Hakim Pengadilan Negeri Denpasar, Kamis (19/1) memvonis matan ketua Lembaga Pengkreditan Desa (LPD) Desa Adat Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali Ngurah Sumaryana (62) dengan pidana penjara selama tujuh tahun.
Putusan hakim tersebut lebih ringan dibandingkan tuntutan primair Jaksa Penuntut Umum yang menuntut terdakwa dipenjara selama 14 tahun sebagaimana terungkap dalam surat dakwaan JPU dengan agenda sidang pembacaan tuntutan beberapa waktu lalu.
Dalam tuntutannya beberapa waktu lalu, Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa Ngurah Sumaryana dengan pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 64 ayat (1) KHUP.
Namun, hakim yang memutuskan perkara dengan terdakwa Ngurah Sumaryana tidak sependapat dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dimana pasal yang digunakan oleh hakim adalah pasal 3 Undang-Undang Tipikor Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 64 ayat (1) KHUP.
Baca juga: Terdakwa korupsi dana KUR Bank BUMN Badung-Bali divonis 6 tahun
Baca juga: Terdakwa korupsi dana KUR Bank BUMN Badung-Bali divonis 6 tahun
Dalam amar putusannya, Hakim Ketua Koni Hartanto memutuskan terdakwa Ngurah Sumaryana terbukti secara sah dan meyakinkan dengan kewenangannya melakukan tindak pidana korupsi dengan tujuan menguntungkan diri sendiri pada pengelolaan dana desa adat Ungasan, Kuta Selatan, Kabupaten Badung periode tahun 2013-2017 dengan kerugian negara mencapai Rp6,8 miliar.
Selain menjatuhkan pidana penjara selama tujuh tahun, hakim juga membebankan terdakwa Ngurah Sumaryana membayar denda Rp200 juta dengan catatan jika terdakwa tidak mampu membayar denda diganti dengan pidana penjara selama tiga bulan.
Hakim juga membebaskan terdakwa Ngurah Sumaryana dari kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp26 miliar sebagaimana tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Hal-hal meringankan terdakwa adalah tidak berbelit-belit dalam memberikan keterangan selama persidangan dan belum pernah melakukan tindakan korupsi.
Atas putusan majelis hakim, Jaksa Penuntut Umum menyatakan masih pikir-pikir. Begitu pula penasehat hukum terdakwa Ngurah Sumaryana menyatakan pikir-pikir.
Baca juga: PN Denpasar tolak praperadilan SP3 anggota DPD Arya Wedakarna
Baca juga: PN Denpasar tolak praperadilan SP3 anggota DPD Arya Wedakarna
Ngurah Sumaryana sendiri diadili karena menggunakan uang LPD Desa Adat Ungasan, Kuta Selatan, Badung untuk kepentingannya sendiri.
Modus yang digunakan oleh terdakwa adalah dengan memberikan kredit fiktif dimana nasabah yang mengkredit uang di LPD Desa Ungasan bukan merupakan Krama atau warga desa setempat.
Selain itu, Ngurah Sumaryana juga melakukan pemecahan nilai kredit kepada nasabah untuk menghindari pemberian kredit melebihi Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).
Setelah ditelusuri oleh penyidik Subdit III Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Bali ditemukan bahwa Ngurah Sumaryana juga menggunakan uang tersebut untuk pembayaran investasi tanah di Desa Mertak, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah.
Dalam laporan penggunaan dana tersebut yang bersangkutan melaporkan sudah membayar lunas, namun dalam kenyataannya tidak membayar lunas kepada penjual.
Selain itu, Ngurah Sumaryana juga melaporkan pengeluaran dana yang tidak sesuai dengan fisik dan harga perolehan atas investasi. Dia melaporkan pengeluaran yang lebih kecil dibandingkan yang dikeluarkan oleh LPD, membeli aset perumahan secara global, namun dalam laporannya dibelikan secara satuan sehingga menyebabkan nilai pembelian lebih besar dari nilai aset.
Perbuatannya tersebut berhasil diungkap oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Bali pada 24 Desember 2021.