasar, Selasa.
Ia sebelumnya sebagai sekretaris tim penyusulan profosal WBD ke UNESCO, kali ini berkunjung ke kawasan Jatiluwih untuk menyosialisasikan WBD, namun kesannya tidak sesuai dengan harapan.
Windia menilai Pemkab Tabanan dalam membentuk BP-DTW hanya skedar mencomot segi keuntungan dari daerah itu sebagai kawasan WBD.
Sementara itu, sepertinya tidak mau tahu tentang pelestarian kawasan Jatiluwih sebagai kawasan WBD. Kawasan Jatiluwih sebagai kawasan WBD memerlukan pelestarian dan keberlanjutan, serta harus ditata sesuai dengan kriteria UNESCO tentang WBD.
"Bagaimana kriteria UNESCO tersebut, salah satu kriterianya yang penting sudah pernah saya surati ibu Bupati Tabanan. Kalau hal ini dapat dilaksanakan oleh Pemda Tabanan, maka kawasan itu akan memberikan PAD yang melimpah, dan berkelanjutan di masa depan. Seperti halnya, kawasan Angkor Wat di Kamboja," ujar Windia.
Kawasan Catur Angga Batukaru, termasuk Subak Jatiluwih dan tiga kawasan lainnya yang merupakan satu-kesatuan ditetapkan UNESCO sebagai WBD sejak 20 Juni 2012.
Kawasan yang berundang-undang (bertingkat) menjadi satu kesatuan dengan kawasan suci Pura Taman Ayun, Mengwi, Kabupaten Badung, daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan, Kabupaten Gianyar dan Pura Ulundanu Batur, Kabupaten Bangli.
Windia menlihat sejak pengukuhan WBD tersebut, kunjungan wisatawan sudah berlipat ganda, pemasukan ke kas Pemkab juga meningkat, namun sayang Pemkab Tabanan hanya terpaku pada pandangannya hanya untuk mendapatkan bunus dari wisatawan yang berkunjung ke sana.
"Hal ini tercermin dari pernyataan Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti yang pernah dikutip pers bahwa kawasan Jatiluwih mendapatkan pengakuan UNESCO, lalu kita dapat apa?," ujar Windia.
Seharusnya disyukuri bahwa pengakuan UNESCO terhadap kawasan subak sudah memberikan citra bagi kawasan itu, sehingga wisatawan yang berkunjung menjadi berlipat ganda. Citra bangsa juga terangkat. Dengan demikian pendapatan yang masuk ke kas Pemda Tabanan juga semakin berlipat.
Hal itu penting disadari karena pemerintahlah yang dahulu "mengemis" kepada UNESCO agar kawasan itu diakui sebagai WBD, tutur Prof Windia. (WDY)