Denpasar (Antara Bali) - Subak Rejasa, Kabupaten Tabanan, Bali, pernah meraih juara pertama tingkat nasional dalam lomba intensifikasi khusus (insus) pada era orde baru karena mampu menghasilkan gabah tertinggi untuk satuan hektare.
Indonesia meraih swasembada pangan pada tahun 1984 berkat kemampuannya meningkatkan produksi padi, memenuhi kebutuhan pokok dalam negeri, dan tidak lagi sebagai negara pengimpor beras saat itu.
Sejak swasembada pangan secara nasional itu hingga sekarang, berdasarkan hasil hitungan produksi padi (gabah), sebenarnya Bali masih tetap kelebihan produksi jika dibandingkan dengan kebutuhan beras masyarakat setempat.
Masalahnya, kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali Panasunan Siregar, ketika petani mengalami panen raya, gabah langsung dijual di sawah dengan sistem tebas yang diborong oleh pembeli yang kebanyakan dari Banyuwangi, Jawa Timur. Pembeli padi di sawah yang langsung mengajak buruh panen itu otomatis hasil gabahnya dibawa ke luar Bali.
Gabah petani Bali itu akan kembali masuk Pulau Dewata dalam bentuk beras. Padahal, berdasarkan hasil perhitungan gabah hasil petani lebih tinggi daripada kebutuhan masyarakat, termasuk wisatawan yang sedang menikmati liburan di Pulau Dewata.
Alangkah baiknya gabah yang dihasilkan petani Bali disimpan untuk kebutuhannya masing-masing hingga 3--4 bulan mendatang, sehingga lebih aman sekaligus akan mampu menekan angka inflasi.
Oleh sebab itu, petani perlu mengintensifkan kembali lumbung pangan, tempat penyimpanan gabah, sehingga lebih aman dalam mengantisipasi kebutuhan beras untuk tiga hingga empat bulan mendatang.
Hal itu penting karena menjual gabah dan kemudian membeli beras tidak selamanya mencukupi di pasaran dalam jumlah banyak. Jika beras langka, otomatis harga akan melonjak sehingga menyebabkan angka inflasi tinggi.
Persediaan dan permintaan beras di suatu daerah tidak bisa secepatnya diatasi karena menyangkut transportasi jarak yang relatif cukup jauh. Oleh karena itu, menurut Panasunan, masing-masing keluarga atau kelompok tani di Bali perlu memiliki lumbung pangan, seperti yang selama ini telah dimiliki petani di daerah gudang beras Kabupaten Tabanan.
Hampir setiap kepala keluarga (KK) di Banjar Ole, Desa Marga Dauh Puri, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan memiliki lumbung sebagai tempat penyimpanan padi, hasil panen mereka.
Bangunan bertiang empat yang mengerucut pada bagian atapnya, dalam beberapa tahun belakangan. Tiang yang tadinya dari kayu diganti dengan tiang beton, tanpa mengurangi bentuk dan nilai artistiknya.
Demikian pula, kata warga setempat Pan Sumarta (40), padi hasil panen mereka tidak seluruhnya lagi disimpan dalam lumbung, tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan 3--4 bulan mendatang menunggu panen berikut.
Ayah seorang putra yang gigih sebagai petani itu mengaku bahwa sebagian padi hasil panennya dijual untuk keperluan biaya sekolah putranya yang duduk di bangku SMAN Negeri Marga.
Itulah cermin bagaimana petani menyediakan kebutuhan pangannya dalam menunggu panen berikutnya sehingga tidak terlalu panik jika harga beras meningkat atau panennya gagal.
Banjar Ole yang lokasinya bersebelahan dengan Candi Pahlawan Taman Pujaan Bangsa Margarana, 25 km arah barat daya Kota Denpasar, dihubungkan dengan jalan beraspal yang tidak begitu mulus.
Demikian pula, lebarnya terlihat sempit, hanya pas untuk satu kendaraan roda empat. Sepanjang tepi jalan mengikuti selokan tertata apik meskipun tidak seperti proyek trotoar di perkotaan.
Air irigasi pertanian tradisional (subak) itu tampak jernih, mengalir lancar menyebar menggenangi sawah dan kolam ikan yang terbentang di hilir Banjar Ole, tempat Pahlawan Nasional Brigjen TNI (Anumerta) I Gusti Ngurah Rai menginap sebelum memimpin perang habis-habisan mengusir penjajah 20 November 1946, atau 69 tahun yang silam.
Jaringan jalan sempit yang membelah subak Mole dan subak Sengawang yang memiliki hamparan sawah sekitar 95 hektare dihubungkan dengan jalan beraspal sepanjang 2 kilometer hasil pelebaran jalan setapak.
Adanya sarana jalan itu memudahkan petani dalam mengangkut hasil pertanian, bahkan ada petani yang menjual gabahnya di sawah.
Dihidupkan Kembali
Dalam mempertahankan ketahanan pangan di Bali, Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof. Dr. Wayan Windia memandang perlu menghidupkan kembali lumbung pangan karena di beberapa tempat, termasuk perkotaan, lumbung pangan itu tidak diketemukan lagi.
Lumbung rumah tangga atau tingkat banjar perlu dirintis kembali sebagai tempat penyimpanan pangan mengantisipasi kebutuhan selama 3--4 bulan setelah panen.
