JAKARTA (ANTARA) - Nature in the best healer. Kata-kata bijak dari ahli kedokteran terkemuka Yunani, Hippocrates, itu memiliki relevansi dengan Hari Jamu Nasional karena melestarikan jamu berarti membangun ketersambungan dengan alam. Namun untuk menghadirkan jamu dalam layanan kesehatan formal masih terkendala banyak syarat, sementara kesadaran dan gaya hidup kembali ke alam telah meluas ke seluruh dunia.
Berbekal semangat menjaga eksistensi jamu di tanah air, dicetuskanlah Hari Jamu Nasional pada 27 Mei 2008 oleh Presiden (kala itu) Susilo Bambang Yudhoyono. Lima belas tahun kemudian, menyusul kabar baik dari Komite Konvensi Warisan Budaya Takbenda/WBTB (Intangible Cultural Heritage/ICH) UNESCO yang dalam sidangnya ke-18 di Kasane, Botswana, pada 6 Desember 2023 menetapkan budaya sehat jamu sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO.
UNESCO mencatat nilai budaya jamu sebagai salah satu sarana ekspresi budaya dan membangun koneksi antara manusia dengan semesta. Badan PBB yang bergerak di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan itu juga mengakui bahwa budaya sehat jamu mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, berkenaan dengan; Kesehatan dan Kesejahteraan, Produksi dan Konsumsi yang Bertanggungjawab, serta Kehidupan di Darat.
Budaya sehat jamu meliputi keterampilan tradisional dan nilai-nilai budaya yang terkait dengan obat-obatan alami tradisional yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan dan rempah-rempah serta metode pengobatan tradisional yang bertujuan untuk menjaga kesehatan dengan meningkatkan kekebalan tubuh. Budaya jamu diyakini telah ada sejak abad ke-8 Masehi, hal itu terbukti dari relief di Candi Borobudur dan manuskrip kuno seperti Kakawin Ramayana dan Serat Centini.
Atas dua pengakuan itu, keberadaan jamu pun kian naik pamor. Namun demikian, untuk menjadikan jamu sebagai obat formal dalam layanan kesehatan publik tidak serta-merta dapat diterapkan karena proses panjang saintifikasi jamu menjadi obat herbal terstandar (OHT) atau fitofarmaka, yang ditingkatkan dalam bentuk sediaan obat ke arah produk massal komersial.
Di bagian hulu ada persoalan bahwa 85 persen sumber tanaman obat merupakan tumbuhan liar dari alam sehingga berdampak pada mutu yang beragam, adulterasi, kepunahan, dan pasokan tidak berkelanjutan. Adapun pelaku produsen tanaman obat didominasi petani pengumpul bukan penanam.
Meniru nenek moyang
Seseorang tak perlu menunggu lama hingga jamu tersedia secara masif di toko-toko obat, diresepkan dokter, dan mengonsumsinya ketika sakit. Sebelum penyakit itu datang, kita pun bisa mengadangnya dengan meniru gaya hidup nenek moyang dalam menjaga kebugaran dan membangun keselarasan hidup bersama semesta.
Hidup sehat adalah tentang keseimbangan. Seimbang antara asupan nutrisi yang masuk ke tubuh dengan energi yang dikeluarkan, antara waktu bekerja dan istirahat, pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani atau fisik dan mental, serta seterusnya.
Ada orang yang mengalami sakit pada fisik tapi memiliki mental tangguh dan sikap optimisme tinggi sehingga mampu mengafirmasi diri untuk melawan penyakit dan menyembuhkan tubuhnya. Sementara, ada pula orang yang secara fisik sehat namun mentalnya lemah, miskin motivasi, dan hidup di pojok pesimisme sehingga tubuhnya tampak lunglai tak bergairah seolah berpenyakit berat.
Semboyan “Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat” sesungguhnya dapat berlaku dua arah karena jiwa yang tangguh akan mampu menegakkan raga dengan perkasa.
Berkacalah pada gaya hidup para nenek kita yang hidup sederhana membersamai semesta. Mereka bekerja di alam, makan minum dari apa yang disediakan alam dan diolah secara tradisional, begitupun dalam upaya menjaga kesehatan dengan memanfaatkan rempah-rempah termasuk akar dan dedaunan untuk meramu jamu. Segala yang bersifat alamiah tentu berterima baik oleh tubuh, maka raga pun menua tanpa banyak penyakit yang menyertai.
Membangun budaya sehat jamu bukanlah perkara sulit, sebab bukan sesuatu yang baru melainkan telah dicontohkan oleh leluhur nenek moyang terdahulu. Apa yang sulit dari sekadar meniru? Kita telah memiliki modal dasar berupa warisan budaya, kearifan lokal, pengetahuan dan ramuan tradisional, potensi tanaman obat (toga), dan sumberdaya hayati lain.
