Nusa Dua (Antara Bali) - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan HB X menyatakan telah menyediakan lahan seluas 270 hektare di wilayah Rongkop, Gunung Kidul sebagai pusat unggulan pembangkit listrik tenaga surya di Indonesia.
"Kami mendukung energi terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan karena itu kami siapkan 270 hektare itu untuk dipakai," katanya seusai penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan Direktur Utama PT Medco Inti Dinamika Hilmi Panigoro, Kepala BPPT Unggul Priyanto, dan Direktur Utama PT Len Industri (Persero) Abraham Mose di Nusadua, Bali, Kamis.
Ia mengatakan bahwa Yogyakarta sejak lama telah memiliki pusat pengembangan energi terbarukan di daerah Pantai Parang Racuk, Baron, Gunung Kidul sebagai pusat unggulan pembangkit listrik tenaga hibrid terbarukan di Indonesia, seperti energi surya dan angin.
Sementara itu, Direktur Utama PT Medco Inti Dinamika Hilmi Panigoro mengatakan bahwa saat ini harga panel surya relatif sangat murah, 30 sen dolar per watt, padahal sebelumnya sangat mahal, pada tahun 1980-an, bahkan sampai 70 dolar per watt.
"Jadi, meskipun harga minyak sekarang murah, energi surya tetap bisa kompetitif. Oleh karena itu, komponen pemda yang mendukung sangat penting, tentu kami lebih mendorong lagi energi ini," katanya.
Ia mengatakan bahwa pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) membutuhkan lahan yang relatif cukup luas untuk membangkitkan listrik 1 megawatt membutuhkan lahan 1 ha. Oleh karena itu, jika energi yang akan dibangkitkan lebih dari 20 megawatt, butuh lahan bisa sampai 30 ha.
Soal berapa besar kapasitasnya, pihaknya akan melakukan kajian bersama BPPT dalam beberapa bulan ini. Setelah dinilai kelayakannya, Medco akan membangun PLTS tersebut.
Sementara itu, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto mengatakan bahwa Tiongkok saat ini telah memiliki industri panel surya dari hulu ke hilir yang relatif murah, jauh dibandingkan dengan harga yang diberikan produsen dari negara lainnya.
"Tiongkok memproduksi mulai dari pasir silika yang dilebur jadi silika menjadi wafer, lalu menjadi sel surya hingga menjadi pembangkit. Akan tetapi, membeli dari Tiongkok harus hati-hati dalam kualitas. Saat ini Indonesia hanya membuat modulnya, merakit saja," katanya.
Seharusnya, lanjut Unggul, Indonesia, khususnya PT LEN Industri mulai mengembangkan energi surya dari hulu, yakni sel suryanya karena Indonesia kaya akan pasir silika, asal saja ada dukungan pendanaan dan keberpihakan dari pemerintah.
"Untuk mendukung bangkitnya industri sel surya di Indonesia, perlu dukungan dari komitmen PLN membeli sel surya dari industri dalam negeri," katanya. (WDY)