Gianyar, Bali (Antara Bali) - Keragaman genetik "curik" bali (Leucopsar rothschildi) saat ini cenderung homogen.
"Homogen itu, artinya nilai keragamannya rendah sehingga diperlukan upaya perbaikan sehingga bisa diperbaiki kualitas genetika menjadi lebih beragam," kata peneliti bidang genetika dan molekuler Pusat Penelitian Biologi LIPI, Ir. M. Syamsul Arifin Zein, M.Si., menjawab Antara di Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, Sabtu.
Kondisi itu, kata Syamsul Arifin Zein, disebabkan makin sedikit jumlah individu dalam populasi, makin tinggi peluang terjadinya perkawinan antarsesama individu yang mempunyai hubungan keluarga dekat/silang dalam (inbreeding).
Individu dikatakan saling berkerabat, kata Syamsul, apabila individu-individu tersebut mempunyai moyang bersama (common ancestor) dalam empat sampai enam generasi pertama dari silsilahnya.
Apabila keturunan yang dihasilkan kemudian dikawinkan dengan tetuanya sendiri, kata dia, tingkat "inbreeding" akan makin meningkat
"Keragaman genetik yang rendah biasanya berhubungan dengan ketidaknormalan secara fisiologi dan fisik, misalnya terjadinya cacat sperma dan fenomena albino," katanya.
Lokakarya antarbangsa tentang "curik bali" berlangsung 1--4 Oktober 2015 diikuti peneliti dan pegiat konservasi dari berbagai negara, baik dari Asia maupun Eropa.
Pada kesempatan yang sama, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK Tahrir Fathoni, konservasi di luar negeri, seperti di Jepang dengan "Yokohama Preservation and Research Center" (YPRC) telah menghasilkan kualitas genetik yang baik dan terdata dengan baik, sehingga pengembalian "curik" bali ke Indonesia akan memperbaiki kualitas burung itu yang ada di Indonesia.
Untuk itu, rencana pengembalian dari Eropa dan ke depan dari negara lain, tentu disambut baik dalam rangka mengembalikan status "curik" bali yang kritis di habitat alam.
Pada bagian lain, ia juga sangat mendukung rencan dan program untuk memperbanyak munculnya penangkar-penangkar baru melalui konservasi "ex-situ" (di luar habitat alami). (WDY)