Denpasar (Antara Bali) - Otoritas Jasa Keuangan mengingatkan kepada pengurus bank perkreditan rakyat (BPR) di wilayah Bali dan Nusa Tenggara untuk menghinari praktik kecurangan atau "fraud" bidang kredit karena bisa berdampak pelunasan kredit yang macet dan mempengaruhi likuiditas.
"Kalau kami melihat lebih dalam penyebab BPR ditutup ternyata hampir 80 persen terjadi karena `fraud`," kata Deputi Komisioner Pengawas Perbankan II selaku Pelaksana Tugas Deputi Komisioner Pengawas Perbankan IV, Boedi Armanto usai membuka Evaluasi Kinerja BPR 2016 di Denpasar, Senin.
Menurut dia, salah satu contoh praktik "fraud" dari BPR yang dicabut izin usahanya itu seperti merekayasa nama penerima kredit atau kredit fiktif.
Akibatnya, karena kredit bermasalah maka BPR berujung mengalami kesulitan dalam memenuhi likuiditas sehingga perlu mengambil langkah untuk memperbaiki kinerja BPR tersebut.
"Salah satu caranya pemilik harus menambah modal atau mencari investor baru untuk menambah modal kalau tidak ada (investor), BPR akan ditutup dan diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan," ucapnya.
Sementara itu Kepala OJK Regional 8 Bali dan Nusa Tenggara, Zulmi menjelaskan bahwa permasalahan BPR yang perlu mendapatkan perhatian yang terkait masalah permodalan, manajemen bank, tata kelola dan kehandalan IT.
Permasalahan itu berdampak pada terbatasnya produk dan layanan yang disediakan BPR, rendahnya daya saing yang berakibat sulitnya mendapatkan sumber dana murah, tidak tercapainya skala ekonomi yang menyebabkan efisiensi serta biaya yang tinggi disebabkan relatif besarnya biaya tenaga kerja.
Angka kredit bermasalah (NPL) BPR di Bali meningkat dari 2,69 persen menjadi 5,75 persen selama sembilan bulan terakhir namun angka itu masih dibawah rasio nasional yang mencapai 6,56 persen.
Meski kredit bermasalah di Bali meningkat, namun Zulmi menyakini masyarakat di Pulau Dewata memiliki budaya yang sejatinya tidak ingin menunggak utang sehinga hal itu turut memengaruhi NPL yang tidak sampai melampaui nasional.
"Masyarakat Bali tidak ingin berutang tetapi begitu punya utang bagimanapun caranya mereka ingin bayar utang karena ada istilah karma. Sehingga Bali selalu (NPL) di bawah rata-rata nasional," katanya.
Sedangkan NPL di NTB dari 8,11 persen menjadi 10,25 persen dan NPL di NTT menurun tipis dari 6,50 persen menjadi 6,20 persen.
Selain "fraud", OJK menemukan kelemahan dan pelanggaran umum bidang kredit di antaranya konsentrasi portofolio kredit pada sektor tertentu dan debitur besar, pemberian KTA kepada pegawai instansi yang tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian dan asas pemberian kredit yang sehat. (WDY)