Denpasar (ANTARA) - Bulan Desember bisa saja dianggap sebagai bulan mantan Ketua Umum PBNU dan mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), karena tokoh demokrasi itu wafat pada 30 Desember 2009 atau 12 tahun silam.
Meski sudah belasan tahun, namun ketokohannya tetap menjadi rujukan, bahkan Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) yang diadakan di Lampung pada bulan Desember (21-24 Desember 2021) pun mengait dengan namanya, karena para calon Ketua Umum PBNU memiliki kedekatan dengannya.
Gaung sosok Gus Dur di Bulan Desember dan di Muktamar ke-34 NU itu agaknya terkait dengan peran strategis NU dalam menjaga negeri ini dari perpecahan, yang peran strategis NU itu mengemuka berkat wacana yang disuarakan cucu pendiri NU KH Hasyim Asy'ari itu.
"Apapun alasannya, Indonesia nggak boleh pecah, termasuk pecah karena alasan agama," kata mantan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagaimana dikutip 'santri' Prof KH Imam Ghozali Said dalam dialog podcast arrahim.id (18/12/2021).
Untuk menghindari perpecahan Indonesia yang disebabkan agama, Gus Dur menyebutkan Islam harus diperjuangkan dalam konteks substansi, sebab bila Islam diperjuangkan secara formal hukum/teknis atau formalisasi Islam, maka akan bermasalah terus dengan penganut agama lain, mengingat kondisi bangsa ini sangat majemuk dalam suku, agama, ras, dan antar-golongan, sehingga mudah mengundang perpecahan, padahal perpecahan itu membuat ibadah pun menjadi sulit.
"Jangan memperjuangkan formalisasi hukum Islam, formalisasi hukum Islam itu hanya untuk penganut Islam, jadikan Islam itu sebagai ruh atau substansi. Sekulerisasi jangan dibiarkan, tapi Islam juga jangan membuat orang menjadi terancam dan membuat orang lain takut, ajarkan Islam dengan pendekatan kultural, bukan dari pendekatan atas atau formal, jadikan Islam bisa diterima kelompok lain," kata Gus Dur.
Entah kebetulan atau tidak, sosok yang meramaikan bursa Calon Ketua Umum PBNU 2021-2026 dalam Muktamar Ke-34 NU di Lampung itu mirip ajang kompetisi dari murid-murid Gus Dur sendiri yakni Gus Yahya Cholil Staquf, Said Aqil Sirodj, dan As'ad Ali, meski nama terakhir disebut sebagai "calon alternatif" bila kompetisi Gus Yahya dan Said Aqil menemui jalan buntu.
1. Yahya Cholil Staquf
Yahya Cholil Staquf yang akrab disapa Gus Yahya (lahir di Rembang pada 16 Februari 1966) itu dikenal sebagai kiai/ulama dan tokoh NU yang menjabat sebagai Katib Aam PBNU serta kini menjabat Watimpres Joko Widodo.
Gus Yahya adalah saudara dari Menteri Agama KH. Yaqut Cholil Qoumas. Gus Yahya merupakan putra dari KH. Muhammad Cholil Bisri, salah satu pendiri PKB dan pengasuh pondok pesantren Roudlotut Tholibien, Leteh, Rembang, Jawa Tengah.
Kamus/buku daring "Wikipedia" mencatat Gus Yahya pernah menimba ilmu di pesantren asuhan KH. Ali Maksum di Madrasah Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta. Pada jenjang pendidikan tinggi, ia tercatat pernah menempuh pendidikan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada.
Pada saat menjadi mahasiswa, ia juga aktif dalam Organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta, lalu sejak 2015 hingga kini menjadi Sekretaris Umum/Katib Syuriah PBNU.
Kedekatannya dengan Gus Dur adalah Gus Yahya pernah menjadi juru bicara Presiden Gus Dur dan pada era Presiden Jokowi menjadi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di Istana Negara, Jakarta sejak 31 Mei 2018 hingga kini.
Gus Yahya memiliki jaringan internasional sejak tahun 2014 dengan menjadi salah satu inisiator/pendiri institut keagamaan di California, Amerika Serikat yaitu Bayt Ar-Rahmah Li ad-Da’wa Al-Islamiyah rahmatan Li Al-alamin yang mengkaji agama Islam untuk perdamaian dan rahmat alam.
