Badung, Bali (ANTARA) - Lebih dari dua tahun sejak pandemi COVID-19 dimulai, dunia telah sangat berubah. Demikian pula halnya dengan peluang untuk pemulihan sosial, infrastruktur, dan ekonomi yang terdampak pandemi.
Dampak itu diperparah oleh terjadinya bencana alam, konflik, dan krisis lain di berbagai belahan dunia.
Bencana-bencana, seperti pandemi COVID-19, telah melemahkan pencapaian pembangunan dan menghambat upaya untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Baca juga: Pemerintah ajak delegasi GPDRR tanam 10 juta pohon di Sanur untuk kurangi risiko bencana
Badan PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR) menilai bahwa risiko bencana telah meningkat di seluruh dunia yang menghadapi ancaman risiko bencana tidak biasa.
"Kita menghadapi bahaya yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang terakumulasi lebih dari akumulasi bahaya yang sudah kita hadapi di masa lalu," kata Direktur UNDRR Ricardo Mena dalam wawancara khusus dengan ANTARA pada Senin (23/5).
"Pandemi COVID-19 adalah contoh jelas dari apa yang saya maksud (dengan risiko bencana yang meningkat) dan juga kondisi darurat yang mengubah cakupan risiko bencana," ujarnya.
Melihat kondisi tersebut, Mena menekankan pentingnya bagi negara-negara di dunia untuk terus bekerja sama dalam upaya memitigasi bencana dan mengurangi risikonya.
Lebih penting lagi, kata dia, semua negara harus terlibat dalam upaya global untuk mengurangi risiko bencana.
"Saya pikir ini adalah upaya global karena bencana tidak memiliki batas (bisa terjadi di mana saja). Para pemerintah perlu bekerja sama erat dengan semua pemangku kepentingan karena tidak ada seorang pun yang sendirian dapat mengatasi tantangan risiko bencana di depan kita," kata Mena.
Baca juga: Pejabat tinggi PBB ikuti simulasi kesiapsiagaan tsunami siswa SD Bali
"Jadi kita membutuhkan pendekatan bersama antarpemerintah dan antarpara pemangku kepentingan utama dan masyarakat, serta sektor swasta dan akademisi ... semua pihak perlu berperan dalam pengurangan risiko bencana," katanya menambahkan.
Demi upaya bersama itulah Platform Global untuk Pengurangan Risiko Bencana (GPDRR) dibentuk. Platform tersebut merupakan forum internasional untuk mendiskusikan Kerangka Kerja Sendai untuk pengurangan risiko bencana (Sendai Framework 2015-2030).
Sendai Framework, yang telah disepakati oleh 187 negara itu, bertujuan untuk menjadi acuan kerja global dalam mengurangi berbagai risiko bencana di seluruh dunia di masa depan.
Dari risiko ke ketahanan bencana
Ricardo Mena juga menyebutkan bahwa Sesi ke-7 GPDRR yang diselenggarakan di Bali pada tahun ini membawa pesan yang mengajak dunia untuk bergerak maju dari risiko ke ketahanan bencana.
"Di sinilah GPDRR sebagai platform global mencoba membawa pesan kepada negara-negara di dunia untuk bergerak maju dari risiko ke ketahanan bencana," ujar Mena.
"Jika kita terus berada di jalur yang kita jalani sekarang ini, kita tidak akan dapat mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dan untuk itu, kita harus bergerak untuk membuat beberapa pendekatan preventif yang memindahkan kondisi kita dari risiko ke ketahanan," lanjutnya.
Baca juga: ANTARA pamerkan foto tsunami, Merapi, dan pengelolaan bencana di GPDRR 2022
Dia mengatakan ada beberapa upaya yang perlu dilakukan bersama oleh negara-negara untuk mencapai hal itu.
"Hal pertama yang perlu dilakukan adalah memahami jenis risiko bencana yang dihadapi. Ini adalah titik kunci awal yang penting," ujar Mena.
"Jika Anda tidak tahu seperti apa cakupan risiko bencana (di wilayah) Anda, maka akan sangat sulit bagi Anda untuk menetapkan beberapa prioritas (langkah pengurangan risiko bencana)," lanjutnya.
Untuk itu, dia mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk mengevaluasi risiko bencana di wilayahnya. Mereka dapat mengembangkan inisiatif dan langkah untuk mengidentifikasi hal-hal yang perlu diperkuat guna membangun ketangguhan terhadap bencana.
Mena menambahkan bahwa langkah membangun ketahanan dan pengurangan risiko bencana perlu juga memperhitungkan langkah adaptasi terhadap perubahan iklim.
