Denpasar (ANTARA) - Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tanjung saat menyerahkan dokumen Undang-undang Nomor 15 Tahun 2023 Tentang Provinsi Bali menjelaskan sekaligus sebagai klarifikasi alasan mengapa undang-undang tersebut lama diproses padahal telah diajukan sejak 2020.
“Saya hari ini klarifikasi Pak Gubernur, selama ini mungkin banyak persepsi yang salah kepada Komisi II terutama saya, karena draft RUU Provinsi Bali ini sebetulnya dari 20 provinsi paling pertama masuk tapi pas masuk materi perubahannya paling banyak,” kata Ahmad di Denpasar, Minggu.
Ahmad Doli menuturkan bahwa Komisi II DPR RI saat 2020 lalu berpikir bahwa mereka belum memiliki pengalaman dalam menyelesaikan perubahan undang-undang dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menuju UUD 1945.
Maka dari itu mereka memprediksi jika mendahulukan Bali dengan materi perubahan dan kekhususan yang banyak, berpotensi menghambat undang-undang provinsi lain karena tak kunjung rampung, padahal dewan menginginkan seluruh provinsi sesegera mungkin memiliki undang-undangnya.
Dilanjutkannya, Komisi II DPR akhirnya terlebih dahulu menyelesaikan milik Kalimantan, kemudian Sulawesi, dan akhirnya mempertimbangkan antara Sumatera dan Bali.
“Waktu itu Pak Gubernur (Wayan Koster) bilang itu komisi II maunya apa sih diskriminatif sama Bali, kok begitu banget sama Bali. Saya bilang biarin saja nanti akan indah pada akhirnya. Akhirnya karena kesabaran, Bali jadi satu-satunya undang-undang yang beda dengan provinsi lain,” tuturnya.
Atas kondisi itu, Ahmad Doli akhirnya datang langsung menyerahkan Undang-Undang Provinsi Bali kepada Gubernur Wayan Koster dan jajaran Pemprov Bali, sekaligus meluruskan bahwa tak ada sentimen tertentu terhadap Pulau Dewata.
Bahkan, DPR menginginkan Bali mendapat hasil yang maksimal dari Undang-Undang Provinsi Bali yang dinantikan 65 tahun lamanya.
Politisi Partai Golkar itu mengaku ingin seluruh provinsi segera menjalankan visi pembangunannya masing-masing sesuai karakteristik dan potensi daerah, namun selama ini terbatas pada undang-undang yang tergabung antar beberapa provinsi.
Provinsi Bali menjadi contoh, di mana selama ini undang-undang yang ada yaitu Nomor 64 Tahun 1958 mengatur tiga provinsi sekaligus yaitu Bali, NTB dan NTT.
“Bagaimana mereka mau merumuskan visi kalau undang-undangnya sama, jadi tidak kelihatan karakteristik dan spesifik visi pembangunan masing-masing,” ujarnya.
“Pokoknya kami ingin harus ada alas hukum jelas, sekarang undang-undang dasar konstitusinya UUD 1945, kami konsultasi dengan pakar tata negara tidak ada masalah,” sambungnya.
Dari hasil konsultasi komisi II dengan pakar tata negara bahkan disebutkan Undang-Undang Provinsi Bali menjadi yang paling berbeda dari daerah lain, lantaran secara tidak langsung Bali dapat mengatur kebijakan pemerintah pusat.
“Undang-undang ini satu-satunya provinsi yang jelas langsung perolehan incomenya, awalnya soal dana desa adat atau subak tidak ada tapi kita coba akhirnya masuk. Kita tahu Bali andalan di dalam dan luar negeri, undang-undang ini menjadi proteksi bagi masyarakat dunia yang datang untuk tetap menjaga kelestarian budaya dan lingkungan,” sebut Ahmad Doli.
Dengan lahirnya Undang-undang Provinsi Bali dengan segala kekhasannya, ia berharap masyarakat kompak mendukung, dan dengan potensi pendapatan yang akan diterima diharapkan mempercepat pembangunan infrastruktur sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat.