Gianyar (ANTARA) - Salah satu keluarga di Banjar Carik, Desa Puhu, Gianyar, Bali, berhasil menyulap limbah kotoran babi menjadi biogas.
Ketut Sepot (62) selaku kepala keluarga, di Gianyar, Kamis, mengatakan hasil biogas itu sudah beberapa tahun dimanfaatkan untuk menyalakan kompor di dapur dan warungnya.
“Awalnya saya dengar dari tetangga, ini prosesnya kok aneh kotoran bisa dinyalakan jadi bahan bakar untuk dapur, ternyata bisa sekarang saya pakai untuk di dapur dan warung bergiliran,” kata dia, saat Jelajah Energi Bali Bersama IESR.
Ketut Sepot yang merupakan peternak babi itu memanfaatkan kotoran dari enam ekor babi indukan yang dialirkan ke empat buah kubik di bawah tanah sedalam 1,6 meter di pekarangan rumahnya.
Dengan bermodalkan instalasi biogas yang dibeli saat itu Rp5 juta, gas yang dihasilkan dari endapan kotoran babi mengalir ke pipa sepanjang 70 meter dan terhubung ke dapur.
Kepada peserta Jelajah Energi Bali, ia mengatakan yang terpenting dari penggunaan biogas ini adalah tetap memiliki ternak babi atau dapat diganti dengan sapi atau ayam.
Proses penguapan kotoran akan terus berlangsung asalkan kotoran terus masuk ke kubik bawah tanah, jika penuh maka kotoran itu juga bisa digunakan sebagai pupuk.
“Kalau dulu kotorannya cuma dibuang ke kebun, bau, dan tanaman di kebun bisa mati, sedangkan ini sudah hemat gas dan hasil limbahnya buat pupuk juga bagus,” ujarnya.
Selama ini juga tak ada masalah pada instalasi biogas miliknya, pernah sekali terjadi kebocoran tidak membahayakan hanya mengeluarkan bau menyengat yang mudah ditangani.
Menurutnya, pemanfaatan biogas ini baik untuk diterapkan lebih banyak lagi masyarakat, dimana di desanya sendiri sekitar tiga kepala keluarga sudah memanfaatkan dan tidak memerlukan waktu lama untuk mulai bisa digunakan.
“Kalau orang membuat pertama ini, untuk modal kotoran harus punya kumpulan banyak dulu, kurang lebih tiga kubik kotoran untuk memenuhinya, kalau sudah selesai campur dan 1-2 minggu sudah mulai digunakan,” ujarnya pula.
Istri Ketut Sepot yang bernama Aryanti membenarkan keuntungan dari memanfaatkan biogas, yaitu hemat penggunaan LPG, bahkan pembelian gas di tabung melon hanya dilakukan beberapa bulan sekali.
“Beli gas LPG 3 kilogram hanya kalau mau ada acara yang perlu masak banyak, tapi sehari-hari untuk sayur, nasi, daging, sekeluarga dimasak pakai gas kotoran babi ini,” katanya.
Saat ditinjau langsung biogas keluarga Ketut Sepot mampu menyalakan api kompor dengan warna biru dan tegangan normal seperti kompor berbahan LPG.
Ketika awal dihidupkan muncul bau khas dari pipa gas, namun bau tersebut hilang dalam 1 menit dan kondisi api menyala terus menerus dapat bertahan 60 menit.

Lembaga think tank mitra Pemprov Bali Institute for Essential Services Reform (IESR) mendata rumah-rumah warga yang memanfaatkan biogas di Desa Puhu, Gianyar, dapat menghemat 180 kg LPG per tahun.
“Desa Puhu Gianyar menjadi contoh nyata transisi energi dan ekonomi sirkular yang berakar dari kearifan lokal, dengan memanfaatkan limbah peternakan untuk menghasilkan biogas dan pupuk organik, desa ini bukan hanya menghemat energi dan menurunkan emisi, tetapi juga menciptakan nilai ekonomi baru bagi peternak melalui koperasi,” kata Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR Marlistya Citraningrum.
Jika dikaitkan dengan misi Pemprov Bali menuju Bali emisi nol bersih, menurut dia, langkah biogas dapat menjadi percontohan untuk diperluas ke seluruh desa di Pulau Dewata.
“Model seperti Desa Puhu membuktikan bahwa solusi transisi energi tak harus datang dari kota atau sektor besar, tapi bisa dan harus tumbuh dari desa,” ujarnya pula.