"Kita telah melihat dalam satu dekade terakhir, jumlah bencana yang berdampak tinggi terkait dengan fenomena hidrometeorologi dan banyak di antaranya diperparah oleh perubahan iklim," katanya.
"Jadi kita perlu lebih menekankan pada adaptasi perubahan iklim dan keterkaitannya dengan pengurangan risiko bencana," ujarnya.
Selain mengetahui risiko yang ada, kata Mena, hal yang perlu dilakukan untuk membangun ketahanan terhadap bencana adalah dengan meningkatkan investasi dalam upaya pengurangan risiko bencana.
"Jadi kita membutuhkan lebih banyak dana yang dialokasikan untuk upaya tersebut. Kita juga perlu memastikan bahwa komitmen pemerintah meningkatkan pendanaan untuk adaptasi iklim benar-benar terwujud, sehingga negara-negara dapat berinvestasi lebih banyak untuk mengurangi risiko bencana terkait perubahan iklim," kata Mena.
Salah satu investasi nyata dalam upaya pengurangan risiko bencana adalah pembiayaan tambahan untuk memastikan bahwa semua langkah dapat dilakukan.
"Itu bukan berarti harus ada lebih banyak sumber daya, tetapi juga tentang cara Anda menggunakan setiap sumber daya yang dimiliki untuk memastikan bahwa elemen ketahanan dimasukkan ke dalam penggunaan sumber daya tersebut," jelasnya.
Misalnya, negara-negara perlu lebih meningkatkan pemeliharaan semua infrastruktur yang dibangun sesuai dengan standar dasar untuk ketahanan.
"Kita telah melihat banyak sekolah, rumah sakit, bandara, dan infrastruktur yang hancur total karena bencana dan ini disebabkan norma, standar, dan pembiayaan infrastruktur yang perlu ditinjau kembali. Jadi kita benar-benar perlu bergerak ke arah pencegahan, dan hal itu mendesak untuk dilakukan," kata dia.
Baca juga: Menko PMK: Kolaborasi antarpihak wujudkan ketangguhan hadapi bencana
Hal yang tidak kalah penting dalam membangun ketahanan terhadap bencana, kata Mena, adalah partisipasi masyarakat sipil dan pemerintah daerah.
"Pemda harus melakukan semua konsultasi (ketahanan bencana) ini dengan masyarakat, khususnya mereka yang paling terkena dampak bencana," ujarnya.
"Jadi ini adalah elemen penting lainnya. Ini harus melibatkan seluruh masyarakat dan diperlukan tata kelola risiko yang lebih baik di tingkat lokal maupun nasional yang berfokus pada pencegahan," tambahnya.
Dunia lebih tangguh
Sesi ke-7 GPDRR tahun ini diselenggarakan bersamaan dengan World Reconstruction Conference (WRC) ke-5, yang menurut UNDP, bertujuan menciptakan momentum untuk membangun dunia yang lebih cepat pulih dari krisis dan lebih tangguh.
Pasalnya, banyak negara terbukti mampu mengendalikan pandemi dan keluar dari krisis sehingga keberhasilan itu dapat menjadi inspirasi bagi negara-negara lain untuk memperkuat ketangguhan di wilayahnya masing-masing, kata Direktur Biro Krisis Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) Asako Okai saat membuka WRC ke-5 di Bali, Senin.
"Bagi UNDP, pertemuan ini jadi masukan penting untuk komitmen kami membangun dunia yang tangguh," ujar Okai.
Menurut dia, pemulihan pascabencana, termasuk pandemi COVID-19, dapat menjadi kesempatan untuk menata ulang pembangunan dan membangun ketangguhan dunia.
"Pemulihan pascabencana adalah kesempatan untuk menata ulang jalan pembangunan agar lebih berwawasan lingkungan dan lebih tangguh," ujar Okai, yang juga Asisten Sekretaris Jenderal PBB.
Baca juga: PBB dorong banyak negara laporkan sistem peringatan dini bencananya
Ia juga menyampaikan bahwa tugas selanjutnya bagi negara-negara peserta WRC di antaranya adalah menyatukan ragam pengalaman dan kebijakan masing-masing menjadi aksi global yang konkret.
"Pendekatan pemulihan bersama yang lebih hijau, lebih tangguh, dan inklusif akan membantu memperbaiki kerusakan struktural yang disebabkan oleh COVID-19. Hal itu juga akan mempercepat upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sambil memulihkan momentum untuk pengurangan kemiskinan dan kemakmuran bersama," ucapnya.