Gianyar (Antara Bali) - Budayawan Agung Rai mengemukakan hendaknya institusi pendidikan memasukkan museum dalam kurikulum sekolah sehingga siswa-siswa memiliki kedekatan dengan budaya dan tidak tergiring pada kegiatan
konsumtif.
"Apabila siswa sudah memiliki kedekatan dengan budaya, tentu museum menjadi sesuatu yang akrab dan tidak berjarak. Di luar negeri, museum menjadi objek wisata favorit, namun kondisi ini belum terjadi di Indonesia. Tak heran museum kalau di Tanah Air mayoritas pengunjungnya turis mancanegara," kata Anak Agung Gde Rai, pendiri Agung Rai Museum of Art (ARMA), Minggu.
Program di sekolah, lanjut lelaki yang akrab dipanggil Agung Rai, yang diharapkan bisa mendekatkan siswa kepada museum, misalnya mengadakan lomba karya tulis yang berkaitan dengan budaya. Kegiatan ini sekaligus melatih kepekaan seni pada anak-anak muda, supaya mencintai dan menjaga budaya negerinya.
Agung Rai menyatakan, langkah untuk mendekatkan generasi muda sekaligus masyarakat umum kepada budaya, sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu di Museum ARMA, melalui penyelenggaraan kegiatan secara kontinyu.
"Kami secara berkelanjutan melakukan kegiatan belajar menari, melukis, serta musik kepada anak-anak. Manula atau orang dewasa ada yang bergabung sebagai pengajar. Aktivitas ini biasa kami langsungkan pada hari Minggu atau ketika liburan sekolah," ujar dia.
Ketika anak-anak sudah melewati waktu-waktu pembelajaran, maka ARMA pun menyelenggarakan pentas atau pameran kesenian. Apabila hanya dilakukan proses pembelajaran tanpa ada pementasan, tentu anak-anak menjadi jenuh dan enggan berkreativitas lagi.
"Maka sedekat mungkin kami sinambungkan antara anak-anak dengan seni.
Bersyukur, sekarang sudah mulai sekolah-sekolah mengajak muridnya untuk melakukan kunjungan ke sekolah. Sekolah internasional di Bali pun sudah sering datang untuk melihat berbagai koleksi lukisan di ARMA," ucap dia.
Koleksi lukisan di ARMA, meliputi karya dari berbagai aliran, yang beberapa di antaranya merupakan karya 'masterpiece'. Seperti karya Raden Saleh, Walter Spies, Basuki Abdullah, Rudolf Bonnet, dan lainnya. Karya-karya inilah yang menjadi 'trade mark' Museum ARMA dan selalu dicari setiap ada pengunjung datang.
Agung Rai menyebutkan, rata-rata pengunjung yang datang ke museum mencapai 1.000 orang setiap bulan. Lebih dari 70 persen pengunjungnya orang asing, dan selebihnya merupakan masyarakat lokal.
"Mudah-mudahan nanti pengunjung bisa berimbang antara asing dan lokal, serta lebih banyak lagi orang memandang pentingnya keberadaan museum sebagai penjaga warisan budaya bangsa. Maka kami getol melatih anak muda bergiat di bidang
seni, supaya bisa menjadi seseorang yang bersedia melayani budaya," ujarnya. (WDY)