Jakarta (Antaranews Bali) - Riset dan pengembangan obat herbal kedepannya akan menggunakan bahan baku biosintetis yang bisa diproduksi secara massal untuk mengurangi bahan baku yang langsung diambil dari hutan.
Peneliti senior dari Pusat Penelitian Rehabilitasi Medis Nasional Departemen Kesehatan dan Layanan Masyarakat Amerika Serikat Hameed Khan di Jakarta, Selasa, menegaskan penelitian dan pengembangan obat herbal tidak akan merusak hutan.
Dia menjelaskan jika ada suatu unsur pada satu tanaman atau pohon yang berpotensi dijadikan obat herbal, maka yang diambil adalahan susunan gennya.
"Kami tidak akan mengambil seluruh tanamannya, seluruh pohonnya, tapi kami akan membuatnya menjadi lebih banyak dengan biosintetis," jelas Khan.
Kepala Program Teknologi Biosimilar Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Chaidir mengatakan pendekatan penelitian dilakukan secara komprehensif.
Chaidir menjelaskan selama ini obat herbal dianggap kurang berkhasiat karena tidak berdasarkan pada bukti ilmiah. Oleh karena itu nantinya setiap tanaman yang memiliki unsur khasiat terhadap kesehatan akan dibudidayakan dengan terstandar.
Pembudidayaan tanaman herbal harus terstandar mulai dari pembibitan, penanaman, pascapanen, dan ekstrasinya harus sesuai yang telah ditetapkan untuk menjaga rantai mutu bahan baku obat.
Setelahnya untuk bahan baku yang berasal dari biosintetis akan menggunakan mikroba untuk memproduksi suatu unsur obat yang diinginkan.
Chaidir mengungkapkan untuk saat ini unsur bahan baku obat yang menjadi prioritas untuk dikembangkan adalah anti-inflamasi yang bisa dikembangkan untuk beberapa jenis penyakit seperti kanker, diabetes, dan asma. (WDY)