Oleh Peni Widarti
Denpasar (Antara Bali) - Manfaat penggunaan biogas untuk kebutuhan rumah tangga maupun sektor pertanian mulai dirasakan di sejumlah desa di Bali, salah satunya di Desa Kerta, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, yang mayoritas kehidupan warganya mengandalkan hasil ternak dan pertanian.
"Sejak Sepetember 2010 hingga sekarang, dari 140 kepala keluarga (KK) di desa ini, sudah ada 33 yang menggunakan biogas rumah untuk keperluan rumah tangga dan pertanian," ujar Made Darmaja, sekretaris Desa Kerta, Penyabangan, Payangan, Minggu (27/3).
Desa Kerta merupakan desa yang sempat memiliki predikat desa tertinggal, dibanding desa-desa di sekitarnya yang telah memiliki program agropolitan pada tahun 1993, pembangunan biogas oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) pada tahun 2003 dan pemabangunan biogas pada tahun 2006 oleh Dinas Peternakan Bali.
"Dulu desa kami serba tertinggal, baik dari segi peyediaan air bersih, listrik maupun lainnya. Tapi saat itu pada tahun 1996 Gubernur berencana meresmikan Desa Kerta sebagai desa organik. Dari situ kami mulai melakukan perubahan, salah satunya dengan mengajak warga untuk menggunakan biogas rumah yang ramah lingkungan," ujarnya.
Darmaja mengatakan, sebelum menggunakan biogas rumah yang menggunakan reaktor dari kubah beton, desanya memiliki 11 unit reaktor biogas. Lima di antaranya merupakan bantuan dari Kementsrian Lingkungan Hidup (KLH) yang dibuat dari bahan fiber, sedangkan 6 unit biogas dibangun dari swadaya masyarakat.
Koordinator Biogas Rumah (BIRU) Provinsi Bali I Gede Suarja menjelaskan, terobosan biogas rumah merupakan wujud dari perubahan masyarakat yang peduli terhadap lingkungan, yang sesuai dengan program pemerintah yang ingin mewujudkan "Bali Clean and Green" juga "Bali sebagai pulau organik".
"Awalnya kan karena kelangkaan energi bumi, kemudian sanitasi lingkungan. Kotoran hewan yang selama ini dibuang ke udara sehingga menambah panas bumi ini, ternyata bisa dimanfaatkan gas metannya untuk api, dan ampasnya untuk pupuk organik," katanya.
Untuk mewujudkan Bali yang ramah lingkungan tersebut, Biogas Rumah (Biru) yang dikelola oleh Hivos (Institut Humanis untuk Kerjasama Pembangunan) dengan dukungan teknis dari SNV (Organisasi Pembangunan Belanda) serta Kedubes Kerajaan Besar Belanda di Jakarta serta Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral RI menargetkan 500 hingga 600 unit biogas rumah pada tahun 2012. Untuk seluruh Indonesia dari 8 provinsi, BIRU menargetkan sekitar 8.000 unit.
Setiap KK rata-rata membangun biogas rumah dengan ukuran 4 hingga 6 Meter Kubik yang menghabiskan dana sekitar Rp5-7 juta. Namun dengan dukungan BIRU, masyarakat memperoleh subsidi senilai Rp2 juta dari keseluruhan biaya pembangunan satu unit biogas rumah. Setiap unit dilengkapi dengan reaktor, material, kompor, instalasi dapur, jasa tenaga ahli dan tenaga tukang.
"Selain itu untuk mengurangi hambatan biaya, program BIRU juga bekerjasama dengan lembaga pemberi kredit atau bank sehingga calon pengguna biogas dapat mengakses fasilitas kredit untuk mendapatkan biogas," ujarnya.
Kredit pembangunan reaktor biogas rumah tersebut dapat dilakukan masyakarat dengan pembayaran Rp300 ribu per bulan dengan bunga 2 persen untuk jangka waktu 1,5 hingga 2 tahun.
Selain bermanfaat untuk menghemat pengeluaran kebutuhan rumah tangga, biogas juga memiliki manfaat lain seperti kebersihan lingkungan, kesehatan (kompor biogas tidak berasap), hemat tenaga dan waktu, peningkatan hasil peternakan dan pertanian.
Nyoman Suwena (45), salah seorang warga Desa Kerta, Payangan Gianyar Bali yang sudah menggunakan biogas rumah sejak 4 bulan lalu mengaku mengalami penghematan yang drastis, seperti tidak lagi mengeluarkan uang ratusan ribu untuk membeli 2 tabung ukuran 12 kg gas elpiji untuk keperluan rumah tangga.
"Dalam satu bulan bisa habis 2 tabung 12 kg, dan pupuk urea untuk kebun menghabiskan 5 sak untuk 3 bulan. Tiap sak urea isinya 50 kg, dan harganya sekitar Rp200 ribu per sak. Belum lagi untuk pembelian pupuk ponska," ujarnya.
Suwena yang sehari-hari bekerja merawat kebun jeruk, pepaya, dan pisangnya ini juga mengaku penggunaan pupuk dari kotoran ternaknya dapat menghasilkan buah yang lebih sehat dan lebih besar ukurannya.
"Sebelumnya saya pernah menggunakan pupuk kotoran hewan secara langsung, tanpa dipisahkan dari gas metannya, tanaman saya malah rusak. Tapi dengan sistem biogas rumah ini kotoran hewan ternak saya bisa terpisah dan punya dua manfaat sekaligus. Saya sudah tidak lagi perlu beli gas dan beli pupuk," katanya.
Di rumah Suwena, biogas rumah dibangun dengan ukuran 10 meter kubik atau setara dengan 10 jam penggunaan kompor biogas. Untuk membangun biogas dengan ukuran yang cukup besar itu, Suwena menghabiskan dana sekitar Rp9 juta dan mendapat subsidi Biru senilai Rp2 juta.
"Hewan ternak saya ada 8 ekor sapi, tapi untuk penggunaan biogas dengan ukuran 10 meter kubik sebenarnya cukup dengan 6 ekor sapi, sehingga kadang kala kelebihan kotorannya, belum lagi ternak babi di belakang," katanya.
Hal serupa juga dirasakan oleh Ketut Murdi (40). Ibu tiga anak ini mengaku lebih hemat dengan menggunakan biogas rumah, apalagi dalam sehari-hari Ketut harus memasak hingga berjam-jam untuk kebutuhan warungnya.
"Kalau pagi saya jual bubur ayam, jadi untuk masak keperluan apinya juga sangat besar," katanya.
Biogas sendiri merupakan hasil dari pengolahan kotoran manuasia dan hewan seperti sapi, babi, dan ayam. Kotoran tersebut diproses dan diolah sedemikian rupa sehingga menghasilakn sumber energi alternatif bagi rumah tangga.(*)
