Denpasar (Antara Bali) - Keberadaan taksi berbasis "online" (daring) menjadi polemik di Indonesia, termasuk di daerah Bali sebagai salah satu daerah tujuan pariwisata dunia.
Munculnya taksi berbasis aplikasi daring di Bali juga mengalami penolakan dari kalangan sopir taksi konvensional.
Protes masih terjadi meskipun pemerintah sudah berupaya melakukan sosialisasi ke sejumlah daerah menjelang pemberlakuan revisi Menteri Perhubungan (Permenhub) No.32 Tahun 2016 tentang Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Dengan adanya sosialisasi itu pada saat berlakunya peraturan per 1 April 2017, semua pihak dapat menjalankan aturan tersebut dengan baik tanpa menimbulkan konflik horizontal yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban.
Namun kenyataannya di lapangan penerapan aturan tersebut juga masih menimbulkan gesekan antara sopir taksi konvensional dengan sopir "online" seperti "Uber" dan "Grab Car".
Setelah sekian lama diberi batas waktu pengurus izin oleh pemerintah untuk memenuhi segala regulasi dan perizinan, namun aplikasi angkutan "online" tersebut tampaknya membandel dan tidak terlihat berniat serius menjalankan aturan yang berlaku.
Akibatnya, selain ditolak sebagian besar sopir lokal di Tanah Air termasuk sopir lokal di Bali,, kini sorotan miring kembali menerpa perusahaan berbasis aplikasi angkutan "online" asing.
Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama menegaskan kendaraan taksi berjaringan aplikasi Uber Indonesia yang tidak memiliki izin dan memenuhi aturan sesuai dengan undang-undang dilarang beroperasi di Pulau Dewata.
Ia mengatakan hal tersebut untuk menyikapi para sopir taksi yang mengadu kepada DPRD terkait adanya taksi yang menggunakan aplikasi Uber Indonesia (Uber dan Grab Car).
Politikus asal Kabupaten Tabanan berjanji segera berkoordinasi dengan Gubernur Bali Made Mangku Pastika terkait adanya pengaduan para sopir taksi yang selama ini beroperasi di Pulau Dewata.
Namun saat ini justru ada taksi yang tidak memiliki izin operasi, tapi para konsumen dapat memesan lewat aplikasi berjaringan Uber Indonesia.
"Kita tidak mengelak kemajuan teknologi di berbagai bidang, termasuk juga adanya taksi pesanan lewat internet, seperti aplikasi Uber Indonesia. Kalau taksi dan aplikasinya masih ilegal tetap itu adalah pelanggaran. Itulah yang kita larang beroperasi di Bali," ujar politikus PDIP itu.
Menurut dia, dalam kemajuan internet tidak semuanya bisa bebas, tapi tetap mengacu undang-undang maupun peraturan yang berlaku di Indonesia, termasuk di Bali.
Rugikan Taksi
Adi Wiryatama lebih lanjut mengatakan taksi ilegal jelas akan merugikan keberadaan taksi yang selama ini mengantongi izin. Selain itu penegasan tersebut sebagai upaya memberi jaminan kepada wisatawan yang berlibur ke Bali, karena suatu saat mereka pasti menggunakan kendaraan taksi.
Secara ekonomi, taksi ilegal jelas merugikan Bali karena mereka tidak membayar pajak, tapi dengan seenaknya bisa beroperasi.
Misalnya bila ada musibah terhadap penumpang (wisatawan) jelas yang disalahkan Pemerintah Bali sendiri.
Untuk menghindari hal yang tak ingin terjadi maka diputuskan untuk merekomendasikan kepada gubernur agar mengambil tindakan terhadap taksi yang melanggar aturan tersebut.
Adi Wiryatama menambahkan kalau dari segi politik, jika banyak taksi ilegal dan menimbulkan keresahan, dan hingga terjadi keributan maka Bali menjadi tidak aman, bahkan wisatawan tidak akan datang lagi ke Pulau Dewata.
Dengan tidak adanya wisatawan ke Bali yang rugi adalah masyarakat. Padahal akibat ulah dari suatu perusahaan ilegal yang membuat kekacauan, seperti adanya taksi ilegal.
