Oleh I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - Minuman, sirup, es krim dan jenis makanan ringan lainnya dibuat dari bahan baku ubi jalar (ketela rambat) sudah merambah pasaran, termasuk pusat perbelanjaan di Kota Denpasar.
"Hasil industri skala rumah tangga itu cukup diminati konsumen, termasuk sudah dipasarkan ke hotel-hotel berbintang, sehingga sangat berpeluang untuk diproduksi secara besar-besaran," kata guru besar Universitas Udayana, Prof Dr Ir Dewa Ngurah Suprapta MSc yang melakukan penelitian dan pengkajian, bahan pangan nonberas tersebut.
Produksi ketiga jenis produk yang kini dalam uji coba merupakan hasil penelitian yang dilakukannya di lapangan maupun laboratorium selama lebih tujuh tahun.Hal itu dilakukan meniru cara orang Jepang memanfaatkan umbi-umbian sebagai makanan pavorit di negari Matahari Terbit, sehingga jenis tanaman berumbi dipelihara secara intensif petani di negara itu.
Dari segi kandungan protein umbian-umbian itu tidak kalah dengan beras maupun gandum, ujar Dewa Suprapta yang juga dosen terbang pada tiga universitas di Jepang.
Padahal negara itu tidak banyak memiliki jenis tanaman umbi-umbian, berbeda dengan Indonesia yang kaya akan tanaman berumbi, namun masyarakatnya kurang tertarik untuk mengkonsumsinya.
Umbi-umbian di Indonesia, khususnya kurang mendapat perhatian, karena komoditi itu dinilai sebagai makanan kelas rendahan yang dikaitkan dengan kemiskinan, padahal hasil penelitian menunjukan kandungan gizi yang sangat tinggi.
Di Bali sedikitnya terdapat 75 jenis tanaman umbi-umbian yang umumnya mengandung protein tinggi, yang secara tidak langsung menyembuhkan berbagai penyakit, antara lain kanker dan penyakit diabetis.
"Dalam umbi-umbian itu mengandung 'antiosiamnin' yang sangat baik bagi kesehatan yang tidak terdapat dalam beras atau gandum," ujar Dewa Suprapta yang juga Kepala Lab Biopestisida Fakultas Pertanian Unud itu.
Ketela rambat misalnya mengandung protein melebihi kentang yakni kalorinya 123 setiap 100 gram, sementara kentang hanya 83 per 100 gram. Sedangkan kandungan karbohidrat ubi jalar 27,9 dan kentang hanya 19,1.
Demikian pula kandungan kalsium ubi jalar mencapai 30, sementara kentang hanya 11 setiap 100 gramnya. Protein ketela rambat hampir sama dengan "suweg" dan sukun, yang belakangan jarang ditanam petani, padahal dulunya merupakan makanan ringan masyarakat.
Dewa Suprapta menjelaskan, tanaman umbu-umbian khususnya yang berwarna unggu memiliki keunggulan yang telah teruji dalam laboratorium.
Oleh sebab itu pemerintah agar mengajak dan menyarankan masyarakat untuk mulai kembali mengkonsumsi jenis umbi-umbian, sebagai usaha diversifikasi pangan mengurangi ketergantungan pada beras, sekaligus mewujudkan ketahanan pangan.
Dewa Suprapta yang memiliki 500 petani asuh tersebar di berbagai pelosok pedesaan di Bali berusaha terus mensosialisasikan hasil penelitian menyangkut tanaman umbi-umbian.
Masayrakat tani diharapkan kembali mengembangkan aneka tanaman umbi-umbian antara ketela rambat, ketela pohon, suweg dan jenis kacang-kacangan.
Pihaknya juga merintis pengolahan aneka umbi-umbian itu menjadi tepung untuk selanjutnya dibuat menjadi mie, roti, kue dan es krim.
Dengan cara mengkemas seperti itu diharapkan masyarakat tertarik untuk mengkonsumsinya, karena tersedia menu pilihan, selain makanan pokok beras.
Masyarakat luas juga diharapkan mendukung upaya pemerintah memasyarakatkan umbi-umbian dengan mengkonsumsinya, selain makanan pokok beras, harap Dewa Suprapta yang memiliki kebun khusus mengkoleksi berbagai jenis tanaman umbi-umbian.

Biaya Penelitian

Dewa Suprapta menjelaskan, penelitian mengenai umbi-umbian untuk konsumsi masyarakat yang dilakukan selama tujuh tahun itu menghabiskan dana sekitar Rp3,5 miliar.
Dana itu diperolehnya melalui kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan Fakultas Kedokteran Gajah Mada dan berbagai unsur lainnya.
Ketiga jenis makanan dan minuman yang meliputi sirup, minuman (wine) dan es kerim dengan menggunakan bahan baku ubi jalar siap diproduksi secara besar-besaran, dengan pabrik berlokasi di Kabupaten Karangasem, daerah ujung timur Pulau Bali.
Pihaknya sudah mengurus ketiga hasil penelitian itu untuk mendapatkan hak paten ke Kementerian Kehakiman dan HAM. Pengembangan berbagai jenis tanaman umbi-umbian diimbangi dengan upaya pengolahan akan mampu menghasilkan jenis makanan yang bergengsi.
Teknologi pengolahan menjadi makanan bergengsi itu tidak begitu rumit, dengan modal yang tidak begitu besar, hanya diperlukan ketekunan, keuletan serta mengutamakan faktor kebersihan dalam proses produksi.
Terobosan seperti itulah yang diperlukan untuk mengangkat dan memanfaatkan potensi lokal, yang akhir-akhir ini kurang diperhatikan petani akibat sulit pemasaran, ujar Dewa Suprapta.(*/M038/T007)
Bali Tiru Jepang Manfaatkan Umbi-Umbian
Minggu, 29 Juli 2012 11:03 WIB