Denpasar (Antaranews Bali) - Jangan dikira, negara komunis itu mengharamkan orang untuk beragama, melainkan negara komunis merupakan negara yang "membebaskan" agama, apakah mau beragama atau tidak.
Menjadi pengalaman tersendiri bagi penulis saat mengikuti kunjungan media dari Bali ke Tiongkok pada 2-11 Mei 2018, untuk menyaksikan orang-orang beribadah di negara komunis.
Awalnya, penulis berusaha shalat secara sembunyi-sembunyi saat pertama kali datang ke Kota Ziamen, Provinsi Fujian, Tiongkok, yakni disela-sela makan pagi (sarapan) di sebuah restoran. Alasannya, takut.
Namun, ketika penulis shalat di pojok restoran justru ketahuan seorang petugas restoran yang akhirnya membuat pihak restoran menghubungi petugas pendamping delegasi media ke Tiongkok, justru karena berniat memberikan fasilitas yang lebih baik.
"Untuk teman-teman yang akan menjalankan sholat mohon memberitahu kami ya untuk kami sampaikan agar disiapkan tempat khusus," kata mantan Ketua Pusat Studi Indonesia di Universitas Guangdong, Prof Cai Jincheng MA.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa kehidupan beragama di "negara komunis" Tiongkok itu tetap boleh berkembang, tapi kegiatan keagamaan itu tidak boleh di ruang publik.
Kendati tidak boleh beragama/beribadah secara mencolok di ruang publik, namun toleransi juga tetap ada yakni pihak lain bisa menyediakan tempat atau ruang khusus melalui komunikasi dengan pengelola ruang publik itu (instansi/institusi).
Prof Gunawan --nama Indonesia dari Prof Cai Jincheng-- menegaskan bahwa komunis itu lebih merupakan sistem politik yang tidak berdampak langsung pada masyarakat.
"Itu karena masyarakat tidak mementingkan sistem politik, melainkan mementingkan ada-tidaknya jaminan kesejahteraan dalam sistem itu," ungkapnya.
Ahli bahasa dan budaya Indonesia yang datang pertama kali ke Indonesia pada 1997 dan terakhir kali datang ke Indonesia (Bali) pada 2014 itu menyatakan komunis itu dapat dimaknai sebagai bebas.
"Bebas itu bebas beragama maupun tidak. Artinya, agama tetap boleh berkembang," kata generasi pertama `guru besar` Bahasa Indonesia yang mengaku "cinta" Indonesia, meski lahir di Tiongkok.
Ungkapan itu sesuai dengan fakta bahwa gereja di China juga ada, bahkan masjid juga ada. Klenteng atau kuil dan tempat ibadah agama lain juga ada.
Oleh karena itu, pewarta Antara di Beijing melaporkan Masjid Agung Shadian, Provinsi Yunnan, mengeluarkan surat edaran pelantang panggilan shalat disetel pada pukul 03.40 dan hanya berlangsung 10 menit agar tidak mengganggu masyarakat sekitar.
Otoritas keagamaan di Shanghai juga mengeluarkan kebijakan untuk memastikan bahwa kegiatan keagamaan hanya terbatas di masjid, tidak mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat umum.
Fakta penting lain adalah Islam juga sudah masuk ke negara komunis itu justru pada zaman Nabi Muhammad SAW. Hal itu terungkap dari jejak kedatangan penyebar Islam ke China pada kurun 618-626 M, sedangkan masa hidup Nabi Muhammad SAW pada kurun 571-634 M.
Catatan yang tersimpan di "Quanzhou Islamic Culture Exhibit" yang berada dalam kompleks "Quanzhou Maritime Museum" di Quanzhou, Provinsi Fujian, Tiongkok itu menyebutkan bahwa penyebar Islam di Tiongkok itu berjumlah empat utusan Nabi Muhammad SAW, yakni seorang pendakwah di Guangzhou, seorang di Yangzhou, dan dua di Quanzhou.
Koridor "non-publik"
Agama juga berkembang di Tiongkok, bahkan pemeluk agama juga tidak sedikit, meski ada juga kawasan tertentu yang dihuni masyarakat yang tidak beragama.
Namun, perkembangan agama di Tiongkok itu berada dalam koridor "privacy" (non-publik).
"Jadi, pelajaran agama itu tidak ada di sekolah, atau fasilitas publik juga tidak menyediakan tempat ibadah secara khusus," kata Prof Gunawan.
Hal itu karena agama dan pendidikan agama hanya boleh dijalankan di kuil gereja, masjid, dan sebagainya. Bukan di ruang publik.
Untuk itu, pemerintah Tiongkok memberlakukan peraturan mengenai keagamaan, bahkan peraturan itu kini sudah ada versi revisi per 1 Februari 2018.
Dibandingkan dengan peraturan yang berlaku sebelumnya, regulasi baru lebih spesifik dan lebih ketat. Hal itu dinilai para pengamat untuk mengatasi persoalan-persoalan terkini di bidang keagamaan di daratan Tiongkok itu.
"China memiliki beberapa persoalan seperti konflik antarpemeluk agama dan persoalan ini sangat serius," kata Liu Guopeng, pakar keagamaan dari Institute of World Religion Studies of the Chinese Academy of Social Sciences (CASS) sebagaimana dikutip Global Times pada 11 September 2017.
Berdasarkan penelitiannya, dia memaparkan bahwa runtuhnya kerukunan dapat mengancam stabilitas sosial dan fungsi pemerintahan.
Oleh sebab itu pula, regulasi versi revisi menekankan pentingnya semua agama memegang prinsip-prinsip kebebasan dan aturan pemerintah setempat sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh asing.
Regulasi yang berlaku bagi agama apapun di China itu memicu polemik, terutama dari media Barat, karena dianggap dapat mengekang kebebasan bagi pemeluk agama dalam menjalankan ritual peribadatan.
Padahal, kalau dicermati terdapat klausul yang menyebutkan bahwa pemerintah China melindungi hak warga negaranya dalam kebebasan beragama dan menjalankan kegiatan keagamaan secara wajar seperti yang tertuang dalam Bab I Ayat 2 aturan revisi itu.
Warga negara asing di China juga diizinkan menjalankan ritual keagamaan di rumah-rumah ibadah yang telah ditentukan sebagaimana diatur dalam Bab II Ayat 3.
Walau begitu, peraturan yang sudah direvisi tersebut mencakup beberapa larangan, meliputi kegiatan keagamaan secara ilegal, penyebaran paham ekstremisme, kegiatan ekstremisme dengan mengatasnamakan agama, dan menolak infiltrasi asing.
Oleh karena itu, larangan terhadap seorang pendakwah agama dari Indonesia yang akan mengisi pengajian di Tiongkok pada Desember 2017, juga dapat dipahami dalam konteks peraturan terkait keagamaan di negara itu yang memang tidak sebebas negara lain.
Beragama di Tiongkok itu boleh, tapi bukan di ruang publik, namun komunikasi antar-pihak juga memungkinkan adanya toleransi untuk beribadah di ruang publik dengan pembatasan tertenty.
Intinya, negara komunis itu tidak mencampuradukkan urusan agama yang privat dengan urusan dalam bidang lain yang bersifat publik, namun tidak ada larangan untuk beragama. (WDY)
Beragama di negara komunis
Rabu, 30 Mei 2018 20:07 WIB