Oleh Ni Luh Rhismawati
Denpasar (Antara Bali) - Ganti menteri ganti kebijakan, menjadi bukan hal yang baru di Tanah Air. Kebijakan yang dibuat bukan saja mengacu pada kemaslahatan publik, namun ada kalanya begitu terkait dengan selera menteri. Hal itu tentu akan terjadi jika kebijakan yang dibuat dengan tidak berdasarkan kajian yang mendalam.
Terbersit kekhawatiran Ketua Komisi IV DPRD Bali Nyoman Partha akan adanya pergantian kurikulum pula seiring pergantian menteri di masa-masa mendatang. Alhasil yang dirugikan adalah masa depan siswa-siswi di Nusantara karena menjadi ajang uji coba dari kebijakan yang dilahirkan pemerintah.
Partha menyampaikan pertimbangan itu menyikapi rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang akan menghapus mata pelajaran bahasa Inggris pada kurikulum pendidikan sekolah dasar (SD) mulai tahun pelajaran 2013/2014.
Legislator dari PDIP ini mengharapkan Kemendikbud sebelum memutuskan untuk mengubah kurikulum, haruslah dilakukan kajian dan penelitian yang mendalam sehingga hasilnya ketika terjadi perubahan kurikulum bisa diterapkan di masyarakat.
"Untuk mengubah kurikulum mata pelajaran perlu kajian mendalam, sehingga bisa diterapkan dalam jangka panjang. Artinya ketika berganti menteri, biar tidak kebijakan tersebut juga berubah," ujar politisi asal Kabupaten Gianyar, Bali, itu.
Pendapat yang sama juga dilontarkan Ketua Dewan Pendidikan Kota Denpasar Dr Putu Rumawan Salain. Ia meminta Kemendikbud meninjau kembali rencana penghapusan pelajaran bahasa Inggris pada kurikulum Sekolah Dasar.
"Pemikiran mundur jika pelajaran bahasa Inggris jadi dihapus di tengah era persaingan global saat ini," ucap Rumawan.
Partha dan Rumawan, sama-sama memandang rencana pemerintah menghapus bahasa Inggris pada kurikulum SD sebagai suatu langkah kemunduran.
Menurut Partha, pelajaran bahasa Inggris sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebab petunjuk dalam berbagai peralatan teknologi informasi tersebut mayoritas menggunakan bahasa Inggris.
"Ini jelas anggapan keliru, sebab tanpa belajar bahasa Inggris sama dengan buta huruf. Alasannya hampir semua teknologi seperti komputer atau laptop perintah menunya berbahasa Inggris," ujarnya.
Oleh karena itu, baginya tidak tepat pelajaran bahasa Inggris dihapus. Malahan harus diajarkan sejak dini, tetapi dengan pola sederhana sesuai dengan usia yang mendapatkan pelajaran tersebut.
Dicontohkannya kalau anak TK cukup dengan gambar, namun tingkat SD dipadukan antara gambar dengan tulisan ringan.
Karakter Bangsa
Sebelumnya Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim mengatakan mata pelajaran bahasa Inggris ditiadakan untuk siswa SD karena untuk memberi waktu kepada para siswa dalam memperkuat kemampuan bahasa Indonesia sebelum mempelajari bahasa asing.
Menurut Musliar, rencananya di SD tidak ada pendidikan bahasa Inggris karena bahasa Indonesia saja belum mengerti. "Sekarang ada anak TK saja les bahasa Inggris. Kalau bahasa kasarnya, itu haram hukumnya. Kasihan anak-anak," kata Musliar beberapa waktu lalu di Jakarta.
Ia menegaskan bahwa aturan ini harus diikuti oleh semua sekolah. Namun, jika ada sekolah yang menjadikan mata pelajaran bahasa Inggris sebagai mata pelajaran tambahan, itu merupakan persoalan lain dan akan dipertimbangkan lagi.
"Sekolah harus ikuti ini kalau dijadikan tambahan itu persoalan lain. Akan tetapi, untuk sekolah negeri, jelas tidak boleh," ujar Musliar.
Sementara itu Ketua Dewan Pendidikan Kota Denpasar Rumawan Salain mengatakan kalau pelajaran bahasa Inggris dipandang menjadi beban bagi murid SD, semestinya bisa diatur pemberian pelajarannya dipindah ke kelas yang lebih tinggi. Misalnya mulai diberikan sejak kelas IV SD.
Menurut akademisi dari Universitas Udayana ini, bukan berarti dengan siswa menguasai bahasa Inggris mereka akan kehilangan karakter ke-Indonesiaannya.
"Apalagi di Bali yang menjadi jendelanya pariwisata dunia, sudah menjadi keharusan masyarakat di sini sejak dini mahir berbahasa asing, khususnya bahasa Inggris," katanya.
Sarannya, pelajaran bahasa Inggris, dapat dimasukkan menjadi muatan lokal atau ekstrakurikuler. Intinya tidak tepat kalau dihapus sama sekali.
Rumawan setuju adanya perubahan kurikulum dan memang harus dievaluasi secara berkala. Tetapi, harapannya pemerintah jangan main potong atau hapus pelajaran yang sudah ada.
"Kurikulum yang baik adalah yang dapat membawa siswa siap menghadapi cepatnya perubahan, namun tak mengesampingkan nilai-nilai kearifan lokal dan ketakwaan," ujarnya.
Ia mengingatkan siswa jangan diposisikan sebagai objek yang harus mendapatkan nilai begini dan begitu. Menurutnya pendidikan yang baik adalah yang mampu menjawab tantangan zaman.
Diharapkan pemerintah jangan "kebakaran jenggot" mengubah kurikulum secara drastis setelah beberapa waktu terakhir marak terjadi tawuran pelajar karena dipandang kurangnya waktu untuk menanamkan pendidikan karakter.
"Jika pada daerah seperti Bali yang sudah siap, namun pelajaran bahasa Inggrisnya malah dihapus, sama artinya memundurkan daya saing generasi muda kita," ucapnya.
Untuk daerah-daerah terpencil yang belum memiliki guru bahasa Inggris itu yang seharusnya dilengkapi tenaga guru maupun sarana prasarananya bukan malah dengan menghapus sama rata di seluruh penjuru Nusantara.
Rumawan lebih setuju kalau ingin memantapkan karakter siswa sejak dini, nilai-nilai karakter yang baik diselipkan dalam berbagai mata pelajaran yang ada.
"Rencana mewajibkan adanya pendidikan Pramuka dari SD hingga SMA, saya nilai sebagai langkah positif dari pemerintah. Di Pramuka ada nilai-nilai kedisiplinan, gotong royong, hidup sederhana dan menghormati sesama yang sangat baik untuk pembentukan karakter peserta didik," katanya.
Di sisi lain Nyoman Partha sependapat kebijakan pemerintah pasti arahnya menuju lebih baik dalam penerapan pendidikan.
"Tetapi jangan beralasan menurunnya moral dan karakter bangsa gara-gara para siswa belajar bahasa asing khususnya bahasa Inggris," ujar Partha.
Seperti diketahui, kurikulum untuk siswa SD akan dipadatkan hanya enam mata pelajaran, yaitu Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Seni Budaya, dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan.(LHS)