Tidak hanya itu, Gus Yahya juga pernah dipercaya menjadi tenaga ahli perumus kebijakan pada Dewan Eksekutif Agama-Agama di Amerika Serikat-Indonesia yang didirikan berdasarkan perjanjian bilateral yang ditandatangani oleh Presiden Obama dan Presiden Jokowi pada Oktober 2015 untuk menjalin kemitraan strategis Amerika Serikat-Indonesia.
Gus Yahya juga pernah didaulat sebagai utusan GP Ansor dan PKB untuk jaringan politik tersebar di Eropa dan Dunia, Centrist Democrat International (CD) dan European People’s Party (EPP).
American Jewish Committee (AJC) pernah mengundangnya berpidato tentang resolusi konflik keagamaan di sana dan menawarkan gagasan bernas. Gus Yahya pun sering didaulat menjadi pembicara internasional di luar negeri.
Pada Juni 2018, Gus Yahya menjadi pembicara dalam forum American Jewish Committee (AJC) di Israel. Dalam forum ini, Gus Yahya menyuarakan menyerukan konsep rahmat, sebagai solusi bagi konflik dunia, termasuk konflik yang disebabkan agama. Ia menawarkan perdamaian dunia melalui jalur-jalur penguatan pemahaman agama yang damai.
Pada 15 Juli 2021, Gus Yahya mendapatkan apresiasi tinggi dari tokoh-tokoh perdamaian dunia dalam perhelatan International Religious Freedom (IRF) Summit, di Washington, DC, Amerika Serikat. Dalam kesempatan itu, Gus Yahya menyampaikan pidato kunci dengan judul "The Rising Tide of Religious Nationalism" (Pasang Naik Nasionalisme Religius).
Pada hari ketiga konferensi tingkat tinggi (KTT) itu, Gus Yahya mendapat apresiasi dari tokoh-tokoh dunia. Gus Yahya menjelaskan bahwa dinamika bangkitnya nasionalisme religius merupakan bagian metode untuk pertahanan ketika suatu kelompok agama yang biasanya merupakan mayoritas di negaranya merasa terancam secara budaya.
"Kebangkitan ini pun tidak terelakkan, karena dunia sedang bergulat dalam persaingan antar-nilai untuk menentukan corak peradaban di masa depan. Selain itu, dinamika internasional telah mengarah pada perwujudan satu peradaban global yang tunggal dan saling berbaur (single interfused global civilization)," katanya.
Pihaknya mempertegas bahwa persaingan yang sengit ini berpotensi besar memicu permusuhan dan kekerasan. Gus Yahya menawarkan strategi dan model perdamaian dunia sebagaimana yang selama ini telah dipraktikkan warga Nahdlatul Ulama atau NU.
"Langkah awal harus mengidentifikasi nilai-nilai yang menjadi kesepakatan bersama, antara lain kejujuran, kasih-sayang dan keadilan. Berikutnya, dunia harus membangun konsensus atas nilai-nilai yang disepakati pihak yang berbeda-beda itu untuk hidup berdampingan secara damai. Bahkan nilai-nilai tradisional yang menghambat koeksistensi damai pun layak untuk diubah. NU tidak memiliki kategori kafir dalam konteks negara bangsa modern," katanya.
Baca juga: "Satu Abad" NU dalam pusaran "jamaah digital"
2. Said Aqil Siradj
Ketokohan ulama/kiai kelahiran Cirebon pada 3 Juli 1953 (68) itu semakin menguat setelah ia menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) selama dua periode.
Keilmuannya pun tak diragukan. Tak hanya soal agama, Said Aqil Siroj juga sering terlibat dalam gerakan anti-diskriminasi dan berjuang bersama lintas agama. Tradisi yang selalu dijaga tokoh besar NU lainnya, seperti Gus Dur.
Pada usia 12 tahun, Wikipedia mencatat alumni Madrasah Tarbiyatul Mubtadi'ien, Kempek, Cirebon itu mondok di Hidayatul Mubtadi'en, Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Di sini, Said Aqil muda menjadi santri selama lima tahun.
