Karangasem (Antara Bali) - Ribuan umat Hindu beramai-ramai merayakan Buda Cemeng Klawu sebagai penghormatan kepada Ida Batara Rambut Sedana yang diyakini sebagai dewa kesejateraan, di Pura Dalem Kupa, di Desa Nongan, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Rabu.
"Sebenarnya, ritual ini lebih sebagai pernyataan syukur sekaligus terima kasih manusia kepada Batara Rambut Sedana, karena sudah melimpahkan rezeki dan harta benda. Sekaligus permohonan agar umat senantiasa tetap mendapatkan rezeki di hari-hari mendatang demi kelangsungan hidup mereka," tutur Jro Mangku Pande Komang Merta, salah seorang tokoh spiritual di Desa Nongan.
Ritual Buda Cemeng Klawu berlangsung setiap enam bulan sekali sebagai wujud bhakti umat kepada Ida Batara Rambut Sedana, yang dalam kepercayaan masyarakat Hindu di Bali dipuja sebagai dewa uang atau kesejahteraan. Dewa ini yang telah dan akan menganugerahkan hal-hal yang bersifat material kepada manusia.
Persiapan ritual biasanya dilakukan sejak dua pekan sebelumnya, di mana warga desa "ngayah" atau kerja bakti di Pura Dalem untuk menyiapkan "banten", yakni rangkaian janur lengkap dengan kue, buah-buahan dan aneka bunga.
Jenis banten yang digunakan dalam ritual ini, meliputi banten pokok yang terdiri atas "bebangkit", "soroan suci", dan "caru" yang dilengkapi dengan banten tebasan berupa Sri Sedana Rauh. Selain itu, ada beberapa "tandingan" atau buah yang disusun secara artistik sebagai persembahan kepada Batara Rambut Sedana.
Tepat pada hari H, menjelang siang masyarakat akan mendatangi pura untuk melangsungkan "nedun", yakni ritual menurunkan Ida Batara dengan berbagai banten. Selanjutnya diteruskan dengan "ngias", yaitu menghias dengan berbagai bunga dan kain sebagai busana untuk "tempat" Ida Betara berstana.
"Bunga yang digunakan dalam 'ngias' itu macam-macam. Tetapi, yang harus ada itu bunga sepatu, karena ini bunga wajib dalam ritual. Bahkan, bunga tiruan dari bahan emas yang dipakai `ngias' juga berbentuk bunga sepatu," jelas Jro Mangku Pande.
Setelah 'ngias', Ida Batara pun 'lunga' ke pesucian dengan diiringi ratusan umat. Prosesi ini berlangsung amat meriah, dengan iringan kulkul yang bertalu-talu, tetabuhan gong, kemagisan mantra, gema kidung yang mengalun syahdu dan iringan suara bajra.
Prosesi "lunga" siang itu tampak berlangsung dengan khikmat, hingga akhirnya umat kembali ke pura untuk melakukan persembahyangan bersama.
"Pada hari kedua, 7 April, dilangsungkan 'penyineban', di mana banten yang harus disiapkan adalah kue-kue lebeng andus. Penyineban bermakna untuk mengantar Ida Batara kembali ke alam nirwana setelah ritual usai," kata Jro Mangku Pande, yang juga ahli masalah banten itu.
Namun, kata dia, sebelum "penyineban" dilakukan, umat terlebih dahulu melangsungkan "ider buana" sebagai rangkaian upacara. Kegiatan ini merupakan simbol Ida Batara sebelum kembali ke alam nirwana, lebih dulu akan melihat-lihat keadaan umatnya.
"Ider buana" berlangsung dengan mengelilingi bagian utama mandala pura sebanyak tiga kali.
Tepat sesudah "ider buana", ada lagi acara Sukuriya, yaitu menaburkan uang bercampur beras kuning yang diarahkan kepada kerumunan umat. Saat itu, umat biasanya berebutan uang. Sukuriya diadakan sebagai pernyataan syukur kepada Ida Batara atas kemurahan dan anugerah kesejahteraan kepada umat-Nya.(*)
