Berjalan pagi-pagi ketika matahari masih redup di bawah langit Ubud, padi merunduk terhuyung dihembus angin Desember. Ratusan bebek berkeciap ribut, mematuk-matuk di rumput hijau yang baru tertimpa embun.
"Inilah suasana 'golden hour', ketika pagi masih lengang. Udara segar dan pemandangan alam sangat menakjubkan. Turis asing sangat menikmati keindahan pagi dengan berjalan tanpa alas kaki di kawasan persawahan," kata Anak Agung Rai, pendiri Agung Rai Museum of Art (ARMA) Ubud, Kabupaten Gianyar.
Berjalan kaki di alam pagi yang masih sunyi, merupakan aktivitas yang sederhana yang mendamaikan batin. Di antara suara alam dan kesejukan dini hari, Agung Rai biasa berjalan bersama beberapa wisatawan yang sedang bermalam di resort ARMA.
"Salah satu paket yang digemari wisatawan adalah golden hour ini. Kegiatan ini merupakan relaksasi dan rekreasi, sekaligus meditasi alam yang merupakan unsur Tri Hita Karana supaya kita lebih mencintai dan menjaga alam," ujar lelaki yang akrab dipanggil Agung Rai.
Kegiatan meditasi alam, tidak hanya bisa dilakukan di pedesaan Ubud. Pada lingkungan museum ARMA, kegiatan meditasi pun bisa dilakukan di antara keheningan alam dan pepohonan yang tumbuh di wilayah museum.
Museum itu seluas 5 ha, terdiri atas ruang pajang lukisan, coffee shop, persawahan, panggung terbuka, tiga sumber mata air, Pura Saraswati dan tempat pelestarian tanaman pengobatan tradisional serta tumbuhan untuk upakara.
Setiap ada upacara di desa sekitar museum, Agung Rai memepersilahkan jika ada penduduk yang membutuhkan daun, bunga, atau bagian dari tumbuhan untuk dipergunakan sebagai upakara, demi berlangsungnya ritual upacara.
"Museum ini bukan bangunan yang begitu saja diperuntukkan sebagai ajang bisnis. Melainkan bangunan yang menyatu dengan alam, pedesaan dan masyarakat. 'The living museum'. Apabila orang atau turis ingin melihat Ubud tempo dulu, maka Museum ARMA adalah pintu gerbangnya," katanya.
Agung Rai menuturkan, sekeliling museum tidak ada pagar tinggi membentang sebagai pembatas. Justru museum dibiarkan menyatu dengan masyarakat dan pedesaan sekitar, berdampingan dengan sungai, sekolah, rumah-rumah penduduk, pura desa, sehingga tidak mengesankan lingkungan yang mengeksklusifkan diri. Agung Rai justru ingin museum itu sebagai bagian dari masyarakat dan keberadaannya dicintai lingkungan.
Barong dan Kursus Melukis
Pelestarian budaya menjadi perhatian tersendiri bagi Agung Rai. Setiap Minggu, ada kegiatan latihan menari, melukis, menabuh,'mejejahitan' dan masak kuliner khas Bali. Tanpa dipungut biaya, anak-anak di sekitar museum bisa belajar untuk menari, melukis atau menabuh gambelan. Khusus mejejahitan dan memasak, merupakan dua kegiatan yang menjadi pilihan turis asing sebagai alternatif mengisi liburan.
"Hari-hari tertentu ada momen kita mementaskan barong, legong, topeng dan jegog. Golden hour juga merupakan paket yang ditawarkan kepada turis, ajang 'trekking' di pagi hari. ARMA juga memiliki paket jalan-jalan di pedesaan yang masih asli, belum tersentuh peradaban modern," kata ayah tiga putra-putri ini.
Desa-desa yang masih asli itu bisa dijumpai di lingkup Kabupaten Gianyar, atau ke pelosok Bangli. Justru di tempat yang masih alami itu, turis akan betah dan menjiwai liburan. Kehidupan dan aktivitas penduduk di pedalaman itu, malah menjadi pengalaman mengesankan yang tak terlupakan bagi pelancong dari mancanegara.
Keaslian wajah pedesaan ini yang tengah dijaga ARMA agar Ubud tempo dulu tidak hilang dari peredaran zaman. Di wilayah museum ARMA, bisa disebutkan sebagai replika pedesaan yang sekarang mulai jarang ditemui, akibat derasnya arus pembangunan di berbagai sudut kawasan Ubud.
"Makanya kebersamaan, penyatuan dan rasa saling memiliki antara masyarakat dengan museum, ini barangkali yang belum ada di belahan bumi yang lain. Sebuah museum tanpa dinding, tanpa penyekat dengan warga pedesaan. Kami benar-benar menyatu dengan kawasan Desa Padang Tegal, Peliatan dan Pengosekan, berhubung ARMA masuk dalam wilayah tiga desa itu," kata Agung Rai.
Keunikan museum tanpa penyekat dan wujud Bali tempo dulu ini, yang membuat ARMA tidak pernah surut dari kunjungan wisatawan. Tidak hanya ingin menapaki pedesaan Ubud masa silam, kegiatan budaya dan koleksi lukisan di museum pun mengandung magnet tersendiri bagi turis.
Dalam sebulan, tidak kurang 1.000 pengunjung datang ke ARMA untuk menonton barong, topeng, menikmati golden hour atau melihat langsung koleksi lukisan maestro seni lukis kelas dunia yang dipajang di ARMA.
Beberapa lukisan karya maestro seni lukis, antara lain, Affandi, Raden Saleh, Bonnet, Walter Spies, dan karya seniman Bali yang monumental pun dapat dijumpai langsung di ruang museum. Termasuk pula lukisan yang dibuat pada kayu menyerupai dipan tempat tidur, yang merupakan lukisan penduduk tradisional Nusa Penida. Lukisan wayang khas Kamasan yang legendaris pun terpajang dengan apik.
Untuk lukisan-lukisan monumental dan karya maestro, selalu terpajang dan tetap dipertahankan tanpa penggantian berkala, karena turis-turis datang memang sengaja berkunjung untuk melihatnya. Sedang lukisan karya pelukis muda berbakat, beberapa bulan sekali akan diganti. Hal ini dilakukan untuk memberi ruang dan kesempatan pada pelukis muda lain agar karyanya dapat diapresiasi masyarakat dan pengunjung.
"Kami berupaya memberi kesempatan agar pelukis muda mendapat tempat untuk memperlihatkan karya. Banyak juga mereka yang berbakat," katanya.
Agung Rai pun menekankan, museum memang dibangun untuk menjadi ruang berkreasi bagi pelukis muda. Sebuah museum yang sampai kapanpun tetap dipertahankan untuk berorientasi budaya ketimuran sebagai titik tolaknya, namun tetap mengambil sisi kebudayaan barat yang mengandung nilai positif.
"Dan 'hidden knowledge' atau pengetahuan yang terselubung akan terus kami gali untuk mengetahui lebih dalam tentang keluhuran budaya leluhur. Budaya luhur yang kami pertahankan sebagai warisan bagi generasi mendatang," ucap Agung Rai. (WDY)