Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali menyatakan banding terhadap putusan Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar terhadap mantan Ketua Lembaga Pengkreditan Desa (LPD) Desa Adat Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali Ngurah Sumaryana.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Bali A Luga Harlianto mengatakan pihak telah mengajukan banding terhadap putusan Majelis Hakim yang memvonis mantan Ketua LPD Ungasan dengan pidana penjara tujuh tahun.
"Iya, Kejati Bali menyatakan melakukan banding terhadap putusan majelis hakim," kata Luga saat dikonfirmasi melalui sambungan media penyampaian pesan WhatsApp di Denpasar, Senin.
Terhadap alasan pernyataan banding tersebut, Luga mengaku belum dapat memberikan keterangan karena merupakan kewenangan dari Jaksa Penuntut Umum yang akan disampaikan pada saat persidangan di pengadilan.
"Untuk menyatakan banding nanti di memori banding akan disampaikan karena baru pengajuan pernyataan banding," kata Luga
Sebelumnya pada Kamis 19 Januari 2023, Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar, yang diketuai Kony Hartanto mendakwa mantan Ketua Lembaga Pengkreditan Desa (LPD) Desa Adat Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali, Ngurah Sumaryana selama tujuh tahun penjara.
Putusan tersebut lebih ringan dari tuntutan primair Jaksa Penuntut Umum yang menuntut terdakwa dipenjara selama 14 tahun sebagaimana terungkap dalam surat dakwaan JPU dalam agenda sidang pembacaan tuntutan beberapa waktu lalu sebelumnya.
Dalam tuntutannya beberapa waktu lalu, Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa Ngurah Sumaryana dengan pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Namun, hakim dalam surat dakwaannya memutuskan tidak sependapat dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dimana pasal yang digunakan oleh hakim adalah pasal 3 Undang-Undang Tipikor Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 64 ayat (1) KHUP sebagaimana terdapat dalam dakwaan subsider JPU.
Dalam amar putusannya, Hakim Ketua Kony Hartanto memutuskan terdakwa Ngurah Sumaryana terbukti secara sah dan meyakinkan dengan kewenangannya melakukan tindak pidana korupsi dengan tujuan menguntungkan diri sendiri pada pengelolaan dana desa adat Ungasan, Kuta Selatan, Kabupaten Badung periode tahun 2013-2017 dengan kerugian negara mencapai Rp6,8 miliar.
Selain pengurangan terhadap lamanya masa kurungan dari terdakwa Ngurah Sumaryana, hakim juga membebaskannya dari kewajiban untuk membayar uang pengganti senilai Rp26.872.526.963.
Hakim hanya membebankan terdakwa Ngurah Sumaryana untuk membayar denda sebesar Rp200 juta dengan catatan jika terdakwa tidak mampu membayar denda diganti dengan pidana penjara selama tiga bulan.
Menurut hakim, hal-hal yang meringankan terdakwa adalah tidak berbelit-belit dalam memberikan keterangan selama persidangan dan belum pernah melakukan tindakan korupsi. Selain itu, dalam pembuktian selama persidangan, terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang terdapat dalam tuntutan primair Jaksa Penuntut Umum.
Ngurah Sumaryana sendiri diadili karena menggunakan uang LPD Desa Adat Ungasan, Kuta Selatan, Badung untuk kepentingannya sendiri.
Menurut keterangan penyidik, modus yang digunakan oleh terdakwa adalah dengan memberikan kredit fiktif dimana nasabah yang mengkredit uang di LPD Desa Ungasan, Badung bukan merupakan Krama atau warga desa setempat.
Selain itu, Ngurah Sumaryana juga melakukan pemecahan nilai kredit kepada nasabah untuk menghindari pemberian kredit melebihi Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).
Setelah ditelusuri, penyidik Subdit III Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Bali menemukan bahwa Ngurah Sumaryana juga menggunakan uang tersebut untuk pembayaran investasi tanah di Desa Mertak, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah.
Dalam laporan penggunaan dana tersebut Ngurah Sumaryana melaporkan bahwa dia telah membayar lunas, namun dalam kenyataannya tidak membayar lunas kepada penjual.
Selain itu, Ngurah Sumaryana juga melaporkan pengeluaran dana yang tidak sesuai dengan fisik dan harga perolehan atas investasi alias fiktif. Dia melaporkan pengeluaran yang lebih kecil dibandingkan yang dikeluarkan oleh LPD, membeli aset perumahan secara global, namun dalam laporannya dibelikan secara satuan sehingga menyebabkan nilai pembelian lebih besar dari nilai aset.