Said Aqil juga meneruskan mengajinya di Pesantren Al-Munawar Krapyak, Yogyakarata, selama tiga tahun dan lulus pada usia 22 tahun. Pendidikannya berlanjut ke luar negeri yakni S1 di Fakultas Ushuluddin dan Dakwah di Universitas King Abdul Aziz, Arab Saudi. Dia berhasil lulus pada tahun 1982.
Tidak berhenti, Said Aqil pun meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi dengan menempuh S2 jurusan Perbandingan Agama dan S3 jurusan Aqidah dan Filsafat Islam di Universitas Umm al-Qura, Mekah, Arab Saudi, dan berhasil meraih doktor pada usia 41 tahun.
Sejak mahasiswa, Sadi Aqil terlibat aktif di organisasi Nahdlatul Ulama (NU), di antaranya adalah menjadi sekretaris PMII Rayon Krapyak, Yogyakarta, dan menjadi Ketua Keluarga Mahasiswa NU (KMNU) Mekah pada tahun 1983-1987.
Selain menjadi pengurus organisasi, ia juga mempunyai kegiatan lainnya, menjadi tim ahli bahasa Indonesia dalam surat kabar harian Al-Nadwah Mekkah di tahun 1991.
Sekembalinya dari Timur Tengah, Aqil Siroj makin aktif di tingkat nasional. Ia menjadi dosen di berbagai kampus di dalam negeri, di antaranya dosen di Institut Pendidikan Tinggi Ilmu Alquran (PTIIQ), Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta pada tahun 1995. Bahkan dua tahun kemudian ia menjadi Wakil Direktur Universitas Islam Malang.
Selain berkecimpung di dunia akademisi, dia juga terlibat dalam dunia gerakan lintas agama dan anti driskiminasi dengan menjadi Penasehat Gerakan Anti Diskriminasi Indonesia (Gandi) dan pada tahun yang sama, ia menjadi Wakil Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kerusuhan Mei 1998.
Namanya makin menasional saat dia dicalonkan sebagai ketua umum PB NU. Dia menggantikan ketua umum sebelumnya KH. Hayim Muzadi. Siroj berhasil menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk periode 2010-2015. Situs NU mencatat sukses itu membuatnya kembali dipercaya menjadi ketua umum PB NU 2015-2020.
3. As’ad Said Ali
Sosok mantan Kepala Badan Intelijen Negara (2001) yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Umum PBNU (2010-2015) itu dalam Muktamar Ke-34 NU di Lampung disebut sebagai "calon alternatif" bila kompetisi Gus Yahya dan Said Aqil menemui jalan buntu.
Wikipedia mencatat tokoh intelijen kelahiran Kudus, Jawa Tengah, Indonesia, 19 Desember 1949, itu merupakan alumnus Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta dan Alumni Hubungan Internasional UGM hingga akhirnya masuk ke BAKIN (saat ini BIN/Badan Intelejen Negara) pada tahun 1982-1999.
Pada 2001, ia menjabat Wakil Kepala BIN selama 9 tahun pada era Presiden Gus Dur, Presiden Megawati, dan Presiden SBY, lalu ia bertugas lama di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Yordan, Syuriah, Lebanon, Eropa dan Amerika serikat.
Di kalangan NU, alumni IPNU, PMII dan GP Ansor itu merupakan tokoh di balik lahirnya pola kaderisasi di level bawah NU dengan mendirikan Pendidikan Kader Penggerak Nadhlatul Ulama (PKPNU) dan sudah memiliki banyak alumni yang tersebar di seluruh negeri.
Kini, Wakil Ketua Umum PBNU 2010-2015 dan Doktor Honoris Causa dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, itu diberi kewenangan sebagai Penanggung jawab kaderisasi PBNU, serta mengepalai berbagai program perdamaian dunia seperti Afganistan, Cyprus dan lain-lain.
Jadi, siapapun Ketua Umum PBNU 2021-2026 agaknya tidak jauh dari sosok yang mengalami sentuhan pemikiran dengan tokoh NU yang hingga kini masih memiliki nama besar, namun kepemimpinan NU yang akan melintasi "Satu Abad" NU (2026) itu akan memasuki era yang lebih kompleks, karena jamaah NU kelak adalah jamaah digital.