Untuk menjaga bahan baku jamu tersedia secara berkelanjutan dan lebih mudah dijangkau, masyarakat bisa melakukan pemuliaan tanaman obat di pekarangan rumah. Bila luas pekarangan kurang memadai, banyak juga lingkungan masyarakat yang membangun taman toga bersama pada level desa, RW, atau RT. Sejumlah jenis tanaman obat langka atau yang masih berada di alam liar, bisa dicari lalu dikoleksi untuk menjadikannya tetap tersedia dan lestari.
Selanjutnya pelajari berbagai resep ramuan jamu yang biasanya telah terwariskan secara turun-temurun dan tersedia juga dalam banyak sumber referensi baik manual maupun digital. Saat anda atau anggota keluarga membutuhkannya, jamu sehat mudah dibuat.
Jika tak ingin repot atau memang tidak memiliki waktu untuk meracik jamu sendiri, hingga kini pun penjaja jamu tradisional masih banyak kita jumpai berkeliling kampung atau di kompleks-kompleks perumahan. Bahkan di kota-kota besar apalagi di kota wisata, produk jamu telah naik kelas karena tersedia di kafe, kedai, dan toko swalayan yang dipajang bersama minuman ringan kemasan.
Sinyal tubuh
Sebelum penyakit datang menjangkiti, sejatinya tubuh telah memberi sinyal terlebih dulu mengisyaratkan bahwa dia tidak baik-baik saja. Maka dibutuhkan kepekaan pemilik raga untuk mengenali dan memahami tatkala anggota badan “berbicara” dengan memberi sinyal.
Berangkatlah dari sinyal yang paling mendasar. Semisal saat perut kosong dan membutuhkan asupan makanan, tubuh akan memberi sinyal lapar. Ketika seseorang berkegiatan hingga banyak mengeluarkan keringat, ia akan merasa kehausan karena tubuh butuh terhidrasi. Setelah seharian bekerja dan tiba waktu malam, akan datang rasa kantuk sebagai pertanda badan perlu diistirahatkan dengan tidur. Dan masih banyak sinyal lain yang perlu dimengerti dan dipenuhi keinginannya agar tubuh tidak meronta.
Jika sinyal-sinyal sederhana itu diabaikan, karena alasan kesibukan masyarakat urban sering terlambat makan, bekerja dalam ruangan berpendingin sehingga jarang minum, dan memaksakan diri bekerja hingga larut malam karena harus mengejar tenggat waktu, maka tinggal menunggu waktu timbulnya aneka penyakit.
Tubuh juga mengaduh ketika ada anggotanya tersakiti. Contoh, ketika seseorang terlalu lama duduk bersila sehingga kaki terlipat dan tertindih, dia akan merasa kesemutan, itu merupakan tanda ada aliran darah yang tersumbat. Di kala kaki atau tangan terbentur benda keras, akan meninggalkan bekas memar. Aktivitas olahraga tanpa pemanasan atau melakukan gerakan salah dapat menimbulkan cedera, dan begitu seterusnya. Tubuh akan selalu memberi “peringatan” ketika ada yang tidak beres, jadi jangan diabaikan.
Penyakit itu adalah pesan bahwa tubuhmu perlu perhatian. Tidak ada penyakit berat yang tiba-tiba hinggap kecuali Anda menabung kebiasaan buruk dalam menganiaya tubuh, dengan mengabaikan kebutuhan dan hak-haknya.
Tubuh adalah alam semesta mini yang dititipkan Tuhan untuk dirawat dengan sepenuh cinta. Cintai dirimu terlebih dahulu sebelum mencintai orang-orang di sekitarmu sebagai manifestasi kesyukuran kepada Tuhan yang menciptamu.
Adakalanya seseorang selalu berusaha berbuat baik terhadap orang lain, namun begitu kejam terhadap diri sendiri. Bahkan ada kalimat bijak yang diungkap doktor filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fahruddin Faiz dalam sebuah siniar: ”Kalau perlakuan kita terhadap diri kita, kita perlakukan juga terhadap orang lain, mungkin kita sudah masuk penjara”.
Ungkapan itu menggambarkan betapa kerasnya kita pada diri sendiri, selalu mengharuskan diri melakukan tugas dan pekerjaan tak berkesudahan serta tidak memenuhi hak-haknya kecuali hanya sedikit, akhirnya membuatnya jatuh sakit.
Bila telanjur sakit, jangan lagi menjejali tubuh dengan zat asing (obat kimia) yang hanya berfungsi meredakan keluhan sesaat namun menimbulkan efek buruk dalam jangka lama. Kembalilah ke alam sebagai penyedia obat terlengkap karena tidak ada satu pun penyakit kecuali alam telah menyediakan obatnya. Lantas, barengi dengan afirmasi positif terhadap tubuh agar ia mampu mengeluarkan kekuatan untuk menyembuhkan diri. Memelihara suasana hati tetap gembira, memiliki kehidupan spiritual dan sosial yang sehat, juga berkontribusi besar pada terjaganya kesehatan tubuh.
Bangsa yang kuat terbangun dari masyarakat yang sehat, bukan dari rakyat yang terpaksa membelanjakan triliunan rupiah untuk membeli obat.