Karena itu, dia mendesak kepada perusahaan yang belum memiliki izin untuk mengurus izinnya sesuai aturan di Indonesia.
Sikapi Tuntutan
Sebelumnya, Dinas Perhubungan Provinsi Bali melakukan rapat dengan instansi terkait untuk menyikapi tuntutan para sopir taksi agar membubarkan taksi "Uber dan Grab Car" atau taksi yang menggunakan aplikasi Uber Indonesia.
Menurut dia, operasional Uber Indonesia sepertinya berbeda dengan "Grab Car" yang menggunakan angkutan sewa. Karena taksi yang menggunakan aplikasi tersebut menggunakan tarif argo seharusnya diatur dan disetujui oleh pemerintah sesuai usulan operator taksi, sehingga tidak terikat kesepakatan harga.
Dikatakannya, taksi yang menggunakan aplikasi itu melanggar aturan, karena menentukan tarif dengan argo mirip taksi dan operasional kendaraannya tidak berizin angkutan.
Namun, sayang pihak Uber Indonesia tetap mengelak dan mengaku beroperasi tidak seperti taksi, karena mirip seperti "Grab Car" cuma penerapan tarifnya saja yang berbeda.
Marketing Uber Indonesia di Bali, Dimas Dwinovanto Putra mengaku sudah sebagai perusahaan asing (PMA) sedang dalam proses legalitas di Bali yang berhubungan aplikasi angkutan.
Ia juga menghindar dan menolak berkomentar ketika ditanya soal larangan operasional Uber Indonesia di Bali. Mengingat aplikasi produk Uber ini digunakan pihak sopir atau penumpang mirip dengan Grab atau Gojek.
Sementara pihak Marketing Supervisor Grab Car Cokorda Narayana mengaku aplikasinya sudah legal dan mempunyai izin sebagai perusahaan aplikasi dan terdaftar di Indonesia dan sudah melakukan pemotongan pajak pendapatan para sopir. Namun di Bali masih dalam proses mengurus izin agar bisa menjadi legal.
"Untuk di Bali bekeja sama dengan mobil-mobil yang memiliki izin angkutan. Itu kita wajibkan seperti di Bali, mobil yang kita pakai sudah legal," ucapnya.
Wakil Ketua III Organda Bali Pande Sudirta juga menyatakan Grab dan taksi beraplikasi Uber Indonesia sebagai perusahaan berjaringan harus ikut bertanggung jawab sebagai penyelenggara jasa angkutan.
Dikatakan, jika ada komplin pastinya Grab atau Uber yang dicari, jadinya ikut terlibat dalam jasa transportasi dan ikut dalam sistem apalagi memotong bayaran sekitar 10 persen. Oleh karena itu aplikasi ini harus berizin dan mengikuti aturan jasa angkutan.
Tarif Taksi
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan menyatakan tarif taksi daring akan diatur oleh pemerintah daerah untuk melindungi konsumen, terutama saat jam sibuk.
"Konsumen harus dilindungi saat jam sibuk, jangan sampai saat permintaan tinggi kemudian perusahaan menaikkan harga sesukanya. Begitu pun saat jam-jam sepi, pemerintah harus hadir untuk melindungi pengemudi. Jangan sampai banting harga yang pada akhirnya, korbannya adalah pengemudi," kata Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Pudji Hartanto.
Pudji mengatakan, tarif pengguna jasa taksi "online" tersebut diatur dalam revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Menurut dia, dasar pertimbangan tarif jasa taksi online dalam revisi PM 32/2016 untuk melindungi konsumen dan menjaga kesetaraan berusaha.
Adapun masa sosialisasi revisi PM 32/2016 selesai pada akhir Maret dan peraturan berlaku mulai 1 April 2017. Perusahaan penyedia jasa taksi "online" pun wajib mematuhi regulasi tersebut. (WDY)
Polemik Taksi Konvensional Dengan "Online" di Bali
Sabtu, 1 April 2017 10:20 WIB