Jakarta (Antara Bali) - Pakar gigitan ular dan toksikologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, DR. dr. Tri Maharani, M.Si SP.EM., mengatakan penanganan pasien kasus gigitan ular di Indonesia belum sepenuhnya mengikuti prosedur Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Berdasarkan prosedur WHO tahun 2010, dokter yang akrab disapa Maharani tersebut menjelaskan dalam wawancara sebelum menjadi pembicara "Seminar Penanganan Gigitan Ular" di Buncit Indah, Jakarta Selatan, Sabtu, bahwa pengisapan racun pada bagian tubuh yang tergigit tidak boleh lagi dilakukan karena justru akan merusak pembuluh darah yang dapat menimbulkan risiko terburuk, yakni harus dilakukan amputasi (pemotongan bagian tubuh).
"Prosedur terbaru untuk pertolongan pertama pasien yang terkena venom (bisa) ular sebetulnya cukup dibersihkan, dibidai (bagian tergigit dibalut kencang agar tidak dapat digerakkan), lalu segera dibawa ke Puskesmas atau Rumah Sakit untuk mendapatkan SABU," kata Maharani.
"Sayangnya SABU yang kita miliki belum monoklonal (tipe tunggal), padahal ini sangat efektif," lanjut dia.
Saat ini, Indonesia baru memiliki Serum Antibisa Ular (SABU) yang polivalen atau satu serum untuk semua jenis bisa, belum yang monovalen atau sesuai dengan jenis ular yang menggigit.
Namun Maharani menambahkan untuk memakai serum monovalen pun, tenaga medis di Indonesia perlu mengetahui semua jenis racun ular yang menggigit pasien.
"Inilah yang menjadi fokus perhatian kita, karena spesialis emergensi saja baru ada 27 orang dan yang memiliki sub-fokus 'snake bite' (gigitan ular) dan toksikologi baru saya sendiri," kata dia.
Padahal menurut Maharani, kasus gigitan ular di Indonesia cukup banyak. Berdasarkan data yang dikumpulkan pada 2011-2014 di Rumah Sakit di lima kota, yakni Malang, Surabaya, Serang, Batam, dan Merauke, terdapat lebih dari 200 kasus gigitan ular per tahun dan 40 persen di antaranya meninggal dunia.
"Jumlah itu bisa lebih banyak lagi karena biasanya yang tercatat hanya di rumah sakit, sedangkan di Puskesmas atau bahkan yang tidak sampai dibawa ke layanan kesehatan kadang tidak tercatat," kata dia.
Selain itu, Maharani mengatakan sosialisasi penanganan gigitan ular juga terkendala sifat masyarakat yang belum terlalu mementingkan pelayanan medis.
"Di daerah terpencil terutama, kalau ada yang digigit ular ya takdir, masyarakat hanya melakukan prosedur yang biasanya masih melakukan pengisapan dan sama sekali tidak dibawa ke Puskesmas," kata dia.
Menurut Maharani, peran tenaga medis sangat diperlukan untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
Oleh karena, itu Maharani sangat gencar melakukan seminar dan diskusi terkait penanganan gigitan ular, termasuk dalam seminar nasional yang akan diselenggarakan di Malang, Jawa Timur, 4-6 Desember mendatang.
Pada kesempatan itu, Maharani dan timnya juga akan meluncurkan akun media sosial yang akan membahas penanganan gigitan ular dan sosialisasi serum monovalen, di mana praktisi, akademisi dan khalayak luas dapat langsung melakukan tanya-jawab
"Harapan kami para tenaga medis memiliki pengetahuan, keterampilan dan jaringan dalam menangani kasus gigitan ular sehingga korban yang selamat akan lebih banyak," kata dia. (WDY)
Pakar: Penanganan Gigitan Ular Belum Sesuai WHO
Sabtu, 22 November 2014 12:58 WIB