"Masa pandemi ini sangat berpengaruh ya karena biasanya ada terapi dan kelas transisi, di dalamnya ada beberapa orang anak yang kita rancang dengan kelas tatap muka. Sekarang sejak COVID, semuanya dilakukan di rumah dengan terapisnya yaitu orang tua si anak yang sebelumnya sudah diberikan prosedur atau cara melakukan terapi," kata Nyoman Andika saat dihubungi di Denpasar, Bali, Senin.
Ia mengatakan bahwa orang tua yang berperan sebagai terapis ini juga diminta bisa menuntun anaknya. Selain itu, untuk menyiasati kondisi ini, Pusat Layanan Autis hanya menggelar kegiatan screening dan asesmen, untuk mengetahui perkembangan si anak selama melakukan terapi di rumah.
Baca juga: Pusat Layanan Autis Bali inginkan ada kesetaraan bagi anak autis
Baca juga: Pusat Layanan Autis Bali inginkan ada kesetaraan bagi anak autis
"Kita ada kegiatan screening atau asesmen itu kan harus datang diwawancara, untuk mengetahui perilaku anak itu sekarang gimana. Juga ada rutin secara daring program rumahan bagi para orang tua yang kita latih untuk melakukan terapi tersebut," katanya.
Terdapat beberapa jenis terapi yang rutin dilakukan sebelum masa pandemi, diantaranya terapi terpadu okupasi, fisioterapi, terapi bicara, terapi perilaku, sentra sensorik, dan terapi media air.
"Kalau memungkinkan kita mengejar ketertinggalan tumbuh kembangnya, tapi itu dilihat dari tingkatan gangguan, kemudian dari asesmen mengkategorikan dari ringan sedang dan berat. Kalau untuk kategori berat butuh asesmen mendalam dan tahu terapi mana yang dipilih, setiap anak berbeda-beda karakteristiknya," katanya.
Nyoman Andika menjelaskan bahwa terapi bagi anak dengan gangguan autisme tidak boleh terputus. "Di tempat terapi hanya memberikan stimulus awal saja selanjutnya terus dilakukan oleh orang tua atau pengasuh di rumah," ucapnya.
Secara keseluruhan jumlah anak didik di Pusat Layanan Autis ada sekitar 70 orang, dari beragam rentang usia. Selama pandemi, pendaftaran di PLA mengalami peningkatan, hingga melebihi 100 anak. Namun, layanan tidak bisa langsung diberikan sebelum mengetahui kondisi si anak. Kata dia, selain itu, kapasitas dan jumlah tenaga di PLA juga terbatas.
Ia berharap ke depannya situasi pandemi COVID-19 ini bisa segera mereda dan proses terapi bisa kembali normal berlangsung secara tatap muka.
"Harapannya semoga ke depan tidak ada lagi bullying terhadap anak-anak disabilitas dan gangguan autisme, serta memberikan ruang dan waktu sosial bagi mereka," jelasnya.
"Harapannya semoga ke depan tidak ada lagi bullying terhadap anak-anak disabilitas dan gangguan autisme, serta memberikan ruang dan waktu sosial bagi mereka," jelasnya.