Dengan demikian, petani dengan mudah dapat memenuhi kebutuhan pangan tanpa terpengaruh gejolak harga kebutuhan bahan pokok di pasaran. Kini, sebagian besar rumah tangga di Bali, khususnya di Kota Denpasar, Badung, Gianyar, dan daerah lainnya tidak lagi memiliki lumbung.
Hanya masyarakat di daerah "gudang beras" Kabupaten Tabanan yang masih mempertahankan keberadaan lumbung dan itu pun masih terbatas di Kecamatan Penebel, Marga, dan sekitarnya.
Padahal, keberadaan lumbung itu relatif sangat penting untuk ketahanan pangan, seperti halnya berfungsi sebagai Bulog. Petani Bali selama ini kebanyakan menjual hasil panenan langsung di sawah kepada tengkulak dengan menerima uang tunai.
Tengkulak dengan menggunakan tenaga buruh yang umumnya berasal dari luar Bali memanen padi yang dibeli dengan sistem borongan. Petani Bali yang menjual padi dengan sistem borongan itu sebenarnya sangat rugi daripada menjual gabah.
Petani dengan melakukan panen sendiri, selain harga gabah lebih mahal, juga bisa menyediakan stok gabah untuk kebutuhan selama tiga bulan mendatang dengan menyimpannya di lumbung.
Bali dalam mempertahankan ketahanan pangan perlu merintis kembali adanya lumbung di masing-masing keluarga, di samping membiasakan kembali petani untuk melakukan panen sendiri.
Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Bali Ida Bagus Wisnuardana mengatakan bahwa Bali memiliki lahan pertanian seluas 81.625 hektare dengan produksi sebanyak 857.944 ton gabah kering giling (KGK) selama 2014, meningkat dari tahun sebelumnya tercatat 881.175 ton.
Dua kali penanaman padi setiap tahun panen rata-rata seluas 150.741 hektare. Meskipun kebutuhan masyarakat Bali, termasuk wisatawan, terus meningkat, produksi itu masih mampu memenuhi kebutuhan domestik.
Kebutuhan konsumsi beras masyarakat Bali setiap tahunnya sekitar 451.327 ton atau rata-rata 130 kg per kapita per tahun sehingga dari produksi itu masih ada kelebihan produksi beras (swasembada) sebanyak 47.974 ton.
Berdasarkan perhitungan selama tiga tahun terakhir, periode 2009--2011, terdapat surplus beras 58.822 ton. Produktivitas tanaman padi di Bali mencapai 58,08 kuintal gabah kering panen (GKP) per hektare selama 2014, atau meningkat 1,46 kuintal atau 2,49 persen dari total produksi tahun sebelumnya sebanyak 58,60 kuintal.
Produktivitas persatuan hektare itu meningkat signifikan. Namun, produksi secara keseluruhan menurun 24.148 ton atau 2,74 persen, sesuai angka sementara (Asem) 2014.
Panasunan Siregar menjelaskan bahwa penurunan produksi padi itu akibat berkurangnya luas panen 7.683 hektare (5,11 persen) secara merata pada delapan kabupaten dan satu kota di daerah ini.
Hal itu sebagai dampak dari pengaruh musim kemarau. Penurunan produksi padi itu terjadi pada Subround II, yakni Mei--Agustus 2014 sebanyak 9.325 ton GKG atau 3,49 persen dan Subround III (September--Desember) sebanyak 21.819 ton GKG (6,73 persen).
Pada Subround I (periode Januari--April 2014) justru terjadi penaikan sebesar 6.996 ton GKG atau 2,41 persen.
Menurunnya produksi padi yang relatif tinggi terjadi di Kabupaten Karangasem, daerah ujung timur Pulau Bali sebesar 8.571 hektare atau turun 11,48 persen.
Menurut dia, secara umum ada dua faktor utama penyebab menurunnya luas panen, yakni kekeringan sebagai dampak dari musim kemarau selama 2014, tepatnya memasuki Juni--September terjadi perubahan iklim yang relatif cukup ekstrem.
Perubahan tersebut masuk kategori bulan kering, yakni bulan dengan rata-rata curah hujan kurang dari 100 mm sehingga berdampak pada kekeringan, bahkan menyebabkan terjadinya puso.
Di Bali selama 2014 terjadi tanaman padi puso seluas 807 hektare atau lebih luas daripada tahun sebelumnya seluas 54 hektare. Di Kabupaten Tabanan yang selama ini dikenal sebagai daerah "gudang beras" mengalami puso terluas mencapai 430 hektare.
Adanya kekeringan atau musim kemarau berpengaruh terhadap mundurnya masa tanam dan musim panen sekitar satu bulan. Menurunnya produksi padi di Bali juga sebagai dampak dari adanya masalah bidang pengairan atau ketersediaan air terbatas karena adanya perbaikan saluran irigasi.
Perbaikan irigasi itu, antara lain terjadi di Kabupaten Gianyar sehingga jadwal penanaman padinya mundur. Perbaikan irigasi yang belum tuntas sekitar 200 hektare.
"Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Karangasem sebagai akibat debit air berkurang di sejumlah kecamatan," ujar Panasunan Siregar. (WDY)