Hoaks (hoax) sering sekali diartikan sebagai berita bohong yang sengaja disebar untuk dipercayai oleh orang banyak. Penyebaran hoaks plus peran ampuh media sosial ibarat api yang disiram bensin.
Agar terhindar dari jebakan hoaks, sebaiknya netizen mewaspadai apabila ada postingan dengan kata-kata seperti ini: "Katakan like atau amin jika doa Anda pada tahun ini dijabah."
"Makin banyak yang like dan comment maka nilai jual halaman itu akan makin tinggi," kata Ketua Badan Pengurus Cabang (BPC) Perhimpunan Hubungan Masyarakat Semarang Yanuar Luqman, S.Sos., M.Si. pada seminar "Melawan Hoaks" di Semarang, awal pekan ini.
Selanjutnya, Facebook akan menghubungi akun orang yang populer tersebut dan izin untuk memasang iklan di halaman orang tersebut.
"Dia dapat uang dan keuntungan, sementara kita yang komentar mencaci maki sesama saudara sebangsa, malah menjadikan halaman dia makin populer. Kita kehilangan kewarasan, harga diri, dan persaudaraan. Kita dipecundangi," katanya lagi.
Yanuar menyebutkan di beberapa media sosial, seperti Facebook, kalau artikel atau postingan banyak di-"like", harga halaman tersebut menjadi mahal. Selanjutnya, akan banyak tawaran iklan di situ.
Beberapa orang yang pandai mencari peluang, menurut dia, biasanya akan membuat halamannya akan di-"like" banyak orang.
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro Semarang itu lantas mengemukakan latar belakang netizen mempercayai hoaks, antara lain, keterbatasan informasi.
"Individu percaya hoaks bukan karena individu tersebut mudah dibohongi, melainkan karena keterbatasan informasi," kata Yanuar dalam seminar yang diadakan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dan Yayasan Adi Bakti Wartawan (ABW).
Selain itu, tingkat popularitas informasi. Pemberitaan yang terus-menerus dan mencolok dapat menyebabkan mata (hati) seakan menjadi tertutup pada kebenaran yang ada.
Berikutnya, terkait dengan ketertarikan. Individu cenderung melakukan "selective attention" sehingga seseorang tidak begitu memperhatikan topik hoaks dan langsung percaya dengan hoaks.
"Hal lainnya, confirmation bias. Jika hoaks berkaitan dengan hal yang dipercayai, info palsu akan lebih mudah diterima," kata Yanuar Luqman di hadapan 100-an peserta seminar yang terdiri atas mahasiswa, wartawan, dan pengurus Yayasan ABW, serta undangan lain.
Melawan Hoaks
Sebelumnya, anggota DPD RI Bambang Sadono memandang perlu membentengi masyarakat dari berita hoaks dengan memberi pengetahuan yang cukup mengenai teknologi informasi plus segala aturan mainnya.
Edukasi terkait dengan berita hoaks itu penting supaya mereka tidak mudah memercayai informasi yang beredar di media sosial sekaligus mencegah netizen berurusan dengan hukum.
Selain itu, kata Bambang yang juga Ketua Badan Pengkajian MPR RI, netizen bisa membedakan apakah informasi di media sosial itu benar atau hoaks. Dengan demikian, mereka akan lebih berhati-hati sebelum menyebarluaskan informasi melalui media sosial.
Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Publik Diskominfo Provinsi Jawa Tengah Evi Sulistyorini tampil dengan materi berjudul "Melawan Pemberitaan Tidak Benar (Hoax)", mengajak masyarakat untuk memerangi berita hoaks.
Ia lantas menyebutkan sejumlah kegiatan, antara lain, Deklarasi Masyarakat Indonesia Antihoaks oleh Gubernur Jateng Ganjar Pranowo di kawasan Car Free Day Jalan Pahlawan, Minggu (8/1); acara di sebuah stasiun televisi swasta di Semarang dengan tema "Melawan Berita Tidak Benar (Hoax)", Selasa (10/1); "Tolak Hoax" di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Senin (9/1); publikasi melalui media sosial.
Pada kesempatan itu dia juga mengingatkan akan sanksi yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dalam Pasal 28 Ayat (1) UU ITE, disebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, dapat dituntut di sidang pengadilan.
"Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) atau Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah," katanya lagi.
Evi Sulistyorini berpendapat bahwa informasi hoaks sangat rentan menimbulkan hal-hal negatif, apalagi bersangkutan dengan unsur kekerasan, suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta politik.
Bahkan, menurut Pemimpin Redaksi Wawasan Gunawan Permadi, netizen paling sering menerima informasi terkait dengan sosial politik, seperti pilkada dan pemerintah, atau persentasenya sekitar 91,8 persen.
Jenis hoaks lainnya, yakni SARA sekitar 88,6 persen; kesehatan 41,2 persen; makanan dan minuman 32,6 persen; penipuan keuangan 24,5 persen; ilmu pengetahuan dan teknologi 23,7 persen; berita duka 18,8 persen; candaan 17,6 persen; bencana alam 10,3 persen; lalu lintas 4 persen.
Penegakan Hukum
Dosen FISIP Undip Semarang Yanuar Luqman memandang perlu penegakan hukum terkait dengan hoaks.
"Menegakkan hukum terkait dengan penyebaran hoaks adalah dengan menangkap pembuatnya, bukan hanya orang yang menyebarkan kabar tersebut," ucapnya.
Apalagi, Indonesia memiliki sejumlah instrumen hukum untuk mengatasi berita bohong, seperti UU ITE dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Selain itu, perlu pula melibatkan penyelenggara platform untuk melawan hoaks, di samping perlu ada edukasi bagi masyarakat untuk melapor bila menemukan hoaks dan pelakunya diaduan melalui konten@mail.kominfo.go.id.
Untuk mengetahui apakah informasi itu hoaks atau tidak, Gunawan Permadi memaparkan ciri-cirinya, yakni tidak mengikuti kaidah 5W + 1H (what, where, when, who, why, how); ajakan kirimkan, "share", "like", ....
Ciri lainnya: bahasa terlalu berempati; huruf kapital; tanda seru yang over; tidak ada di media resmi; narasumber tidak jelas, tanpa otoritas; bahasa tidak baku.
Dengan mengetahui ciri-ciri tersebut, semoga masyarakat tidak terjebak dengan hoaks, apalagi terkait dengan SARA dan pemerintahan. (WDY)