Denpasar (Antara Bali) - Dua saksi ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait dugaan korupsi upah pungut (UP) pertambangan di Kabupaten Bangli, Bali, memberikan keterangan yang berbeda-beda yang menjerat terdakwa Bagus Rai Dharmayudha dan AA Gede Alit Darmawan.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Sutrisno di Pengadilan Tipikor, Denpasar, Rabu itu, dua saksi yang dihadirkan yakni Prof Edi Setiadi ahli hukum pidana dan Dr Asyhar Hidayat (hukum administrasi negara) yang keduanya sama-sama dari Universitas Islam Bandung.
"Terkait perbuatan hukum yang terjadi karena perintah jabatan sebenarnya terletak pada siapa yang mempertanggungjawabkan keluarnya surat keputusan (SK) itu," ujar rof Edi Setiadi ahli hukum pidana yang memberikan kesaksian untuk terdakwa AA Gede Alit Darmawan.
Hal itu dijawab Edi Setiadi, karena adanya pertanyaan terkait eksensi Pasal 55 KUHP dalam dakwaan jaksa terhadap keberadaan pihak-pihak lain yang dinilai mendapatkan manfaat atas dugaan penyelewengan. Serta eksensi pasal 50 KUHP.
Ia mengatakan, pengertian dua pasal tersebut berbeda, yakni terletak pada pertanggungjawabannya. "Jika dilakukan secara bersama-sama, berarti bukan saja terdakwa yang diduga melakukan perbuatan tersebut, namun semua yang mendapatkan akibat dari keluarnya SK tersebut," katanya.
Kemudian, hakim menanyakan terhadap pertanggungjawaban pasal 55 KUHP atas SK yang dikeluarkan, karena banyak pihak yang mendapatkan manfaat atas SK yang dikeluarkan dan dianggap melanggar hukum.
Menurut saksi ahli, tak serta merta yang mendapatkan manfaat disebut melanggar hukum. Namun, harus didalami perbuatan hukum masing-masing pihak yang ikut serta atau bersama-sama melakukan perbuatan tindak pidana korupsi tersebut. Sehingga besar kemungkinan pihak lain juga dapat terjerat.
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa Gede Alit Darmawan Robert Khuana menanyakan mengenai eksensi Pasal 50 KUHP yang menunjuk bahwa dalam posisi terdakwa adalah sebagai pejabat yang melaksanakan perintah SK.
Saksi ahli mengatakan yang bertanggung jawab adalah yang mengeluarkan SK. Menyikapi hal itu, Robert khuana menganggap bahwa dengan menggandeng pasal 55 KUHP untuk padal 2 UU Tipikor, tidak sesuai.
Hal itu dikarenakan, SK yang dikeluarkan Bupati Bangli saat itu seharusnya joncto-nya adalah Pasal 50 KUHP dengan pertanggungjawaban adalah yang membuat SK.
"Apabila pada joctonya Pasal 55 KUHP, berarti semua pihak yang terkait dengan dapat diduga terkait. Namun, tak dapat menjelaskan siapa yang harus bertanggung jawab atas keluarnya SK Upah Pungut itu," katanya.
Dalam posisi ini, terdakwa Gede Alit sebagai Kadispenda Bangli periode 2009-2010 adalah pejabat yang menjalankan SK. "Jadi terdakwa seharusnya tidak bertanggungjawab atas dakwaan jaksa," ujar penasehat hukumnya
Sementara itu, saksi ahli hukum administrasi negara dari Universitas Islam Bandung (Unisba) Asyhar Hidayat SH yang bersaksi untuk dua terdakwa Bagus Rai Dharmayudha (mantan Kadispenda Bangli 2006-2008) dan AA Gede Alit Darmawan menjelaskan terkait aturan yang mengatur tentang UP.
Akibat aturan UP itu tidak mengacu pada Permen tersebut, SK Bupati yang mengatur soal pembagian upah pungut menjadi cacat dan tidak sah. "Ada potensi SK tersebut juga menyelahgunakan kewenangan," katanya. (WDY)